Ini baru pertama kalinya kami mengunjungi Treptower Park, taman kota terbesar kedua di Berlin setelah Großer Tiergarten.
Hari Minggu, 21 Juni 2020 lalu, kami berniat untuk piknik dan duduk-duduk menikmati suasana di taman ini seperti yang pernah kami lakukan tahun lalu di Großer Tiergarten untuk menikmati musim panas yang sudah resmi dimulai.
Selain di Großer Tiergarten, kami juga pernah piknik di Volkspark dan duduk-duduk di taman Schloss Sanssouci, di Potsdam, Brandenburg, Jerman.
Sejak pandemi dinyatakan usai, bahkan perbatasan Jerman sudah dibuka kembali, aktivitas warga Berlin mulai berangsur normal, walau meski tetap ada penerapan aturan semacam menjaga jarak atau menggunakan masker.
Di Berlin, masker hanya wajib dikenakan oleh warga jika berada di angkutan umum dan masuk pertokoan, sementara di jalan, di taman-taman, tidak wajib.
Orang-orang Eropa memang sepertinya tidak terbiasa menggunakan masker, dan dari pengamatan saya, mereka kadang menggunakan masker tidak pas, atau hanya sekadar mematuhi aturan saja tanpa memperhatikan fungsi masker yang sesungguhnya.
Saya dan istri, dan dari yang saya amati, rata-rata orang Asia, memiliki kesadaran lebih dalam menggunakan masker, dan hampir selalu terlihat menggunakan masker.
Saking butuhnya menggunakan masker, saya sampai memesan masker khusus Koziol Hi Community agar kacamata tidak berembun.
Namun melihat situasi di taman, menghirup udara segar tanpa masker pun rasanya lebih menyenangkan, apalagi di taman yang penuh dengan pepohonan rindang, saya pun sejenak melepas masker dan menghirup hawa-hawa musim panas.
Serbuk sari juga sangat jarang terlihat, sehingga saya yang alergi ini bisa terbebas dari siksaan dan batuk-batuk akibat menghirupnya.
Treptower Park
Kami menuju Treptower Park dengan menggunakan kereta S-bahn S9 tujuan Bandara Schönefeld, dan turun di Stasiun Treptower Park.
Treptower Park sendiri memiliki luas total 84 hektar, di mana di dalamnya terdapat beberapa area, Treptow Hafen alias pelabuhan Treptow yang merupakan dermaga kapal-kapal wisata, taman mawar, Spreepark yang dulunya merupakan taman hiburan namun kini ditinggalkan, hingga danau kecil Karpfenteich.
Menjelajahi Treptower Park sendiri tidak akan habis dalam sehari.
Kami sendiri awalnya tidak ada rencana khusus hendak ke mana dan hanya mengikuti jalan setapak yang ada begitu turun dari stasiun.
Treptow Hafen (Dermaga Treptow)
Titik pertama kami menjelajah Treptower Park adalah Treptower Hafen, di mana di tempat ini, kapal-kapal wisata akan membawa pengunjung menyusuri Sungai Spree dengan rute sesuai jadwal.
Perusahaan Stern und Kreis mengoperasikan tur dengan kapal menyusuri Sungai Spree dan memiliki banyak dermaga di titik-titik wisata di Berlin.
Saat kami datang sekitar pukul 11:00, dermaga ini belum cukup ramai, dan terlihat beberapa orang sudah duduk manis di dalam kapal menunggu jadwal kapal berangkat.
Dari papan jadwal, terpampang nama kapal, rute tur, dan nomor dermaga untuk naik ke atas kapal.
Di dermaga ini pula terdapat puluhan kios-kios menjajakan makanan, mulai dari es krim, crepes, bir dan koktail, hingga makanan asia, dan pizza.
Beberapa orang terlihat duduk-duduk di kursi yang tersedia tepat di pinggir dermaga, sambil menikmati jajanan yang dibeli dari kios-kios.
Di salah satu sudut pelabuhan, terutama setelah kios-kios berdiri, terdapat sebuah monumen kecil untuk memperingati jasa Kapten Bernhard Langwaldt.
Beliau dikenang karena berjasa menyelamatkan puluhan nyawa saat terjadi peristiwa meledaknya kapal motor Heimatland pada 5 Juli 1951 yang menewaskan 28 anak dan 2 orang dewasa tewas.
Dalam situasi berbahaya karena api berkobar, dengan kapal Elfriede yang dikemudikannya, ia berhasil menyelamatkan nyawa 80 anak.
Atas keberanian sang kapten, dibuatlah sebuah monumen di lokasi kejadian dan nama sang kapten juga diabadikan sebagai nama jalan kecil tepat di depan Stasiun S-bahn di dalam taman, Bernard-Langwaldt-Weg.
Untuk urusan monumen dan tugu peringatan, Jerman memang luar biasa.
Hampir tiap jengkal di Berlin saja, bisa ditemukan berbagai monumen, tugu, atau patung-patung peringatan.
Di Sungai Spree ini, para pecinta olah raga air seperti kayak, kano, atau pemilik rakit dan perahu bisa berlayar dan melakukan aktivitas di sini.
Saya bahkan melihat perahu berbentuk bebek yang biasa dikayuh di taman-taman hiburan, terlihat menyusuri sungai ini.
Taman Mawar
Sepertinya mawar menjadi bunga favorit orang Jerman, di mana di hampir tiap taman bisa ditemukan bunga mawar.
Tak terkecuali di Berlin, bahkan taman-taman mawar ini memiliki area khusus.
Mawar yang ditanam pun beraneka ragam jenis dan warna, mulai dari yang kecil, hingga yang ukurannya lebih lebar dari telapak tangan saya.
Ada warna merah, putih, kuning, merah muda, dan sebagainya.
Wangi semerbak bunga mawar pun langsung tercium begitu memasuki area ini.
Tidak hanya saya yang gembira melihat bunga warna-warni, lebah-lebah gendut juga terlihat gesit bermain-main di tangkai-tangkai putik dan benang sari mencari madu.
Saya penasaran, bagaimana rasa madu yang dihasilkan lebah tersebut, pasti manis dan wangi sekali.
Di tengah taman, terdapat air mancur yang airnya mengucur deras dan tinggi sekali, mencapai hingga sekitar 5 meter.
Saat kami datang, suasana masih sepi, tapi saya bisa memastikan (dan terbukti) pada siang hari akan banyak anak-anak kecil bertelanjang dada atau berpakaian renang akan bermain girang di dalam kolam dangkal yang mengitari air mancur ini.
Kolam-kolam seperti ini memang sering dipakai warga untuk bermain air, bahkan orang dewasa, jika kolamnya cukup besar dan orang tersebut tidak malu, terlihat ikut nyemplung.
Airnya dari mana dan apakah bersih? Saya tak mau pusing memikirkan.
Kami sendiri memilih duduk-duduk di salah satu bangku sambil menikmati bunga-bunga dan memakan bekal roti yang kami bawa.
Di salah satu sudut taman, terdapat sebuah seni instalasi persegi yang mengerucut makin lama makin kecil.
Entah siapa seniman yang memasang instalasi berwarna-warni tersebut.
Berlin memang kota yang ramah seni, di mana seniman bisa mengekspresikan karyanya di mana saja.
Selain anak-anak dan keluarga, banyak juga yang membawa anjingnya untuk bermain-main.
Kami sendiri akhirnya menggelar kain alas yang kami bawa di bawah sebuah pohon untuk duduk-duduk menikmati suasana dan angin sepoi-sepoi.
Berbeda dengan kebanyakan orang-orang yang memilih mencari sinar matahari yang mulai muncul di siang hari, kami malah mencari lokasi yang teduh, karena sebagai manusia tropis, kami sepertinya sudah cukup puas dengan matahari.
Saking asyiknya, saya bahkan sempat terlelap karena hembusan angin sepoi-sepoi.
Monumen dan Makam Militer Soviet
Jantung dari Treptower Park sendiri sebenarnya adalah monumen dan makam militer Soviet di Treptower Park.
Ada tiga monumen peringatan Soviet di Berlin, pertama di dalam Großer Tiergarten, kedua di Treptower Park, dan ketiga di Schönholzer Heide, Pankow.
Ketiga monumen ini dibangun pasca perang dunia kedua, untuk memperingati gugurnya 80.000 tentara merah Soviet saat perang Berlin pada April-Mei 1945.
Monumen di Treptower ini merupakan yang terbesar, bahkan menjadi monumen perang terbesar di luar Soviet, dengan luas mencapai 9 hektar.
Di area ini juga terdapat makam militer tempat 7.000 tentara Soviet beristirahat untuk terakhir kalinya.
Kami menuju area ini dari taman mawar dan menyeberangi Bundesstraße 96a.
Sebuah gerbang batu menyambut kami bertuliskan Bahasa Jerman dan Bahasa Rusia.
Monumen ini dibangun pada tahun 1946 dan selesai pada tahun 1949, tepat 4 tahun setelah perang dunia kedua berakhir.
Pembangunan monumen dipimpin oleh arsitek Yakov S. Belopolski, dibantu pematung Yevgeni V. Vuchetich, pelukis Alexander A. Gorpenko dan insinyur Sarra S. Valerius.
Memasuki area makam, kami disambut dengan sebuah patung setinggi 3 meter yang bernama “Ibu Pertiwi” di mana pada patung ini menggambarkan seorang ibu yang kehilangan anaknya.
Patung yang terbuat dari granit ini seolah-olah menggambarkan kesedihan atas gugurnya para prajurit Soviet yang mempertahankan ibu pertiwi.
Berlin Timur, di mana Treptower Park ini berada, dulunya memang merupakan daerah kekuasaan Soviet dan menjadi bagian dari Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur).
Dari patung ini, kami menyusuri lorong panjang yang diapit oleh pepohonan menuju ke bagian utama.
Dua bendera Soviet yang terbuat dari granit merah berdiri menjulang mengapit sekaligus menjadi gerbang masuk.
Di ujung-ujung bendera, terdapat patung tentara Soviet yang tengah berlutut, tunduk menyerah.
Lambang komunisme palu-arit nampak muncul berkibar dengan kokoh.
Dari sini, kami harus turun ke bawah menuruni tangga dari batu granit dan marmer menuju ke halaman yang terdiri dari 5 buah petak rumput.
Kelima petak ini menyimbolkan makam kolektif, lengkap dengan ornamen rangkaian bunga dari batu.
Di kanan dan kiri area ini terdapat 16 blok marmer, masing-masing 8 buah, berisi relief yang berisi kisah keberanian tentara merah lengkap dengan kutipan dari Joseph Stalin, pemimpin Soviet masa itu, dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Rusia.
Keenambelas blok tersebut menyimbolkan 16 negara anggota Uni Soviet pada masa itu.
Kutipan-kutipan pemimpin Soviet tersebut diukir pada blok relief menggunakan tinta warna emas.
Konon makam berada di samping kanan dan kiri lapangan ini, namun saya sendiri tidak melihat bentuk nisan atau makam.
Saya kemudian menuju ke obyek utaman monumen ini, sebuah patung perunggu setinggi 12 meter yang menjulang di atas bukit.
Patung tersebut menggambarkan seorang tentara Soviet yang membawa pedang ke bawah, menginjak lambang swastika yang hancur, sambil menggendong anak kecil.
Ada sebuah versi yang menyebutkan bahwa patung tersebut adalah sosok Nikolai Masalov yang pada perang Berlin, dengan berani meyelamatkan anak kecil Jerman yang terjebak di tengah pertempuran.
Saya yang penasaran dengan bangunan di bawah patung, mendaki ke atas bukit kecil tersebut.
Rupanya di dalamnya terdapat sebuah ruangan yang berisi lukisan mosaik yang menggambarkan suasana rakyat Soviet yang tengah berduka.
Ruangan ini terkunci dari luar dan pengunjung hanya bisa mengintip ke dalam melalui jeruji besi.
Dari atas bukit, gerbang bendera Soviet nampak gagah menjulang.
Saya tertegun saat membaca sebuah kalimat yang tertulis di ata sebuah prasasti, dalam Bahasa Rusia dan Bahasa Jerman.
Die Heimat wird ihre Helden nicht vergessen. Tanah air tak akan melupakan pahlawannya.
wah sudah mulai new normal dan bisa jalan-jalan ya..
ternyata orang-orang Eropa justru lebih malas pake masker dibanding orang Asia ya..
btw pernah ke danau Neandertal?? Tempat yang paling bikin saya penasaran di Jerman, soalnya pertama kali fosil Homo Neanderthal ditemukan ya di danau itu.