Hari Senin, 25 Mei 2020 lalu, saya menjalani tes PCR (Polymerase Chain Reaction) alias swab test Covid-19.
Tentunya saya sempat khawatir jika saya tertular penyakit yang belum ada vaksin atau obatnya tersebut, apalagi saya sudah menjalankan seluruh protokol kesehatan dan karantina yang dikeluarkan pemerintah Jerman.
Apalagi kini di Jerman sudah mulai melonggarkan pembatasan dan mulai masuk ke kehidupan normal baru, di mana seluruh protokol kesehatan seperti menjaga jarak minimal 1,5 meter dan menggunakan masker sudah diterapkan.
Ini berawal dari batuk-batuk saya yang tak kunjung reda yang sudah berlangsung selama sebulan lebih, bahkan beberapa pekan sebelum puasa.
Dugaan saya ini karena alergi serbuk sari musim semi, karena saya tidak mengalami gejala Covid-19 lainnya seperti demam, sesak nafas, dan sebagainya.
Hingga pada hari Minggu, 17 Mei 2020, batuk saya sudah sangat mengganggu, saya terpaksa membatalkan puasa saya, dan kemudian membuat termin alias jadwal berkunjung ke dokter.
Mencari Dokter di Berlin
Sungguh sulit menemukan dokter yang bisa berbahasa Inggris di Jerman.
Jika ketemu pun, sulit rasanya mendapatkan jadwal yang cocok, apalagi dengan situasi pandemi seperti ini.
Andai saja ada layanan semacam Halodoc yang bisa saya gunakan untuk sekadar berkonsultasi, tanpa harus repot, namun sayangnya di Jerman tidak ada.
Di Jerman, karena semua orang wajib punya asuransi kesehatan, sepertinya orang-orang tak mau menyia-nyiakan, sehingga merasa sakit sedikit, langsung ke dokter.
Ini yang menurut dugaan saya, mendapatkan jadwal berkunjung ke dokter agak sulit didapat, karena harus rebutan jadwal dengan orang lain.
Lalu bagaimana jika ada sakit yang kondisinya darurat?
Untuk kasus tersebut, biasanya dengan menelepon ke nomor darurat 112, ambulans langsung datang dalam waktu kurang dari 5 menit.
Suara ambulans yang meraung-raung dan mobil ambulans ngebut di jalanan Jerman sudah menjadi pemandangan yang biasa.
Singkat kata, akhirnya saya menemukan sebuah tempat praktik dokter (artpraxis) yang berada di area Alexanderplatz, dan menurut informasi di situsnya, staf dan dokternya bisa berbahasa Inggris.
Ini juga menjadi hal yang sulit, karena tidak semua dokter dan staf klinik di Jerman bisa berbahasa Inggris.
Melalui situsnya, saya membuat janji di klinik tersebut melalui aplikasi Doctolib pada hari Minggu, 17 Mei 2020 dan mendapatkan jadwal kunjungan hari Rabu, 20 Mei 2020.
Pada formulir pendaftaran, saya menyantumkan seluruh gejala yang saya alami, termasuk batuk-batuk dan masalah pernafasan.
Hari Senin pagi, 18 Mei 2020, saya ditelepon oleh pihak dokter, bahwa saya diminta untuk ikut tes Covid-19 dulu dan jadwal konsultasi saya untuk hari Rabu dibatalkan.
Pihak dokter sepertinya ingin memastikan apakah saya tertular virus SARS-Cov-2 sebelum dokter mengambil tindakan lebih lanjut.
Apa boleh buat, saya pun menyetujui dan akan datang ke tempat praktik dokter tersebut untuk menjalani tes pada tanggal 25 Mei 2020 jam 13:00.
Tentu saja ini membuat saya dan istri sempat khawatir juga, jangan-jangan kami memang tertular namun tidak merasakan gejala alias OTG (Orang Tanpa Gejala).
Atau mininal kami menjadi carrier atau ikut menyebarkan virus, di mana beberapa waktu sebelumnya kami sempat berjumpa dan berkumpul dengan teman-teman, dan tidak sengaja menularkan virus, jika memang terbukti positif.
Kami mencoba menelepon ke nomor layanan Covid-19 yang disediakan oleh pemerintah Berlin.
Informasi ini disebar melalui surat yang dimasukkan langsung ke kotak surat ke seluruh warga Berlin.
Istri saya, yang Bahasa Jermannya lebih bagus dan lancar, menelepon ke nomor tersebut.
Rupanya, meski bernama nomor hotline layanan Covid-19, tidak ada mesin penjawab IVR (Interactive Voice Response) yang akan menanyakan berbagai hal, misal tekan 1 untuk A, tekan 2 untuk B, dan seterusnya.
Telepon langsung diangkat oleh petugas dan percakapan langsung terjadi.
Informasi yang disampaikan nomor hotline layanan Covid-19 tersebut juga merupakan informasi umum, misal menanyakan gejala, kunjungan terakhir ke mana, dan menyarankan untuk tetap menerapkan protokol keamanan hingga jadwal tes Covid-19 diadakan.
Tes PCR (Swab Test) Covid-19
Pada hari yang ditentukan, saya pun datang ke klinik Artpraxis Alexanderplatz yang berada di gedung Rathaus Passagen.
Klinik ini berada di lantai satu dan tempatnya kecil, dan sekilas tidak terlihat seperti klinik.
Lokasinya agak tersembunyi, namun menarik karena di depan klinik yang berada di atas sebuah gedung, terdapat taman dan teras lebar yang ditumbuhi bunga-bunga.
Saya mengajak istri saya karena tidak begitu yakin staf dan dokternya bisa berbahasa Inggris, sehingga jika komunikasi dilakukan menggunakan Bahasa Jerman, ada istri saya yang bisa menerjemahkan.
Lokasi tesnya pun terlihat tidak meyakinkan, karena kami memang tidak diarahkan masuk ke pintu depan klinik, namun menuju ke pintu belakang.
Tujuannya mungkin untuk menghindari pasien umum yang datang ke klinik tertular dari orang yang hendak menjalankan tes.
Sekitar pukul 13:00 kami langsung mengantre di depan sebuah pintu yang terbuka.
Ada setidaknya 3 orang di depan kami tengah menunggu giliran sambil berdiri sejauh 2 meter, dan kami berada di urutan terakhir.
Saat tiba giliran saya, saya menyerahkan kartu asuransi saya kepada dokter Andreas Stein, yang bisa berbahasa Inggris.
Dokter Stein langsung mencatat dan mendaftarkan saya dengan cara memasukkan kartu asuransi saya ke dalam sebuah alat, dan saya bisa langsung mengikuti tes.
Tidak seperti yang saya bayangkan, tes dilakukan di depan pintu, di mana Dokter Stein yang mengenakan APD lengkap berada di dalam ruangan dan saya berdiri di luar pintu.
Saya diminta membuka mulut lebar-lebar, dan Dokter Stein memasukkan sebuah batang panjang dengan ujung terbalut semacam kapas ke pangkal kerongkongan saya.
Saat ujung alat tersentuh, saya berasa seperti mau muntah, rasanya seperti memegang sendiri Uvulva.
Tidak lama, proses pengambilan sampel air liur saya yang kemudian dilakukan tes apakah di dalam air liur tersebut ada antigen virus.
Setelah selesai, dokter memasukkan alat tes ke dalam tabung, memberi label, lalu menyuruh saya pulang setelah mencatat nomor telepon saya untuk dihubungi terkait hasil tes keesokan harinya.
Istri saya yang ikut mendampingi tes tidak menjalani tes, karena selain dia tidak membuat jadwal, menurut Dokter Stein, istri saya bisa ikut tes Covid-19 jika hasil tes saya positif.
Jika hasil tes saya negatif, istri saya tidak perlu menjalani tes karena kemungkinan besar istri saya tidak tertular karena selama ini memang kami menjalani isolasi diri dan keluar hanya seperlunya.
Seluruh proses tes sangat cepat, tidak sampai 5 menit, itu pun sudah termasuk berbincang dengan dokter dan melalui proses administrasi.
Hasil Tes Covid-19 Keluar
Keesokan harinya Selasa, 26 Mei 2020, Dokter Stein menelepon saya dan memberitahukan hasil tes Covid-19 saya.
Setelah deg-degan karena khawatir, jawaban Dokter Stein membuat kami lega, hasilnya negatif, saya tidak tertular virus SARS-Cov-2 alias Covid-19.
Dengan hasil tersebut, saya bisa melanjutkan proses pemeriksaan batuk-batuk saya.
Saya diminta datang ke klinik Rabu pagi, 27 Mei 2020, untuk mengambil surat keterangan hasil tes dan menjalani pemeriksaan terkait batuk-batuk saya.
Dengan ditemani istri saya sebagai penerjemah, kami datang sesuai jadwal dan menerima hasil tes.
Dari surat keterangan hasil tes, rupanya pengujian dilakukan di laboratorium Bioscientia.
Bioscientia sendiri menyediakan layanan laboratorium sejak tahun 1970 yang merupakan anak dari Boehringer Ingelheim GmbH, salah satu perusahaan farmasi terbesar di Jerman.
Di surat keterangan yang ada, tertera angka 59€ untuk biaya tes, namun setelah kami tanyakan, kami tidak perlu membayar apa pun karena sudah ditanggung oleh asuransi kesehatan yang kami pakai, TK (Techniker Krankenkasse).
Dari hasil pemeriksaan dokter, batuk-batuk yang saya alami memang merupakan efek dari alergi, terutama dari partikel kecil semacam debu dan tentu saja serbuk sari.
Minggu lalu juga aku ikut tes PCR/Swab Test, aduh, ga lagi-lagi deh – itu pas dimasukin batang yang ujungnya kayak kapas buatku itu kayak siksaan yang cukup berat.
Yang ditakutkan kalau “amit-amit” positif itu bukan masalah perawatan tapi kenyataan kalau jauh dari keluarga, sakit di negeri orang itu ga enak sama sekali.