Setelah seluruh urusan visa saya, visa istri, dan mendapatkan apartemen selesai, kami segera mencari tiket penerbangan.
Biaya tiket sekali jalan kami ditanggung oleh perusahaan, dengan biaya maksimal 2.000 € untuk dua orang. Dengan rentang harga tersebut, rasanya lebih dari cukup.
Kami sebenarnya bisa menunggu saja jadwal dan tiket yang akan disediakan, namun kami memilih mencari jadwal penerbangan yang cocok.
Pilihan kami mengerucut ke dua maskapai, yaitu Garuda Indonesia yang melakukan code sharing dengan KLM atau menggunakan Turkish Airlines.
Dengan berbagai pertimbangan, kami memilih jadwal terbang tanggal 22 November 2018 malam, supaya orang tua dan keluarga kami bisa berkumpul dan melepas kepergian kami.
Saya kemudian mengirimkan jadwal penerbangan yang kami inginkan ke Comtravo, agen perjalanan rekanan kantor yang akan memesankan tiket.
Berdasarkan tanggal yang kami inginkan, kami diberikan tiga pilihan maskapai oleh Comtravo, yaitu terbang dengan KLM (menggunakan code sharing dengan Garuda Indonesia) GA9088, transit di Amsterdam, Belanda, selama 6 jam, lalu lanjut terbang dengan KLM KL1825.
Pilihan kedua adalah terbang dengan KLM KL810 lalu transit di Amsterdam selama 2 jam, lalu terbang ke Berlin dengan KL1821.
Pilihan terakhir terbang dengan Garuda Indonesia GA822 ke Singapura lalu berganti maskapai Lufthansa dari Singapura ke Münich dengan LH791, transit 1 jam dan lanjut ke Berlin dengan LH2030.
Kami pun memilih pilihan pertama di mana kami akan transit di Amsterdam selama 6 jam agar aman, karena ini pertama kalinya kami terbang ke Eropa dan untuk menghindari hal-hal yang menghambat saat transit di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda.
Persiapan Berangkat
Banyak yang kami persiapkan sebelum berangkat, karena keberangkatan kami bukan wisata, namun pindah.
Apalagi kami tidak punya koper besar, mencari koper berukuran besar yang tidak melebihi ketentuan maskapai menjadi salah satu hal yang harus kami siapkan sebelumnya.
Untungnya kami mendapat dua buah koper bermerek Passport Pet+ berukuran 28 inchi yang cukup murah karena ada promo seharga Rp 599.00 di Ace Hardware.
Kami bingung hendak membawa apa, karena kami belum pernah pindah ke luar negeri yang tentu saja barang bawaannya berbeda dengan jalan-jalan.
Kami menghubungi KLM untuk memastikan jatah bagasi kami melalui call center. Dari situs KLM, disebutkan untuk penerbangan kelas ekonomi antar benua, bagasi tercatat maksimal 23 KG dan bagasi jinjing 12 KG.
Karena kode penerbangan kami merupakan code-sharing dengan Garuda Indonesia, kami diarahkan untuk bertanya ke pihak Garuda Indonesia.
Menurut pihak Garuda Indonesia yang kami hubungi melalui call center, kami diperbolehkan membawa bagasi seberat 30 KG per orang ditambah bagasi kabin seberat 7 KG per orang.
Kami sempat bingung aturan mana soal bagasi ini yang akan digunakan, tapi menurut pihak Garuda Indonesia dan KLM melalui call center menyatakan aturan yang berlaku adalah aturan dari Garuda Indonesia.
Pakaian, barang-barang kebutuhan, dokumen, laptop, hingga bumbu masak dan mi instan kami kemas dalam beberapa tas.
Tas jinjing besar, tas yang biasa saya gunakan untuk membawa peralatan selam, kami manfaatkan untuk membawa beberapa perabot dan rice cooker.
Tas jinjing dan dua koper besar dengan berat total 60 KG ini rencananya akan kami masukkan ke bagasi.
Baju ganti kami masukkan ke dalam dua tas ransel bermerek Deuter yang biasa kami bawa bepergian berukuran 35 liter.
Masing-masing ransel beratnya mendekati 7 KG ini rencananya akan kami masukkan ke dalam kabin.
Total kami membawa 2 koper dan satu tas jinjing untuk masuk ke bagasi, dua tas ransel Deuter besar, satu koper kecil, dan tas ransel berisi laptop.
Drama Bagasi
Hari yang ditunggu tiba, 22 November 2018, kami akan berangkat ke Berlin, Jerman.
Saya sendiri merasa deg-degan sekaligus antusias, karena perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang akan mengubah hidup kami.
Merantau ke negara yang saya sendiri belum pernah datangi, bahkan bermimpi pun tidak.
Sekitar jam 13:30 WIB kami berangkat ke Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta menggunakan Grab Car.
Kami sampai sekitar pukul 14:30 WIB dan segera masuk ke Gate 2 Internasional di mana check-in counter KLM berada di sini.
Karena kami datang terlalu awal, check-in counter KLM belum dibuka. Kami pun duduk-duduk di ruang tunggu dan berbincang-bincang dengan orang tua dana keluarga yang mengantarkan kami.
Sekitar pukul 15:30 WIB, check-in counter KLM dibuka. Kami segera mengantre untuk melakukan proses check-in.
Meski di tiket, nomor penerbangan kami adalah GA9088, namun kami diikutkan penerbangan bernomor KL810 ke Amsterdam yang akan transit terlebih dahulu di Kuala Lumpur.
Saat check-in, kami mendapatkan masalah. Rupanya bagasi kami berlebihan, karena tas ransel kami tidak diizankan masuk ke kabin karena ukurannya yang besar.
Belakangan kami tahu kenapa tas tersebut tidak diperbolehkan masuk kabin meski biasanya kami bisa membawa tas tersebut masuk ke kabin.
Rupanya pesawat yang kami gunakan saat itu, Boeing 777-300ER memiliki ukuran kabin yang lebih kecil dibandingkan kabin pesawat Boeing 737 atau Airbus A320 yang biasa kami naiki.
Kami pun akhirnya harus membongkar isi ransel Deuter kami. Aturan KLM tidak memperbolehkan berat bagasi digabung, di mana menurut perkiraan kami, selama beratnya tak lebih dari 60 KG, bagasi boleh masuk.
Rupanya koper kami beratnya masing-masing sekitar 23 KG dan 25 KG. Sedangkan tas jinjing dive gear saya beratnya sekitar 12 KG.
Secara total, berat bagasi kami tidak melebihi 60 KG, namun menurut KLM, berat yang tercatat harus masing-masing 30 KG, tidak bisa digabung.
Belum lagi tas ransel Deuter kami harus masuk bagasi yang tentunya akan membuat kami kelebihan berat.
Kami pun akhirnya membongkar tas ransel dan tas jinjing dive gear yang sudah kami susun sedemikian rupa.
Beberapa barang akhirnya kami relakan untuk tidak dibawa agar tidak melebihi bagasi.
Tas jinjing dive gear kami tinggal, beberapa barang dimasukkan ke tas ransel Deuter yang nantinya akan dimasukkan ke bagasi.
Rasanya sedih karena harus merelakan rice cooker, beberapa bumbu masak dan mi instan, dan jaket-jaket harus kami tinggal dan dibawa pulang.
Belum lagi, kami harus membungkus tas ransel kami dengan plastik agar isi dari tas ransel tertutup rapat.
Jika sejak awal kami tahu lebih detail tentang aturan ini, tentunya kami akan menata barang bawaan kami dengan lebih optimal dan tidak melanggar aturan.
Kami sudah mencoba menghubungi pihak maskapai tentang aturan bagasi ini, namun apa yang dijelaskan berbeda dengan aturan saat berada di counter check-in.
Sekitar pukul 17:00 WIB, setelah berpamitan dengan kedua orang tua kami dan keluarga, kami segera masuk ke pintu imigrasi dan menuju boarding room.
Proses di imigrasi berlangsung cepat karena sepi dan kami segera menuju ke Gate 8.
Selama menunggu boarding, saya melihat ada beberapa perubahan sejak kunjungan terakhir saya saat ke Singapura pada bulan April 2018.
Rupanya, meski Terminal 3 Soekarno-Hatta sudah ada penambahan fasilitas, misal adanya fasilitas air minum gratis, saya masih belum bisa menyukai bandara ini.
Setelah menunggu, kami harus boarding pada pukul 18:45 WIB. Namun lagi-lagi kami mendapat masalah.
Saat boarding pass kami dipindai, sistem menolak. Setelah dicek, rupanya bagian customs bandara menandai boarding pass saya karena ada sesuatu yang harus dilaporkan.
Ditemani petugas dari KLM, kami menuju ke ruang karantina bagasi yang berada di dekat Gate 10.
Rupanya petugas menemukan power bank Xiaomi di dalam tas ransel Deuter saya dan meminta saya mengeluarkannya dari tas ransel dan memindahkannya ke tas yang akan dimasukkan ke kabin.
Karena waktunya mepet, tas ransel tersebut saya bawa untuk kemudian nanti dimasukkan ke dalam bagasi oleh petugas boarding.
Setelah urusan bagasi beres, kami pun masuk ke pesawat sebagai penumpang terakhir.
Pramugari KLM dengan nada bercanda berkata kepada kami saat kami masuk pesawat, “ah, you’re late! we’re waiting for you!“, sambil tangan memeragakan seolah-olah sedang menunjuk arloji.
Kami pun menjawab, “we’re very sorry..“, sambil senyum-senyum dan menuju ke tempat duduk, lalu meletakkan koper dan ransel berisi laptop ke ruang bagasi di atas kepala.
Terbang ke Amsterdam, Belanda
Ini adalah pengalaman pertama saya dan istri ke Eropa. Tanah Eropa yang kami kunjungi adalah Amsterdam, Belanda, di mana kami akan mendarat di Bandara Schipol.
Pertama kalinya pula saya terbang bersama KLM, di mana layanan dari maskapai ini cukup baik menurut saya.
Pramugari dan pramugaranya berbadan tinggi besar, usianya juga tidak muda, berbeda dengan maskapai berbiaya rendah yang biasa saya naiki di Indonesia.
Ini adalah pengalaman kedua saya naik pesawat Boeing 777-300ER, di mana sebelumnya saya pernah naik pesawat berjenis sama saat ke Hong Kong menggunakan Cathay Pacific.
Karena kami naik pesawat yang berkode penerbangan GA9088/KL810, penerbangan kami akan singgah sebentar (stop-over) di KLIA, Kuala Lumpur, Malaysia.
Kami tiba di KLIA jam 22:30 setelah penerbangan selama 1 jam 45 menit. Seluruh penumpang diminta turun dari pesawat, masuk ke ruang tunggu, untuk kemudian naik lagi pesawat yang sama pada pukul 23:50.
Saat di ruang tunggu KLIA, meski saya sudah berlangganan XL Pass sejak sebelum berangkat, rupanya layanan roaming internasional dari XL ini tidak bisa digunakan, meski di indikator sinyal sudah terhubung ke jaringan operator rekanan, Digi Malaysia.
Untung ada fasilitas wi-fi gratis dari KLIA yang bisa saya gunakan untuk sekadar memberi kabar kepada keluarga di Indonesia.
Saya juga sempat protes ke XL melalui Twitter @XLCare namun sebelum admin menjawab, saya sudah harus boarding kembali.
Menurut saya, kabin pesawat Boeing 777-300ER milik KLM ini nyaman untuk penerbangan long-haul.
Apalagi perjalanan dari Kuala Lumpur ke Amsterdam memakan waktu kurang lebih 13 jam.
Mungkin karena ukuran kabinnya disesuaikan untuk bule, maka ruang kaki di kursi kelas ekonominya lumayan lega.
Fasilitas KLM juga menyenangkan. Selain inflight entertainment yang memiliki koleksi film baru, penumpang juga diberikan earphone secara cuma-cuma.
Urusan makanan, menurut saya juga lumayan. Penerbangan ke Kuala Lumpur, kami mendapat makan malam yang cukup berat.
Potongan buncis, kentang, daging sapi, dan lelehan keju. Menu yang bule sekali.
Penerbangan dari Kuala Lumpur ke Amsterdam, karena sudah tengah malam, kami hanya ditawari minuman. Penumpang juga lebih banyak tidur.
Menjelang mendarat di Amsterdam, kami mendapat menu sarapan yang lagi-lagi cukup berat. Kali ini ada telur, kentang, dan sayuran.
Namanya maskapai full-board, saya sempat meminta kopi hangat, kepada pramugari meski bukan pada jam penyajian.
Terbang ke Berlin, Jerman
Kami mendarat di Bandara Schipol sekitar pukul 06:00. Suasana masih sangat gelap karena saat itu masih masuk peralihan dari musim gugur ke musim dingin.
Setelah turun, kami menuju ke ruang pemeriksaan bagasi (customs) yang antreannya panjang sekali.
Saya melihat ada mesin cetak boarding pass otomatis sebelum masuk ke ruang pemeriksaan bagasi, dan memutuskan untuk check-in dan menyetak boarding pass sekalian.
Penerbangan kami ke Bandara Tegel, Berlin, masih sekitar 6 jam lagi.
Dari boarding pass yang tercetak, kami mendapat informasi bahwa penerbangan kami ke Berlin menggunakan pesawat milik Transavia, maskapai bertarif rendah milik KLM-Air France.
Kami juga diminta memantau papan informasi penerbangan untuk mengetahui lokasi gate untuk penerbangan kami ini.
Karena bingung hendak menuju ke arah gate mana, sementara kami belum mengetahui lokasi gate, kami memutuskan untuk duduk-duduk dan menunggu di ruang tunggu T6.
Ruang duduk di Bandara Schipol sangat nyaman. Mulai dari sofa empuk hingga kursi malas tersedia di sini.
Di ruang tunggu T6, ada sebuah grand piano yang boleh dimainkan oleh siapa pun yang ingin unjuk kebolehan.
Saya sempat merekam aksi salah seorang penumpang yang bermain piano dengan piawai, namun saat saya meminta izin mempublikasikannya di Instagram, beliau menolak.
Di sekitar ruang tunggu ini ada perpustakaan, yang memiliki koleksi buku menarik, loker untuk menyimpan tas (berbayar), ruang bermain anak-anak, toko-toko, dan kafe.
Setelah mencari kafe yang menjual kopi karena rata-rata di sini modelnya bar yang menjual minuman beralkohol, saya sempat takut jika harganya akan sangat mahal seperti jika membeli kopi di bandara di Indonesia.
Rupanya harga kopi di sini masih termasuk wajar, tidak terlalu mahal, sekitar 1€ hingga 3€ tergantung jenis kopi dan ukurannya.
Saya bahkan sempat berjumpa darat dengan Bangaip, blogger lama yang saat itu baru tiba dari London untuk pulang ke Belanda.
Sekitar jam 11:30, saya melihat papan informasi penerbangan. Saya harus menuju ke Gate C6.
Dari ruang tunggu T6 saya berjalan menuju ke arah gate, dan melewati ruang tunggu di mana terdapat jam unik di mana seolah-olah jarum jamnya dilukis oleh orang dari dalam, padahal itu murni digital.
Sebelum masuk ke T6, rupanya ada passport control alias imigrasi.
Saya agak kaget kenapa paspor kami diperiksa di sini bukannya nanti di Jerman, karena visa saya visa nasional Jerman.
Setelah lolos urusan imigrasi, kami menuju ruang tunggu C6, untuk kemudian boarding, dan terbang menggunakan pesawat Transavia.
Penerbangan kami menggunakan nomor GA9254/KL1825 yang menggunakan pesawat Boeing 737-800, seperti pesawat domestik pada umumnya.
Yang menarik, kami mendapat makan berupa sandwich dengan daging ayam, di mana ayamnya diperlakukan dengan baik, sehingga menghasilkan daging berkualitas tinggi.
Peternakan ayamnya pun bahkan bisa dipantau melalui siaran langsung dari webcam yang dipasang.
Selamat datang di Berlin!
Perjalanan dari Amsterdam kami tempuh dalam waktu satu jam. Sekitar pukul 14:00 kami mendarat di Bandara Tegel, di Berlin, Jerman.
Begitu keluar pesawat, setelah garbarata, kami langsung masuk ke ruang pengambilan bagasi.
Yang menarik, troli di sini dirantai, di mana untuk menggunakan troli, sebuah koin senilai 1€ harus dimasukkan untuk membuka kunci rantai.
Setelah menunggu bagasi kami keluar selama sekitar 30 menit, kami segera keluar dan bingung. Ini kenapa tidak ada pemeriksaan paspor?
Rupanya penerbangan kami dari Amsterdam ke Berlin dianggap penerbangan domestik, karena paspor kami telah dicap masuk saat di Bandara Schipol sebelumnya.
Saat kami keluar dari bandara dan mencari taksi, hawa dingin 13°C langsung menyambut kami.
Dengan bergegas kami segea menuju ke antrean taksi berwarna kuning krem yang berjajar.
Kami sempat bingung dengan sistem antreannya, namun setelah kami datang, ada seseorang yang tidak menggunakan seragam datang menghampiri.
Saya memastikan apakah kami bisa langsung memesan taksi, dia mengangguk dan tanpa basa-basi langsung membuka bagasi belakang dan mengangkat koper kami.
Buset, ngga salah ini? Taksinya menggunakan mobil Mercedes-Benz gini?
Setelah saya menunjukkan alamat apartemen kami, dia langsung mempersilakan masuk dan langsung tancap gas.
Namun jangan khawatir, karena taksi di Berlin ini jujur dan tarifnya sesuai argometer. Saya sempat celingak-celinguk mencari tahu di mana argometernya, rupanya berada di spion tengah.
Kami sempat mengecek tarif taksi dari Bandara Tegel ke apartemen kami, ongkosnya sekitar 20€.
Taksi langsung keluar dari area bandara, tanpa perlu ada ongkos parkir atau membayar biaya apa pun.
Di dalam taksi terdapat GPS yang menjadi panduan sopir untuk mengantarkan kami.
Sebuah ponsel juga terlihat di mana sepertinya si sopir menggunakan aplikasi khusus untuk mencatat perjalanannya.
Sekitar 20 menit, perjalanan akhirnya kami sampai ke tujuan. Ongkosnya sekitar 17€ dan kami memberikan 20€ tanpa meminta kembalian.
Kami sempat berpikir, apakah tips sebesar 3€ tadi cukup, namun melihat kurs, rasanya masih masuk akal.
Tak terasa, perjalanan selama lebih dari 24 jam telah kami tempuh untuk memulai hidup baru.
Ohh pancen kudu jeli mas, ada total jumlah koper, ada total kilogram. Birdisirkin pingilimin rute arah ke jakarta, bagasi selalu tergantung tempat beli tiketnya:
– Kalau beli tiket KL, pesawat KL, total bagasi: 1 koper á 23 kg
– Kalai beli tiket GA, pesawat GA, total bagasi: 30 kg, terserah kopernya ada berapa (kalau nggak salah nggak bisa lbh dari 32kg per koper)
– Kalau beli tiket GA pesawat KL, total bagasi: 30 kg, terserah kopernya ada berapa, tetapi *tiap* koper maks 23 kg (aturan KL)
– Kalau beli tiket KL pesawat GA, total bagasi: 1 koper á 23 kg (apes)
Kalau overweight ngitunge:
– Tiket beli di KL (terserah naik apa): dihitung ekstra 1 koper, maks 23 kg – kayanya 100€ per koper, kalau member Flying Blue bisa 80€)
– Tiket beli di GA: (terserah naik KL/GA): dihitung per kilo (yang masih menjadi misteri bagiku berapa)
Kalau maskapai timteng (EK/EY/QR) biasanya total 30 kg, kopernya terserah ada berapa (1 koper isi 32 kg udah pasti dipelototi), overweight per kilo ngitungnya
Bagasi kabin (KL/AF/LH/EK/EY) kalau nggak salah maks 12kg (total, termasuk tas tangan, dll). Jadi biasanya kalau udah lewat 10kg wis ditolak.
Tentu saja maskapai FR/U2/W6 beda ngitungnya 🙂
* Disclaimer: pingilimin pinimping 2017-2019