Mencoba Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta dan Terminal 4 Bandara Changi

12 minutes 2,168 0

Saat pergi ke Singapura pada 24-25 April 2018 menggunakan maskapai AirAsia, saya dan istri terbang dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, dan mendarat di Terminal 4 Bandara Changi, Singapura.

Begitu juga saat kembali dari Singapura, kami terbang dari Terminal 4 Bandara Changi, dan mendarat di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.

Membandingkan kedua terminal bandara ini rasanya sangat tidak setara. Terminal 3 Soekarno-Hatta tampaknya masih banyak yang harus ditingkatkan jika ingin dibandingkan dengan Terminal 4 Changi.

Cita-cita menjadi pesaing Changi, tampaknya perlu dipikirkan ulang.

Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta

Perjalanan kami kemarin merupakan perjalanan pertama saya mencoba Terminal 3 Soekarno-Hatta yang dibuka pada Juli 2017 lalu.

Sejak dibuka, Terminal 3 yang dulu menyandang nama Terminal 3 “Ultimate” ini memang sempat menuai kontroversi.

Mulai dari banjir, hingga beberapa hal yang sepertinya perlu diperbaiki.

Saya merasakan sendiri betapa Terminal 3 kurang nyaman dan kurang efisien dalam melayani penumpang.

Bandara yang begitu luas, tidak diimbangi dengan papan petunjuk yang jelas dan memudahkan.

Saat kami datang menggunakan bus DAMRI, kami diturunkan di pintu 3. Tidak ada keterangan apakah itu pintu keberangkatan domestik atau internasional.

Saya baru bisa mengetahui di mana lokasi untuk check-in untuk keberangkatan domestik atau internasional begitu masuk ke dalam gedung, dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencari tahu di mana saya harus check-in.

Tidak ada informasi di bagian mana lokasi check-in counter AirAsia, sehingga kami sempat menyisir seluruh lokasi check-in counter yang masih sangat lengang dan tidak menampilkan informasi apa pun.

Tiga buah mesin kiosk AirAsia yang ada ternyata tidak beroperasi, sehingga saya harus melakukan check-in manual, di mana check-in counter yang buka hanya satu. Itu pun setelah saya bertanya kepada petugas, di mana saya harus check-in.

Saya memang tidak menggunakan fasilitas mobile check-in dari aplikasi karena masih belum percaya dengan sistem yang ada, dan merasa lebih “aman” jika memegang boarding pass cetak.

Setelah melakukan check-in, petugas memberitahu saya bahwa lokasi Gate 1 yang saya tuju untuk boarding berada 2 kilometer dari check-in counter. Buset!

Dari check-in counter, kami masih harus berusaha mencari bagian imigrasi. Setelah berputar dan kesasar, akhirnya kami menemukan pintu menuju imigrasi.

Ajaib, pintunya tertutup sebuah layar LCD yang menampilkan iklan dan informasi yang tidak berguna. Tidak ada petunjuk yang jelas ke mana kami harus menuju pintu imigrasi.

Kami menemukan pintu menuju imigrasi pun setelah kami mengikuti beberapa rombongan orang yang sepertinya juga menuju ke arah yang sama.

Loket imigrasinya cukup baik, dan saya lihat gerbang imigrasi otomatis untuk pemegang paspor elektronik juga berfungsi.

Lepas dari imigrasi, kami harus berjalan menuju Gate 1 yang ternyata lokasinya berada di Terminal 3 yang lama!

Sejumlah travelator yang tersedia sedikit membantu, namun berjalan menuju gate yang berada sekitar 2 KM, itu sungguh melelahkan.

Ada sejumlah golf cart yang bisa ditumpangi oleh penumpang untuk mengantar ke gate yang jauh tersebut, namun jumlahnya terbatas dan saya tidak tahu di mana bisa mendapatkan layanan ini.

Belum lagi di dalam ruang tunggu, tidak banyak kios yang menjual makanan atau minuman, membuat ruang tunggu terkesan kosong.

Terdapat mesin penjual minuman otomatis di ruang tunggu keberangkatan, di mana saat saya mencoba membeli, uang saya ditolak oleh mesin tersebut karena tidak terbaca, meski saya sudah berusaha menggunakan uang yang tidak lecek atau terlipat.

Saat mendarat kembali dari Singapura, kami harus berjalan ke imigrasi yang berada di gedung baru, sedangkan pesawat AirAsia QZ-269 yang kami tumpangi mendarat di gedung terminal lama.

menggunakan golf cart di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta

Beruntung saat itu ada beberapa golf cart yang datang, dan saya pun memilih untuk menumpang golf cart tersebut daripada harus berjalan kaki sejauh 2 KM lagi.

Saya merasakan pengalaman yang kurang nyaman di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.

Saya bahkan tidak tertarik untuk berfoto-foto, karena sudah terlanjur bete dengan terminal ini.

Saya merasa Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta berusaha ingin terlihat mewah dan megah, namun sejatinya banyak fungsi yang tidak terpenuhi.

Belum lagi beberapa desain yang menurut saya tidak fungsional, semacam papan LCD berisi iklan yang menempel di tiang penyangga, kemudian menyorotkan iklan ke tembok menggunakan proyektor yang terkesan kurang elegan, dan yang paling mengganggu adalah layar yang menutupi pintu imigrasi, hingga kurangnya papan petunjuk.

Begitu juga saat keluar dari terminal, kami harus bertanya hanya untuk mencari lokasi di mana kami bisa naik bus DAMRI. Tidak ada petunjuk apa pun yang bisa membantu penumpang.

Peta bandara yang tersedia di situs pun, tidak membantu. Yang banyak muncul malah lokasi toko, bukannya petunjuk arah gate, imigrasi, dan sebagainya.

Terminal 4 Bandara Changi

Suasana berbeda saat kami mendarat di Terminal 4, Bandara Changi, Singapura. Keluar dari pesawat menggunakan garbarata, kami langsung masuk ke ruang kedatangan yang jaraknya sangat dekat.

Di ruang kedatangan ini terdapat petunjuk ke imigrasi, arah jika transit ke Terminal 1, Terminal 2, dan Terminal 3.

mesin kiosk menyediakan wi-fi gratis di Bandara Changi, Singapura

Dua buah mesin kiosk wi-fi gratis tersedia yang langsung diserbu oleh rombongan orang dari Indonesia.

Saya yang awalnya hendak menggunakan layanan ini pun langsung malas melihat kelakuan mereka yang bergerombol mengelilingi mesin.

Untung saya sudah menyimpan peta Terminal 4 Bandara Changi secara luring di ponsel, sehingga meski tanpa menggunakan internet, saya masih bisa bernavigasi di terminal ini.

Meski begitu, peta yang saya unduh hampir tidak saya gunakan, karena papan petunjuk terpampang jelas dan sangat memudahkan.

Arah dan urutannya pun jelas, turun dari pesawat, menuju ke imigrasi, pintu keluar, selesai. Jaraknya pun tidak terlalu jauh dan selama berjalan pun cukup nyaman.

Proses imigrasi merupakan proses yang paling lama. Ada puluhan petugas yang melayani, dan lamanya proses karena memang cukup banyak penumpang yang datang.

Mesin imigrasi otomatis untuk pemegang paspor elektronik juga terlihat berfungsi dengan baik.

Selama menunggu proses imigrasi, saya melihat ornamen menarik yang berada di ruang imigrasi ini. Terdapat seni instalasi tergantung di atap dan terlihat bergerak naik turun. Saya sendiri tidak bisa melihat jelas mekanisme penggerak ornamen ini.

fasilitas hiburan di ruang tunggu Bandara Changi, Singapura

Semboyan “Fast And Seamless Travel at Changi (FAST@Changi)” benar-benar diterapkan pada terminal yang resmi beroperasi pada 31 Oktober 2017 ini.

Sayangnya Terminal 4 tidak terintegrasi dengan layanan MRT di dalam terminal seperti pada Terminal 2, namun terdapat shuttle bus gratis yang bisa digunakan untuk berpindah antar terminal di pintu keluar, atau menggunakan kereta di dalam terminal jika akan melakukan penerbangan lanjutan.

Saya yang hendak menggunakan bus nomor 24 ke hotel, bisa berjalan kaki selama 10 menit untuk sampai di halte Near SATS Flight Kitchen.

Awalnya saya ragu apa benar jalan yang saya tempuh ke halte sudah benar, namun lagi-lagi banyak papan petunjuk membuat saya gampang menemukan lokasi halte.

Begitu juga saat saya hendak terbang dari Terminal 4, Changi. Saya turun dari bus di halte Airport Police Stn yang berada di seberang halte Near SATS Flight Kitchen dan berjalan sekitar 15 menit ke pintu keberangkatan.

Jalan setapak antara halte dan Terminal 4 pun sangat nyaman untuk digunakan berjalan kaki. Jembatan penyeberangan yang dilengkapi lift dan papan petunjuk sangat memudahkan saya.

Saat berangkat pun, saya dengan gampang menemukan mesin kiosk untuk check-in. Ada sekitar 4 mesin yang beroperasi untuk melakukan check-in dan mencetak boarding pass.

Saya melihat peletakan bagasi pun menggunakan mesin. Penumpang menandai tas dan melakukan pemindaian identitas tas secara mandiri. Petugas hanya ada untuk membantu jika ada masalah.

Dari lokasi check-in, pintu imigrasi langsung terlihat. Saat itu kondisi sangat sepi dan tanpa mengantre, saya langsung dilayani petugas imigrasi.

ruang tunggu Terminal 4 Bandara Changi, Singapura

Selepas imigrasi, saya memasuki pemeriksaan barang bawaan, kemudian masuk ke ruang tunggu G4. Lagi-lagi, papan petunjuk berukuran besar sangat memudahkan saya menemukan lokasi ruang tunggu dengan cepat.

Penerbangan QZ-269 saya mengalami penundaan saat itu. Kesempatan ini saya gunakan untuk mencari makan malam.

Saya menuju ke food court International Food Hall di lantai 2M (Transit) untuk mencari makan.

Harga makanan di sini tidak jauh berbeda dengan harga makanan di luar bandara. Saya yang awalnya khawatir karena uang tunai yang kami bawa tidak cukup karena harganya yang selangit, sedikit lega karena harga makanannya masih sangat terjangkau.

Saya melihat banyak kursi yang terlihat nyaman dan empuk bertebaran di sini. Tidak hanya itu, ada layar yang menampilkan film disertai dengan kualitas audio yang mumpuni.

Mesin kiosk wi-fi gratis juga terlihat di beberapa titik di ruang tunggu keberangkatan.

Saya merasa bahwa Terminal 4 Bandara Changi sangat ringkas, efisien, dan sangat membantu penumpang untuk mendapatkan pengalaman terbang yang menyenangkan.

Saking ringkasnya, saya bahkan sampai lupa berfoto-foto karena saya tidak perlu menunggu lama-lama di terminal ini.

3 responses