Berawal dari kolaborasi Lia dan Mas Rivai yang membawa kembali masa-masa dulu main postcrossing, alias kirim-kiriman kartu pos, beberapa pekan kemarin saya cukup serius mempersiapkan diri setelah memutuskan ikut serta.
Postcrossing sendiri sebenarnya nama dari salah satu situs komunitas mengirim kartu pos ke orang asing, yang saya dulu sempat ikut, lalu saya memutuskan berhenti ikut serta.
Awalnya saya hanya ingin mengirimkan satu atau dua kartu pos kepada peserta yang totalnya 17 orang (minus saya) tersebut, namun akhirnya saya menyerahkan alamat saya di Berlin untuk memberikan kesempatan teman-teman yang mungkin belum pernah merasakan mengirim kartu pos, apalagi ke luar Indonesia.
Saya dulu termasuk gemar mengirim dan menerima kartu pos, yang beberapa kirimannya saya tulis di blog ini.
Dulu jika ada teman yang bepergian ke luar negeri atau kota lain di Indonesia, saya biasanya minta dikirimi kartu pos jika memang tidak merepotkan.
Pun jika misal pas saya yang sedang bepergian, saya gantian mengirim ke beberapa teman.
Terakhir kali saya mengirim kartu pos kepada teman adalah saat saya berkunjung ke Praha, Republik Ceko, di mana kartu pos tersebut mendarat dengan selamat di Yogyakarta.
Kemudian saat saya dan istri berkunjung ke Lisbon, Portugal, dan Brussel, Belgia, kami menyempatkan diri mengirimkan kartu pos ke diri kami sendiri.
Waktu di Praha, kami membeli dan mengirim kartu pos dari sebuah kantor pos kecil tepat di depan Gereja Katedral St. Vitus yang berada di dalam kompleks Kastil Praha yang berdiri di atas bukit.
Sementara saat di Lisbon, kami membeli kartu pos dari sebuah kios suvenir di depan Stasiun Metro Baxia-Ciado, tak jauh dari hotel kami menginap, sekaligus membeli prangko dan menyemplungkan ke dalam kotak surat mungil yang kata si pemilik kios akan diambil oleh petugas.
Belakangan saya ketahui bahwa prangko yang kami beli dari kios tersebut bukan lah prangko resmi dari CTT, perusahaan pos Portugal, tapi sebuah perusahaan swasta yang punya lisensi mengirimkan surat, terutama kartu pos, yaitu Openmail.
Openmail bisa melihat peluang bahwa usaha mengirim kartu pos masih cukup populer di kalangan turis, dan mampu merangkul kios-kios penjaja suvenir.
Menurut saya, ide Openmail ini sungguh cerdas, apalagi menemukan kantor pos, terutama saat bepergian, tidak lah mudah.
Saat di Brussel, kami menyempatkan diri mengirim kartu pos dari kantor pos yang ada di Stasiun Brussel Noord, sebelum kami naik bus murah Flixbus yang mangkal di depan stasiun itu ke Amsterdam, Belanda.
Saya membeli kartu pos bergambar Lucky Luke dari Museum Komik Strip yang sejak awal saya niatkan untuk saya kirim untuk kami.
Yang menarik perhatian saya dari prangko Belgia ini, bentuknya adalah seperti sticker, sehingga saya tidak perlu repot membasahi bagian perekat di belakang prangko, dan cukup mengelupas lapisan pelindung sticker.
Sangat praktis dan tidak merepotkan.
Saya sendiri tidak ingat, berapa harga prangko untuk mengirimkan kartu pos itu, tapi yang pasti harganya tidak sampai 1€ untuk pengiriman luar negeri.
Sejak saat itu, saya hampir tidak pernah mengirim kartu pos lagi.
Makanya proyek mengirim kartu pos ini membuat saya kembali semangat untuk kirim-kirim kartu pos kembali.
matripost!
Saya mencuri ide dari layanan Postcrossing, di mana di situs itu, kita bisa melacak dan mengetahui beberapa data terkait dengan kartu pos yang dikirim.
Dari situ, saya membuat matripost!, yang selain untuk pelacakan, saya juga menambahkan beberapa informasi terkait kartu pos yang saya kirimkan ke 17 orang peserta, beserta 6 huruf kode pelacakan yang unik, khusus untuk masing-masing peserta.
Setelah peserta menerima kartu pos tersebut, dengan memasukkan kode yang saya kirim melalui kartu pos ke matripost!, saya bisa mengetahui waktu kartu pos diterima.
Penerima juga bisa meninggalkan pesan balasan di matripost! dengan memasukkan kode tersebut sebagai kredensial.
Saya juga menuliskan pesan di halaman tersebut karena saya tahu, menuliskan pesan di selembar kartu pos tidak akan cukup, sehingga ide untuk menulis pesan di halaman digital yang hanya bisa diakses melalui kartu pos, menjadi salah satu dasarnya.
Dengan cara ini, saya menggabungkan dua media, yaitu konvensional melalui kartu pos dan digital melalui halaman web.
Menyetak Kartu Pos
Ketujuhbelas peserta akan menerima kartu pos dengan gambar yang unik, yang saya buat khusus untuk mereka.
Seluruh gambar pada kartu pos merupakan hasil jepretan ponsel Google Pixel 4a saya, yang saya potret sendiri, yang saya rasa bisa mewakili Berlin dari mata saya sebagai warga.
Foto tersebut kemudian saya cetak menggunakan kertas foto bermerek Media Range seri MRINK104 yang berukuran kartu pos, 10 cm × 15 cm, yang jika dihitung, bisa cukup menghemat biaya.
Kertasnya cukup tebal, dengan berat 220 gram per meter persegi, dengan bahan permukaan glossy.
Media Range sendiri merek Jerman yang selama 10 tahun bermain di teknologi penyimpanan optikal seperti CD, DVD, dan Blu-Ray, yang melebarkan sayap ke media simpan berbasis flash macam SSD dan flashdrive, dan kini merambah dunia kertas.
Harga kartu pos di Berlin berkisar antara 1€ hingga 1,5€, di mana jika dikali 17, harganya bisa mencapai 17€ hingga 25,50€.
Sementara kertas foto yang saya beli berisi 50 lembar yang saya beli dari toko alat tulis McPaper, harganya 9,99€.
Namun rupanya menyetak kartu pos tersebut cukup menguras tinta printer Epson Expression Home XP-3510 saya.
Saya kemudian saya membeli tinta pihak ketiga GPC Image 603 XL dari Amazon untuk menyelesaikan pencetakan 17 kartu pos tersebut, karena harganya lebih murah dan ratingnya cukup bagus.
Benar saja, kualitas tinta merek GPC Image tersebut cukup bagus dan saya tidak bisa membedakan hasil cetakan karena kualitas cetaknya sama-sama bagus.
Meski secara ongkos, menyetak kartu pos sendiri jatuhnya lebih mahal, namun saya puas karena kartu pos yang saya kirim sangat eksklusif dan unik.
Mengirim Kartu Pos
Tanggal 15 Maret 2021, seluruh kartu pos saya kirim menggunakan layanan Deutsche Post.
Di Jerman, layanan pos masih sangat berjaya dan bisa dibilang menjadi tulang punggung birokrasi Jerman.
Seluruh dokumen resmi lembaga akan dikirim menggunakan pos.
Bahkan urusan perbankan pun, misal jika kehilangan kartu ATM, kartu ATM pengganti beserta nomor PIN akan dikirim melalui surat secara terpisah.
Deutsche Post sendiri awalnya perusahaan negara, Deutsche Bundespost, yang kemudian diprivatisasi pada tahun 1995 dan berubah nama menjadi Deutsche Post AG.
Pada tahun 1998, Deutsche Post mengakuisisi perusahaan logistik DHL International, lalu pada tahun 2000, Deutsche Post menjadi perusahaan swasta penuh dengan melantai di lantai bursa Frankfurt Stock Exchange.
Saya membeli prangko di kantor pos langganan saya yang berada di Stasiun Friedrichstraße.
Saya memilih pergi ke kantor pos ini meski di dekat rumah ada kantor pos juga, karena petugas di kantor pos ini bisa berbahasa Inggris, sementara petugas di kantor pos dekat rumah saya hanya bisa berbahasa Jerman.
Untuk pengiriman kartu pos luar negeri, harga prangkonya 0,95€, sementara untuk pengiriman kartu pos dalam negeri Jerman, ongkos prangkonya 0,60€.
Petugas menyerahkan prangko sebanyak 17 buah yang saya beli seharga 0,95€ untuk pengiriman luar negeri berupa rentengan prangko bergambar Flockenblume, alias Knapweeds, atau bunga Centaurea, sejenis aster, yang merupakan bunga endemik di Eropa.
Sebenarnya prangko ini bisa dibeli secara online atau melalui mesin, namun saya sendiri memilih untuk langsung datang ke kantor pos karena lebih cepat dan lebih mudah.
Di rentengan prangko tersebut, setiap 5 prangko terdapat kode EAN (European Article Number), kode batang standar Eropa yang digunakan untuk mengidentifikasi barang.
Kode EAN prangko seri Flockenblume ini adalah 4050357017493.
Menunggu Kartu Pos
Setelah seluruh kartu pos saya kirim, saya kini hanya bisa menunggu kartu pos tersebut sampai ke alamat para penerima.
Saya tentu saja juga menunggu kartu pos kiriman dari peserta masuk ke kotak surat saya.
Rupanya banyak juga peserta yang baru pertama kali mengirim kartu pos, dan saya pun berbagi pengalaman serta informasi tentang kartu pos melalui surel.
Senang rasanya saat para peserta antusias mengirimkan kartu pos pertama mereka.
Dari cerita yang dibagikan melalui surel, beberapa peserta bercerita bahwa ternyata tidak semua petugas kantor pos mengetahui tentang kartu pos, bahkan tidak tahu berapa biaya prangko untuk mengirim kartu pos.
Bayu bahkan bercerita saat menerima kartu pos dari Mbak Fanny, bapak tukang posnya sampai terkejut dan bercerita bahwa kartu pos yang ia antar merupakan kartu pos pertama sejak terakhir ia mengantar 3 tahun lalu.
Mbak Fanny bahkan bercerita, ia harus pergi ke kantor pos yang agak besar dan harus berbincang dengan petugas yang lebih senior, karena petugas yang melayaninya masih cukup muda dan tidak begitu mengerti tentang kartu pos.
Postcardware
Setelah proyek ini, saya berencana meneruskan kebiasaan kirim-kirim kartu pos ini lagi, terutama kepada sesama blogger.
Jika ingin mendapat kartu pos dari saya, bisa meninggalkan komentar di tulisan ini, dan saya akan menghubungi melalui surel untuk meminta alamat pengiriman.
Saya juga menerima kiriman kartu pos, jika ada yang ingin mengirimkan, silakan tinggalkan komentar juga di tulisan ini.
Namun mungkin tidak semua bisa saya penuhi, karena ada beberapa pertimbangan, terutama beberapa blogger yang saya kenal secara pribadi, atau rutin saling berkunjung dan berkomentar di blog ini, akan saya utamakan.
Model ini biasa dikenal dengan postcardware, di mana istilah ini saya kenal dari pengembang software yang “menerima bayaran” berupa kiriman kartu pos sebagai imbalan penggunaan software yang ia gunakan.
Salah satu pengembang software yang menerapkan sistem ini adalah Spatie, perusahaan dari Belgia.
ahhh kangen postcrossing tapi mager ke kantor pos :)))