Tanggal 25 hingga 27 Januari 2020 lalu, saya dan istri berkunjung ke Lisbon, ibu kota Portugal untuk berlibur.
Lisbon menjadi pilihan kami karena kami ingin mengungsi sebentar dari dinginnya Berlin di musim dingin dan mencari kehangatan mentari di Eropa selatan.
Apalagi lokasi Portugal yang menghadap Samudera Atlantik, menjadi tujuan kami untuk mencari seafood segar yang di Berlin cukup sulit didapat.
Di luar dugaan kami, Lisbon rupanya terkesan underrated dan bukan menjadi pilihan utama wisatawan Asia Tenggara, terutama Indonesia, padahal Lisbon sangat cantik!
Saya bahkan bisa mengatakan bahwa Lisbon jauh lebih cantik, teratur, rapih, dan bersih dibanding Berlin.
Kesan ini langsung terpapar saat kami mendarat di Bandara Humberto Delgado (LIS) menggunakan EasyJet bernomor penerbangan EJU7652 dari Bandara Schönefeld (SXF).
Transportasi di Lisbon
Pesawat Airbus A319-111 OE-LKO mendarat mulus di Terminal 1 Bandara Humberto Delgado meski keberangkatan kami terlambat satu jam dari jadwal.
Dari bandara ke pusat kota bisa dicapai dengan menggunakan kereta bawah tanah Metro yang stasiunnya berada di luar Terminal 1 bandara dengan bentuk bangunan khas seperti rumah keong berwarna merah.
Saya melihat ada sapu terbang Nimbus 2000 dari film Harry Potter saat keluar dari bandara menuju stasiun Metro.
Saat kami datang, rupanya ada Pameran Harry Potter yang sedang berlangsung di Lisbon dari tanggal 16 November 2019 hingga 8 April 2020.
Kesan pertama saya saat menggunakan kereta bawah tanah Metro, jauh lebih bersih dan stasiunnya lebih besar dan cantik bila dibandingkan dengan stasiun U-bahn di Berlin.
Jalur Metro di Lisbon pun lebih mudah dipahami karena hanya ada 4 jalur yang menggunakan warna dalam Bahasa Portugis dan simbol khusus di nama jalurnya, yaitu Vermela (merah) berlogo arah mata angin, Amarela (kuning berlogo bunga matahari, Verde (hijau) berlogo kapal layar, dan Azul (biru) yang berlogo burung camar.
Urusan tiket pun juga lebih familiar dan mudah dipahami karena menggunakan sistem tap tiket ke gerbang atau alat khusus di kendaraan, seperti saat menggunakan KRL, MRT, dan TransJakarta.
Membeli Tiket Viva Viagem
Tiket transportasi di Lisbon bernama Viva Viagem bisa dibeli di mesin tiket yang tersedia di stasiun Metro atau melalui loket.
Secara umum ada dua jenis tiket, tiket berwarna hijau dan putih, yang mana kedua tiket ini sama fungsinya, hanya berbeda di jangkauannya saja.
Untuk di dalam kota Lisbon, tiket Viva Viagem berwarna putih lebih dari cukup, yang mana tiket ini bisa digunakan di Metro, Carris (operator bus, tram, dan kereta gantung dan lift), feri penyeberangan Transtejo, dan kereta CP.
Sistem tarifnya ada tiga, yaitu untuk sekali jalan, model deposit semacam model kartu uang elektronik di Indonesia, dan tiket harian yang berlaku 24 jam.
Tiketnya berupa kertas berisi antena RFID seharga 0,50€ ini bisa diisi ulang, namun hanya bisa diisi sesuai dengan jenis tiketnya, dan memiliki masa berlaku satu tahun dari tanggal pembelian.
Misalnya tiket sekali jalan, tidak bisa diisi dengan saldo atau tiket harian. Begitu juga dengan tiket harian 24 jam tidak bisa diisi dengan saldo sekali jalan atau deposit.
Kami membeli tiket sekali jalan dari bandara ke pusat kota, dan saat hendak mengisi kartu dengan tiket harian keesokan harinya, kami harus membeli tiket lagi untuk harian.
Apalagi bentuk tiketnya yang sama antara tiket harian dan tiket bersaldo, bisa membuat bingung, sehingga ada baiknya menyimpan tiket ini di tempat berbeda agar tidak salah ambil saat akan digunakan.
Jika hendak banyak menggunakan transportasi publik, menggunakan tiket harian 24 jam jauh lebih hemat, karena dengan harganya hanya 6,40€, sementara jika membeli tiket satu kali perjalanan ongkosnya 1,50€ (berlaku selama 1 jam), dan bila deposit harga per perjalannya 1,34€.
Mesin tiket menerima pembayaran menggunakan uang tunai dan kartu.
Untuk mengaktifkan atau memvalidasi, tinggal menempelkan tiket ke mesin pembaca tiket dan otomatis tiket akan aktif dan perhitungan masa berlaku tiket (untuk yang 24 jam) dimulai.
Naik Tram
Yang istimewa dari transportasi di Lisbon tentunya adalah tram, yang jalurnya sudah ada sejak tahun 1873 dan mulai menggunakan tram listrik pada 1901.
Kini jalur-jalur tram yang masuk ke gang-gang sempit dan naik turun bukit masih dipertahankan dengan menggunaka kereta unik buatan tahun 1995-1996.
Selain tram tua, ada juga tram modern buatan tahun 1994-1995 yang melayani penumpang dengan daya tampung lebih banyak, namun tram modern ini tidak masuk ke jalur-jalur dengan gang sempit, yang hanya bisa dijangkau oleh tram-tram kecil.
Ada 6 jalur yang dilayani oleh tram unik ini, di mana yang paling populer adalah Tram 28 yang melewati area turistik seperti Basílica da Estrela, Sao Bento, Praça Luís de Camões, Rua Conceição, Sé de Lisboa, Portas do Sol, Graca, dan Anjos.
Tak heran jika ingin naik Tram 28 harus antre dan waspada karena di dalam tram ini rawan pencopetan.
Yang membuat saya kagum, tram-tram ini mampu menanjak dan berhenti di turunan yang curam hanya dengan bertumpu pada rel.
Tram dioperasikan oleh perusahaan Carris yang juga mengoperasikan bus, kereta gantung, dan lift.
Saat masuk ke dalam tram kecil, karti Viva Viagem ditempel ke mesin pembaca kartu yang berada di pintu masuk di bagian depan dan saat keluar lewat pintu belakang tak perlu lagi menempelkan kartu.
Seorang petugas pengontrol tiket secara acak sempat naik ke dalam tram yang kami tumpangi dan mengecek tiket, meski kami sudah menempelkan tiket ke mesin saat naik.
Tuk-Tuk
Di Lisbon, kendaraan semacam tuk-tuk mulai masuk Lisbon dan populer sejak sekitar tahun 2014.
Rata-rata pengemudi bajaj ini menawarkan tur-tur berkeliling Lisbon dengan menggunakan kendaraan ini.
Selain pengemudi lepasan yang menawarkan jasa keliling Lisbon selama 2 jam dengan harga sekitar 50€, ada juga beberapa agensi wisata yang memang menawarkan layanan ini.
Tuk-tuk sangat berguna bagi yang ingin menikmati Lisbon tanpa capek berjalan kaki naik turun bukit dan bisa masuk ke gang-gang sempit yang tidak bisa dijangkau tram dan bus.
Kami tidak tertarik menggunakan layanan tuk-tuk atau bajaj ini, karena memang lebih ingin jalan-jalan menikmati kota dengan berjalan kaki, naik tram, bus, atau Metro.
Tempat Yang Dikunjungi
Kami menghabiskan waktu 3 hari 2 malam di Lisbon dan mengunjungi beberapa lokasi wisata populer.
Sebagian besar kami hanya mengunjungi bagian luar, menikmati pemandangan, memotret, dan tidak masuk ke dalam yang harus membeli tiket.
Berikut ini beberapa tempat yang kami kunjungi selama berada di Lisbon.
Alfama
Area Alfama merupakan salah satu area tertua di Lisbon dan banyak dikunjungi para turis.
Di kawasan ini terdapat gereja katedral Sé de Lisboa,yang merupakan gereja tertua di Lisbon, dibangun pada tahun 1147 dan bertahan dari beberapa kali gempuran gempa bumi.
Gereja katolik roma ini memiliki gaya arsitektur campuran antara gothic, baroque, dan romawi.
Kawasan lain yang populer adalah area pandang Miraduro Santa Luzia yang merupakan bagian teras dari gereja Santa Luzia, di mana dari sini pengunjung bisa melihat ke area bawah kota ke arah pelabuhan Jardim do Tabaco Quay di pinggir Sungai Tagus yang bermuara di Samudera Atlantik yang biasa disinggahi kapal pesiar.
Di area pandang Santa Luzia ini, terdapat lukisan keramik (azulejos) yang menggambarkan pemandangan Lisbon yang menempel di dinding.
Seni lukisan keramik sebenarnya bukan seni asli Portugal, namun berasal dari Seville, Spanyol, yang masuk ke Portugal pada abad ke-15.
Kini azulejos menjadi bagian dari kebanggan Portugal, bahkan lukisan keramik ini dijual sebagai cinderamata khas.
Tak jauh dari area pandang (miraduro) Santa Luzia, kami berjalan menuju area pandang Miraduro Portas do Sol, yang merupakan area pandang terbuka di mana dari sini, pengunjung bisa melihat area perbukitan Alfama.
Menuju ke tempat ini bisa menggunakan Tram 28, namun karena terlalu ramai, kami memilih menggunakan Tram 12 yang lebih sepi dan justru lebih cepat sampai ke area Alfama daripada Tram 28 yang memang rutenya melingkar.
Castelo de São Jorge yang merupakan kastil yang merupakan saksi sejarah Lisbon, di mana kastil ini pernah menjadi istana kerajaan, barak militer, dan kini menjadi monumen nasional dan museum, berada di puncak bukit di area ini.
Menuju ke sini bisa menggunakan Tram 28 atau Tram 12, disambung dengan berjalan kaki menanjak.
Belakangan kami mengetahui bahwa cara paling nyaman untuk sampai ke kastil ini adalah dengan naik bus 737 dari Praça da Figuera, di mana halte terakhir bus ini adalah tepat di depan pintu gerbang kastil.
Menuju ke Castelo de São Jorge juga bisa dilakukan dengan jalan kaki melewati tangga dari Martim Moniz.
Jika beruntung, eskalator ruang terbuka sepanjang 32 meter di tangga Escadinha da Saúde, aktif dan membawa ke atas tanpa lelah berjalan kaki menyusuri tangga yang menghubungkan Praça do Martim Moniz di bawah dan Rua Marquês de Ponte de Lima.
Eskalator yang dibuka untuk umum dan gratis digunakan ini diresmikan pada tahun 2018 dan menelan biaya 800.000€.
Pemerintah kota Lisbon membutuhkan waktu satu setengah tahun untuk membangun eskalator ini karena pada saat pembangunan ditemukan artifak kuno.
Saat kami pertama kali datang di hari Minggu, eskalator ini tidak berfungsi. Namun saat kami ke sini lagi pada hari Senin, eskalatornya berfungsi dan kami sempat mencobanya.
Ah, andai saja eskalator semacam ini ada di hampir setiap tangga di kota yang berjuluk Kota Tujuh Bukit ini, kaki kami pasti tidak gempor!
Baixa-Chiado
Area ini sebenarnya terdiri dari dua distrik, namun karena kedua distrik ini berdekatan, maka sering disebut dengan satu area, Baixa-Chiado.
Baixa adalah area pusat kota Lisbon dan termasuk area baru yang dibangun setelah gempa besar menimpa Portugal pada tahun 1755.
Sementara Chiado adalah area belanja dan pasar, di mana di area ini banyak kafe, restoran, toko roti (yang tentunya membuat pastel de nata alias portuguesa egg tart), dan berpusat di sekitar Praça Luís de Camões.
Kami menginap di Esqina Urban Lodge, yang berada di area Baixa, yang merupakan perpaduan area komersial dan belanja di mana banyak toko-toko bermerek terkenal berada di sini.
Dari hotel, kami dengan mudah berjalan kaki ke Praça do Comércio, sebuah lapangan yang dulunya menjadi pusat komersial dengan adanya pelabuhan di tepi Sungai Targus.
Di tengah lapangan berdiri megah patung perunggu Raja José I tengah naik kuda, yang merupakan karya Joaquim Machado de Castro, pematung terkenal di era itu.
Gerbang Arco da Rua Augusta berdiri tegak menghubungkan lapangan Praça do Comércio dengan area belanja di Jalan Augusta.
Masih di area ini, kami naik lift Elevador de Santa Justa, yang merupakan lift yang terbuat dari besi dengan gaya neo-gothic dan dibuka untuk umum sebagai sarana transportasi publik pada tahun 1899.
Lift setinggi 45 meter atau setara dengan bangunan 7 lantai ini dulunya digunakan masyarakat untuk bepergian dari Baixa di bawah ke Largo do Camo di atas bukit.
Kini lift ini menjadi atraksi turis dan untuk masuk dan naik bisa menggunakan kartu Viva Viagem, atau membayar secara tunai kepada petugas penjaga.
Ongkosnya jika membeli tiket kepada petugas sebesar 5,30€ untuk naik dan turun lift.
Karena lift ini berkapasitas terbatas dan hanya naik dan turun setiap 10 menit sekali, pengunjung harus antre.
Lift buka di musim dingin (1 November hingga 14 April) sejak pukul 07:30 hingga pukul 21:00 sementara di musim panas (15 April hinga 31 Oktober), buka sejak pukul 07:30 dan tutup pada pukul 23:00.
Dari puncak lift, kami melanjutkan naik ke atap untuk menikmati pemandangan dengan membayar lagi sebesar 1,50€ per orang.
Area pemandangan (view point) buka pukul 09:00 hingga 21:00 pada musim panas dan pada musim dingin buka pukul 09:00 hingga pukul 23:00.
Castelo de São Jorge terlihat menjulang di atas bukit di sisi timur dan di sisi selatan terlihat Sungai Targus, sungai terbesar dan terpanjang di Semenanjung Iberia.
Di sisi barat terdapat jembatan yang menghubungkan Elevador de Santa Justa ke area Convento do Carmo, bekas gereja katolik bergaya gothic yang hancur karena gempa tahun 1755 dan kini menjadi museum arkeologi Museu Arqueológico do Carmo.
Kami memilih turun dengan berjalan kaki daripada menggunakan lift, di mana untuk turun juga akan dikenakan biaya dan dibayar dengan menggunakan kartu Viva Viagem.
Belém
Belém merupakan area paling terkenal dan bersejarah di Lisbon, karena dari kawasan ini lah, penjelajah Portugis, Vasco da Gama memulai perjalanannya menuju India pada tahun 1497.
Kami mengunjungi Mosteiro dos Jerónimos, yang dulunya merupakan monasteri (sekolah keagamaan, semacam pesantren) dari Orde Santa Jerome.
Gedung ini memanjang selayaknya sebuah sekolah atau kampus, dengan gereja megah lagi-lagi berarsitektur bergaya gothic yang kental.
Di depannya terdapat sebuah taman Praça do Império dengan air mancur besar yang telah ada sejak zaman Perang Dunia Kedua.
Burung-burung camar terlihat sedang mandi-mandi dan bersantai bertengger di pinggir kolam ini, sesekali beterbangan berkelompok.
Dari Praça do Império kami berjalan menyeberang jalan melalui terowongan menuju ke Padrão dos Descobrimentos, sebuah monumen di pinggir Sungai Targus yang dibangun pada tahun 1940 untuk memperingati zaman penjelajahan pada abad ke-15 dan abad ke-16, dalam rangka Portuguese World Fair.
Kami berjalan kaki menuju ke ikon Lisbon, Torre de Belém, sebuah benteng sekaligus mercusuar yang dibangun di pinggir muara Sungai Targus tepat di pinggir Samudera Atlantik.
Benteng ini dulunya merupakan gerbang pemberangkatan dan perayaan keberangkatan kapal-kapal penjelajah.
Menara ini dibangun pada tahun 1514 dan menjadi bagian dari pertahanan Mosteiro dos Jerónimos.
Banyak yang mengira menara ini dulunya berada di tengah sungai kemudian karena gempa besar tahun 1755 bergeser ke pinggir, namun dugaan ini salah karena sejak awal memang menara ini dibangun di pulau kecil di pinggir sungai.
Kami menghabiskan sore hari menunggu senja di kawasan ini, karena lokasi menara tepat berada di ujung barat Lisbon.
Banyak orang duduk-duduk menikmati sore sambil mendengar iringan musik dari pengamen di area ini.
Museu Do Combatente terletak tak jauh dari Torre de Belém, di mana dulunya benteng ini penjaga yang dibangun pada abad ke-18.
Di sini terdapat Monumento aos Combatentes do Ultramar, sebuah monumen untuk memperingati gugurnya 9.000 tentara akibat Portugal berusaha mempertahankan koloninya di Afrika pada tahun 1961 hingga 1974.
Saat itu sekitar pukul 18:00 terdengar suara sirene dari arah benteng Museu Do Combatente, rupanya ada upacara pergantian penjaga.
Cantiknya Lisbon
Lisbon sepertinya bukan menjadi tujuan utama wisatawan Indonesia, karena sepanjang pengamatan, saya melihat banyak turis berasal dari Spanyol, Prancis, Jerman, Cina, dan Korea Selatan.
Padahal Lisbon sendiri merupakan kota yang paling dikunjungi nomor 9 di Eropa selatan setelah Roma, Istanbul, Barcelona, Milan, Venesia, Madrid, Firenze, dan Atena.
Mungkin karena harga tiketnya yang termasuk mahal jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Eropa dan orang Indonesia cenderung memilih ke kawasan Eropa utara yang lebih dingin.
Kami mendapat tiket dengan harga paling murah dari Berlin ke Lisbon pulang pergi per orang sekitar 100€ pada musim dingin.
Buat kami yang tinggal di Berlin, musim dingin di Lisbon masih lebih hangat, di mana temperatur di Lisbon sekitar 10°C hingga 15°C.
Saya jadi penasaran seberapa dingin sih Jerman di musim dingin, Mas? Sering banget soalnya ketemu sama orang Jerman–atau Belanda–yang sengaja jauh-jauh melarikan diri dari Eropa pas musim dingin ke daerah-daerah tropis kayak Indonesia.
Btw, saya ngekek pas baca part tuktuk. Nggak nyangka ternyata udah nyampe di Eropa. 😀