Memperingati ulang tahun pernikahan kami yang keempat, kami mengunjungi Roma, Italia, serta Vatikan, sebuah negara terkecil di dunia yang berada di dalam kota Roma selama tiga hari dua malam, pada 6-9 Agustus 2019.
Kami sendiri tidak pernah membayangkan bisa memperingati ulang tahun pernikahan kami di Roma.
Perayaan ulang tahun pernikahan kami yang pertama, kami staycation di Hotel Park 5 di Jakarta.
Kami juga tidak sempat merayakan ulang tahun pernikahan kami yang kedua karena saat itu istri tengah sibuk mengurusi acara World of Ghibli Jakarta.
Sementara pada perayaan ulang tahun ketiga kami tahun lalu, kami sedang harap-harap cemas menunggu keputusan apakah saya akan diterima kerja di HelloFresh.
Jika diterima, maka dana untuk merayakan ulang tahun pernikahan bisa dialihkan untuk biaya pindahan.
Alhamdulillah, saya diterima di HelloFresh dan ini menjadi hadiah ulang tahun pernikahan ketiga kami yang luar biasa.
Merencanakan Perjalanan
Seperti biasa, kami berbagi tugas. Saya bertugas mencari uang, sementara istri bertugas menyusun anggaran dan rencana perjalanan.
Kami merayakan ulang tahun pernikahan kami dengan berusaha tidak merogoh kocek terlalu dalam, namun tetap nyaman.
Biaya kami siapkan dengan cara menabung, lalu untuk menghemat biaya, kami membeli tiket penerbangan murah jauh-jauh hari, serta mencari hotel yang nyaman namun dengan harga yang masuk anggaran.
Roma, ibu kota Italia ini menjadi tujuan kami karena kami mendapatkan tiket murah dengan menggunakan maskapai berbiaya rendah, Ryan Air.
Tiket Ryan Air kami dapatkan dengan harga sekitar 100€ pulang-pergi berdua, di mana harga tiketnya sekitar 25€ per orang.
Sebenarnya harga dasar tiket penerbangan ini bisa lebih murah lagi, namun karena kami memerlukan beberapa layanan tambahan, terutama bagasi, kami membayar layanan yang kami butuhkan ini.
Beruntung, di Eropa, tiket penerbangan bisa didapat dengan harga yang murah, namun sayangnya tidak untuk akomodasi.
Kami memilih hotel dibandingkan Airbnb atau hostel, karena ingin merasakan kenyamanan dan keamanan.
Apalagi selisih harga menginap di Airbnb atau hostel tidak jauh berbeda, dan beruntung kami mendapat hotel bagus harga yang cukup ekonomis menggunakan Agoda.
Untuk penginapan, kami menginap di Hotel Pulitzer, sebuah hotel berbintang 4 dengan harga sekitar 150€ untuk dua malam.
Pertama Kali Terbang Antarnegara Schengen
Kami berangkat subuh sekitar pukul 03:00, karena penerbangan pertama kami pukul 06:30 dari Bandara Schönefeld (SXF).
Penerbangan FR 134 yang kami tumpangi akan mendarat di Bandara Giovan Battista Pastine (CIA), di Ciampino, Italia pada pukul 08:30.
Dengan menumpang S-bahn S5, perjalanan dari rumah ke bandara menempuh waktu 40 menit.
Ryan Air mewajibkan kami untuk melakukan check-in mandiri untuk mendapatkan boarding pass menggunakan aplikasi, jika tidak ingin kena biaya check-in sebesar 50€.
Namun untuk berjaga-jaga, saya juga menyetak boarding pass.
Sesampai di bandara dua jam sebelum jadwal keberangkatan dan turun dari kereta S-bahn, kami langsung menuju Terminal D.
Karena baru pertama kali terbang dengan Ryan Air dan belum tahu prosedurnya, kami sempat membuang waktu sekitar 30 menit ikut antre di counter penyerahan bagasi.
Rupanya kami bisa langsung masuk ke ruang tunggu karena sudah check-in dan memiliki boarding pass.
Tidak hanya kami, banyak juga calon penumpang lain yang tidak tahu dan ikut membuang waktu seperti kami.
Oleh petugas, kami diarahkan langsung masuk ke ruang tunggu, dengan memindai kode di boarding pass kami di aplikasi atau boarding pass yang sudah dicetak.
Karena terbiasa dengan maskapai Indonesia, saya mengira masih harus menyetak boarding pass baik melalui mesin atau check-in melalui petugas.
Namun rupanya dengan Ryan Air, kami bisa langsung masuk dengan memindai sendiri boarding pass ke mesin.
Bandara Schönefeld termasuk bandara kecil, sehingga begitu selesai memindai boarding pass, kami langsung masuk ke ruang tunggu setelah melewati mesin pemeriksaan keamanan.
Antrean panjang terjadi karena proses pemeriksaan keamanan, di mana kadang ada calon penumpang yang harus melakukan prosedur keamanan tambahan.
Selesai proses pemeriksaan keamanan, kami hanya duduk menunggu sebentar sebelum boarding, kemudian kami naik pesawat yang lepas landas tepat waktu.
Selamat Datang di Roma
Sesuai jadwal, dua jam kemudian kami mendarat di Italia.
Mirip dengan Bandara Schönefeld, Bandara G. B. Pastine juga kecil dan sangat efisien.
Turun pesawat, kami langsung masuk ke terminal tanpa perlu berjalan jauh, karena pesawat parkir persis di depan pintu masuk terminal kedatangan.
Karena kami hanya berbekal tas ransel kecil yang tak perlu masuk bagasi, kami bisa langsung keluar tanpa perlu menunggu bagasi.
Di bandara tersedia wi-fi gratis, yang bisa digunakan dan kecepatannya kencang untuk sekadar update Instagram, Twitter, atau mencari informasi rute.
Karena kami menggunakan nomor seluler Jerman, yaitu Vodafone dan Lebara, kami bisa menggunakan fitur roaming antarnegara Uni Eropa tanpa kena biaya tambahan.
Tinggal mengaktifkan roaming data, maka kami bisa menggunakan internet di ponsel seperti saat kami berada di Jerman tanpa mendaftar paket roaming atau semacamnya, selama paket yang kami gunakan mendukung.
Untuk menuju Roma, kami menggunakan bus bandara yang loketnya berada di dekat pintu keluar.
Ada banyak pilihan operator bus bandara dengan harga yang relatif sama.
Kami memilih operator TerraVision, dengan harga tiket sekali jalan 6€ per orang atau jika membeli tiket pulang pergi, harga tiketnya lebih hemat jadi 10€.
Bus akan membawa kami ke Terminal Termini di pusat Kota Roma, yang kemudian dari sana kami bisa menggunakan angkutan umum berupa bus atau kereta Metro.
Jika ingin lebih murah, dari bandara bisa menggunakan bus Atral ke Anagnina yang kemudian disambung naik Metro A ke Termini.
Setelah membeli tiket bus TerraVision, kami langsung menuju halte bus yang memiliki jalur masing-masing per operator.
Perjalanan dari bandara ke Termini memakan waktu 40-50 menit.
Saya merasa seperti naik bus Damri bandara di Jakarta, di mana suasana, dan kelakuan pengemudinya mirip.
Kondisi jalan tol, pengemudi yang menyetir sambil menelepon, memutar musik dari radio, mengingatkan saya seperti saat naik bus Damri.
Transportasi di Roma
Setelah sampai di Termini dan turun dari bus TerraVision, kami segera masuk terminal dan berencana membeli tiket transportasi publik di Roma, yang dioperasikan oleh perusahaan ATAC.
Suasana Termini mirip sekali dengan Terminal Blok M di Jakarta, di mana di dalam terminal terdapat toko-toko dan department store.
Kami berencana membeli tiket transportasi dari mesin penjual tiket, namun karena bingung, karena tidak menemukan menu di mesin tiket yang kami lihat, kami akhirnya bertanya kepada polisi yang berpatroli.
Rupanya kami salah mesin, karena mesin yang kami pakai adalah mesin untuk tiket kereta Trenitalia, kereta jarak jauh dan kereta lokal, padahal kami berniat membeli tiket Metro.
Dari informasi polisi, rupanya kami bisa membeli tiket 3 hari di kios-kios kecil yang tersebar di terminal.
Kami pun membeli tiket untuk 3 hari (72 jam) seharga 18€ per tiket.
Tiket ini bisa digunakan di seluruh moda transportasi di Roma, mulai dari bus, kereta Metro, dan tram.
Sebelum digunakan, tiket ini harus divalidasi terlebih dahulu, di mana mesin validasi ini ada di terminal, di dalam bus, atau di pintu masuk stasiun kereta Metro.
Hari Pertama di Roma
Karena kami baru bisa check-in di siang hari sekitar jam 13:00 dan kami sudah mendarat di Roma sejak pukul 08:30, kami pun berkeliling Roma dan mencari sarapan.
Dari Termini kami menggunakan bus kota untuk menuju ke beberapa tempat dan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri gang-gang sempit di tengah bangunan khas mediterania.
Colazione da Roscioli
Sebelum memulai hari, kami mencari warung kopi lucu khas Italia.
Kami mampir dulu ke Colazione da Roscioli, sebuah kafe lucu sekaligus toko kue.
Di Italia, minum kopi, terutama espresso, sambil berdiri, dan kemudian pergi setelah selesai adalah hal yang biasa.
Espresso di Italia juga biasa ditemani dengan segelas air putih.
Saya memesan espresso dengan biji kopi yang direkomendasikan, dan saya diberikan kopi dengan rasa buah yang berasal dari Etiopia.
Selain espresso, kami memesan maritozzo con panna, roti tradisional Roma, yaitu roti manis dengan krim di atasnya.
Di dalam resto kecil ini, terdapat ruang tempat untuk duduk-duduk, namun karena kami ingin merasakan suasana kafe dengan minum sambil berdiri.
Pengunjung kafe pun beraneka ragam, mulai dari anak muda hingga orang tua, baik laki-laki atau perempuan.
Campidoglio
Selesai ngopi, kami berjalan kaki menyusuri gang-gang sempit menuju ke Campidoglio, Bahasa Italia dari Bukit Capitoline, salah satu dari tujuh bukit di Roma.
Bukit ini awalnya bernama Mons Saturnius, atau bukit yang yang didedikasikan untuk Dewa Saturnus.
Di puncak bukit ini terdapat bangunan museum dan gedung yang dirancang oleh seniman dan ilmuwan terkenal Italia, Michaelangelo Buonarotti.
Bangunan ini bernama Piazza del Campidoglio, yang kini memiliki fungsi masing-masing, mulai dari gereja hingga museum.
Meski terlihat datar, namun saat kami menuju ke atas, kami terengah-engah.
Apalagi cuaca matahari Italia saat itu sedang terik-teriknya, mencapai 34°C dengan kelembapan yang mirip dengan kelembapan di Indonesia.
Di tengah piazza atau latar bangunan, terdapat patung replika Marcus Aurelius.
Altare della Patria
Pemberhentian kami selanjutnya adalah Altare della Patria, yang berada dalam satu kawasan dengan Bukit Capitoline.
Altare della Patria adalah monumen terbesar di Roma ini hampir bisa terlihat dari seluruh sudut kota Roma.
Monumen ini dibangun untuk mengenang Victor Emmanuel II, raja pertama setelah Italia bersatu.
Bangunan yang dibangun pada 1885 dan diarsiteki oleh Giuseppe Sacconi, sementara patung-patung hiasan dibuat oleh pematung Leonardo Bistolfi dan Angelo Zanelli.
Monumen ini dibuka pada 4 Juni 1911 dan selesai pada tahun 1935.
Lebar monumen ini adalah 135 meter dan tinggi 70 meter dengan total area 17.550 meter persegi.
Pada era Fasisme di tahun 1922, Altare della Patria menjadi monumen kebanggaan rezim militer Benito Mussolini.
Akhir Perang Dunia Kedua, pada tahun 1946, Republik Italia menghapus seluruh simbol Fasisme dan mengembalikan fungsi banguna menjadi monumen kebanggan Italia.
Masuk ke Altare della Patria yang terbuat dari marmer putih yang didatangkan dari Botticino, Brescia, Italia utara, kami bisa melihat pemandangan Kota Roma dari atas.
Di dalam altar ini juga terdapat nisan pahlawan tak dikenal lengkap dengan api abadi untuk memperingati tentara yang gugur pada Perang Dunia Pertama.
Nisan ini berada di bawah patung Dewi Roma, dan dijaga oleh dua orang penjaga dengan pakaian berwarna putih.
Saya beruntung, sempat melihat upacara pergantian petugas penjaga nisan pahlawan tak dikenal ini.
Campo de’ Fiori
Sebelum check-in ke hotel, kami mampir sebentar ke Campo de’ Fiori, sebuah lapangan kecil yang menjadi pasar pada pagi hingga siang hari.
Campo de’ Fiori sendiri berarti “ladang buah”, namun kini tempat ini berada di tengah gedung pemukiman dan restoran.
Dulu lokasi ini juga menjadi tempat eksekusi, di mana pada 17 Februari 1600, Giordano Bruno, seorang filsuf yang menulis banyak buku kontroversi terhadap Vatikan, dieksekusi dengan cara dibakar hidup-hidup.
Patung Giordano Bruno yang dibuat oleh Ettore Ferrari pada tahun 1889 didirikan di tempat Giordano Bruno dieksekusi dengan menghadap ke Vatikan.
Di sini terdapat penjual berbagai hal, mulai dari makanan hingga perabotan.
Ada yang menarik saat kami membeli jus buah segar di sini.
Saya dan istri berbicara dengan Bahasa Indonesia untuk berdiskusi tentang jus buah segar mana yang ingin kami beli.
Rupanya penjual jus buah yang rupanya berasal dari Bangladesh ini mengerti dan bisa berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia.
Untungnya saat itu kami tidak mengatakan hal-hal buruk atau bergosip, karena rupanya bapak penjual jus buah tersebut bisa mengerti.
Pastificio Guerra
Dari Altare della Patria, kami ke hotel terlebih dahulu untuk check-in, menaruh ransel, istirahat sebentar, kemudian mandi karena siang yang panas membuat kami berkeringat.
Mengingat kami belum makan siang, kami mencari tempat makan siang yang tak jauh dari tujuan kami selanjutnya, yaitu di sekitar Piazza di Spagna.
Di dekat lokasi turistik ini, kami makan pasta di Pastificio Guerra.
Pastificio berarti pembuat pasta, di mana sebenarnya toko ini membuat dan menjual berbagai jenis pasta mentah.
Namun rupanya Pastificio Guerra juga menjual pasta matang siap santap yang mulai tersedia jam 13:00.
Yang menarik, pasta yang dibuat setiap hari hanya 2 jenis pasta yang setiap hari berganti menu.
Hari itu kami mendapat jatah fetuccini pomodoro dan rigatoni alla matriciana.
Harganya pun murah, hanya dengan 4€ per porsi bisa dapat pasta otentik nan mengenyangkan.
Biasanya orang beli pasta matang untuk dibawa pulang.
Namun jika makan di tempat, tersedia meja sekadarnya di mana pengunjung makan sambil berdiri di dalam toko, karena tidak disediakan kursi.
Air minum gratis di tempat ini dan boleh minum sepuasnya saat makan di dalam warung.
Jika makan di tempat, pengunjung bisa mendapat bonus white wine khas warung ini.
Piazza di Spagna
Piazza di Spagna merupakan tempat turistik yang sangat ramai, berupa lapangan luas di depan Spanish Steps.
Dulunya tempat ini disebut Palazzo di Spagna, karena merupakan halaman Kedutaan Spanyol pada masa Vatikan sejak 1647.
Terlihat banyak kereta-kereta berkuda yang menawarkan jasa berkeliling lokasi dengan naik kereta ala bangsawan.
Di tengah lapangan terdapat kolam dan air mancur Fontana della Barcaccia yang bergaya baroque.
Polisi dan petugas menggunakan rompi khusus tampak berkeliling dan memperingatkan pengunjung untuk tidak melanggar aturan, misalnya nyemplung ke dalam kolam atau meminum air dari pancuran dengan cara nyucup (mulut mengenai kran.
Aturan baru ini diterapkan sejak awal 2019 ini memang diterapkan pemerintah Kota Roma untuk mengatur kelakuan turis yang sering merusak atau mengganggu.
Terlepas dari aturan, seluruh air yang keluar dari pancuran di kolam, atau di kran-kran di tempat umum di jalanan di Roma, memang bisa langsung diminum, termasuk air dari Fontana della Barcaccia ini.
Kami kemudian naik meniti tangga Spanish Steps yang berada tepat di depan Fontana della Barcaccia.
Tangga berjumlah 135 anak tangga ini diresmikan pada masa Paus Benedictus XIII pada masa pengampunan (Jubilee) pada tahun 1725.
Di puncak tangga terdapat Gereja Trinità dei Monti yang masih aktif dipakai.
Polisi dan petugas juga berkeliling melarang pengunjung untuk duduk-duduk dan makan di anak tangga ini.
Berjalan agak ke tenggara, terlihat Tugu Bunda Suci Maria (Colonna dell’Immacolata).
Venchi Cioccolato e Gelato
Ke Italia tak lengkap rasanya kalo tidak makan gelato, alias es krim khas Italia.
Dalam perjalanan kami menuju Pantheon, kami mampir dulu di Venchi Cioccolato e Gelato yang berada di Via degli Orfani.
Toko ini sangat terkenal dan ramai sekali, di mana terlihat dari antrean yang panjang.
Berawal dari toko coklat yang didirikan oleh Silviano Venchi pada tahun 1878, toko ini kini mempunyai cabang di 70 negara.
Namun karena cuaca panas, kami memilih gelato berukuran besar yang bisa dimakan bersama.
Kami memilih 3 sendok es krim rasa cappuccino, mascarpone, dan stracciatella yang ditumpuk di atas cone bertabur kacang dan coklat.
Es krim ukuran sedang ini harganya murah, hanya 5€.
Pantheon
Pantheon yang dalam bahasa Yunani berarti “(kuil) untuk seluruh dewa”, dulunya merupakan kuil Romawi kuno.
Kini, bangunan bersejarah dengan bentuk melingkar (rotunda) dengan kubah beton tanpa tulang terbesar di dunia ini menjadi gereja yang masih aktif digunakan.
Dengan delapan pilar di bagian muka, dan dua lajur empat pilar di belakangnya, menyokong pedimen berbentuk prisma di depannya.
Bangunan yang dibangun pada tahun 113 hingga 125 ini masih berdiri kokoh dan menjadi saksi berbagai peristiwa.
Di bagian atap pendimen, terdapat tulisan M·AGRIPPA·L·F·COS·TERTIVM·FECIT yang memiliki arti, “Marcus Agrippa, putra Lucius membangun bangunan ini ketika berkonsultasi yang ketiga kali”.
Di halaman depan, terdapat pancuran dan tugu yang bernama Fontana del Pantheon.
Masuk ke Pantheon gratis, namun karena merupakan gereja aktif, tentu pakaian pengunjung harus diperhatikan.
Gereja Santa Maria dan Syuhada (Sancta Maria ad Martyres) menjadi nama gereja di dalam Pantheon yang mana di dalamnya terdapat makam dua raja Italia, Victor Emmanuel II dan Umberto I, dan ratu Margherita.
Kubah Pantheon memiliki diameter 43,3 meter dan di bagian ujung atapnya terbuka, sehingga cahaya bisa masuk menerangi bagian dalam rotunda.
Piazza Navona
Piazza Navona merupakan lapangan panjang yang dulunya merupakan Circus Agonalis, sebuah lapangan untuk berlomba dan berkompetisi.
Panjang lapangan ini sekitar 235 meter, dan terdapat 3 kolam dan pancuran yang berada di sisi selatang, tengah, dan utara.
Gereja bercorak baroque, Sant’Agnese in Agone yang dibangun sejak abad ke-17, berdiri megah di sisi selatan dan berada di depan kolam Fontana dei Quattro Fiumi (pancuran empat sungai), yang memiliki tugu obelisk dari Mesir di bagian tengah.
Di sisi selatan terdapat kolam Fontana del Moro, dan di sisi utara terdapat kolam Fontain of Neptune.
Fontana dei Quattro Fiumi dibangun pada tahun 1651, di mana patung-patungnya dipahat oleh Gian Lorenzo Bernini, dan tugu obelisk di kolam ini dibawa dari Circus Maxentius.
Kolam-kolam Fontana del Moro dan Fontain of Neptune dibangun oleh Giacomo della Porta pada tahun 1574 (Fontain of Neptune) dan 1575 (Fontana del Moro).
Pada 1673, Bernini menambahkan patung Moor (penduduk muslim dari Maghreb) yang tengah berkelahi melawan lumba-lumba.
Patung Neptunus ditambahkan ke Fontain of Neptune oleh pematung Antonio Della Bitta pada tahun 1878.
Kami tidak menghabiskan banyak waktu di tempat ini karena terlalu lelah berkeliling, dan hanya menikmati suasana di depan Fontana dei Quattro Fiumi.
Fontana di Trevi
Hari pertama kami berakhir di Fontana di Trevi, yang merupakan kolam baroque terbesar dan paling terkenal.
Patung dan bangunan kolam setinggi 26,3 meter dengan panjang 49,15 meter ini sering muncul di beberapa film, membuat kolam ini merupakan kolam paling terkenal di dunia.
Bangunan yang menjadi latar belakang pancuran adalah Palazzo Poli.
Dulu, pengunjung melemparkan koin dengan tangan kanan melewati bahu kiri ke dalam kolam dengan harapan keinginannya terkabul.
Namun kini, ritual ini sudah dilarang dan polisi dan petugas tak segan-segan menindak siapa pun yang melanggar.
Koin yang dilempar ke dalam koin bisa mencapai 3.000€ per hari, dan uang itu digunakan pemerintah Roma untuk membiayai pembangunan.
Saat kami datang pada malam hari sekitar pukul 20:35, pengunjung masih memadati kolam.
Kami bahkan harus berdesak-desakan dengan pengunjung lain untuk mendekat dan melihat ke kolam.
Hari Kedua dan Ketiga
Karena tulisan ini sudah sangat panjang, saya akan menuliskan lanjutannya di hari kedua saat kami berkunjug ke Colloseum, hari ketiga saat mengunjungi Vatikan, kesan saya selama menginap di Hotel Pulitzer, dan beberapa hal unik lainnya selama di Roma, Italia di tulisan terpisah.