Sudah lama sebenarnya saya ingin memiliki dan membangun sendiri home lab server di rumah.
Selain berguna untuk memenuhi kebutuhan layanan aplikasi saya, punya home lab server bisa jadi ajang penyaluran penasaran, utak-atik, dan belajar hal baru.
Apalagi sejak saya tidak menghabiskan waktu di Instagram, saya lebih banyak mencari kegiatan yang lebih berguna.
Saya lalu teringat keinginan saya untuk membangun home lab server, yang selama ini tidak pernah terealisasi.
Waktu luang saya pun saya isi dengan membaca, melakukan riset, hingga kemudian merancang dan merencanakan my dreamed home lab server.
Dari kegiatan ini, saya kembali belajar tentang Linux, jaringan, perkembangan teknologi perangkat keras terbaru, dan masih banyak lagi yang selama ini kurang saya ikuti.
Salah satu yang membuka mata saya yang selama ini menggunakan macOS adalah, Linux, terutama untuk rumahan (desktop), berkembang sangat pesat.
Tentu saja saya juga terpapar dengan Windows 10 dan Windows 11 yang jauh berbeda dengan saat terakhir kali saya menyentuh Windows XP.
Windows “modern” terakhir yang saya sentuh adalah Windows 8, yang kurang saya suka, karena Windows 8 sebenarnya didesain untuk layar sentuh.
Saya menggunakan Windows 8 di laptop milik istri saya, Lenovo G40-45, yang selain performanya kurang (karena termasuk budget laptop), juga tidak memiliki layar sentuh.
Laptop ini pun sudah tidak lagi digunakan, meski masih berfungsi dengan baik.
Memang luar biasa sekali pengaruh walled garden ekosistem Apple ini, terutama ketika “once you’re (on) Mac, you’ll never go back!”
Btw, setelah memasang dan menggunakan Arch Linux, saya makin penasaran dan kembali haus untuk mencoba-coba Linux dan meng-oprek server.
Saya merasa seperti kembali ke masa-masa kuliah, di mana saya banyak mencoba Linux yang saat itu referensi dan dokumentasinya masih sangat-sangat terbatas.
Bila dibandingkan dengan sekarang, memasang Linux sangat-sangat mudah, bahkan beberapa distro memang menargetkan pengguna orang yang awam.
Selain Linux, teknologi server, jaringan, dan infrastruktur juga sangat berbeda dengan saat saya masih kuliah.
Orang awam pun, dengan bantuan tutorial yang beredar di internet, mulai dari blog, YouTube hingga TikTok, bisa mengadministrasi server dan jaringan untuk kebutuhan rumahan.
Hal ini lah yang membuat saya seperti menemukan hobi yang rupanya tidak jauh dari pekerjaan saya sehari-hari.
Namun bedanya, saya tidak mencari uang, tetapi mencari senang.
Kebutuhan Aplikasi
Rencananya, home lab server ini akan menjalankan beberapa layanan dan aplikasi yang saya butuhkan.
Tentu ada banyak sekali yang bisa saya lakukan, namun saya menentukan setidaknya ada tiga layanan yang menurut saya penting.
Berikut ini adalah tiga layanan dan aplikasi teratas yang saya butuhkan dan ingin saya pasang di home lab server saya.
Home Assistant
Pertama, saya membutuhkan server untuk Home Assistant untuk menjadi pusat komando perangkat cerdas (smart devices) yang ada di rumah
Selama ini saya menggunakan Amazon Echo Dot 4 untuk mengontrol dan berinteraksi dengan perangkat cerdas di rumah melalui Alexa dan kadang Google Assistant di ponsel, namun ini sangat tergantung kepada koneksi internet.
Jika koneksi internet mati, perangkat-perangkat cerdas tersebut menjadi bodoh.
Home Assistant membuat seluruh perangkat cerdas ini bisa terhubung tanpa bergantung pada internet, selama berada di jaringan lokal yang sama.
Tentu saja, beberapa perangkat cerdas tidak didukung oleh Home Assistant, namun hampir semua perangkat cerdas didukung oleh Home Assistant.
NAS (Network Attached Storage)
Saya menggunakan beberapa hard disk dan SSD eksternal untuk menyimpan data yang jarang saya akses sehingga tidak memenuhi komputer saya serta untuk melakukan backup.
Seringkali saya lupa di mana data tersebut saya simpan karena saya mempunyai beberapa media penyimpan eksternal.
Selain di media penyimpan eksternal, saya juga menyimpan cadangan data ke layanan cloud, yang juga sekaligus memudahkan saya untuk melakukan pertukaran dan berbagi data.
Layanan cloud seperti Dropbox, OneDrive, Google Drive, atau iCloud saya gunakan untuk berbagi data seperti foto dan dokumen dengan istri saya.
Biasanya kami bertukar dan berbagi data melalui AirDrop karena kami menggunakan iPhone dan saya ada Mac, yang tentu saja meski pertukaran ini terjadi secara lokal menggunakan bluetooth dan Wi-Fi, sebagian data disimpan ke iCloud.
Tentu saja selain menggunakan internet, saya juga berlangganan dengan membayar layanan tersebut untuk mendapatkan kapasitas yang cukup dan kemudahan akses dari mana saja.
Namun saya ingin menyimpan data-data ini di rumah, dengan kemudahan akses seperti layanan di cloud, yang mana bisa dicapai dengan menggunakan NAS.
Bisa dibilang, memiliki NAS seperti memiliki layanan cloud namun seluruh data ada di rumah.
Sarana Belajar
Saya ingin memiliki perangkat yang saya gunakan untuk belajar, di mana saya bisa melakukan percobaan tanpa takut merusak atau menghilangkan data.
Namanya juga home lab, dengan perangkat dan environment ini, saya bisa memasang aplikasi, sistem operasi, konfigurasi jaringan, dan berbagai hal lain tanpa takut salah, atau sebagai proof of concept sebelum saya pasang di server sebenarnya.
Ini bisa saya lakukan dengan menjalankan VM (virtual machine) di virtual environment, yang mana selain mengoptimalkan penggunaan komputer, seluruh layanan terisolasi dan tidak akan mengganggu satu sama lain.
Saya juga bisa dengan cepat memasang berbagai distro Linux, atau mencoba aplikasi baru menggunakan VM.
Bahkan saya berencana memasang seluruh layanan di atas secara virtual menggunakan virtualisasi.
Tentu saja masih banyak hal yang ingin saya lakukan selain tiga hal ini, namun setidaknya, ini adalah kebutuhan dasar saya untuk memiliki home lab server.
Mempersiapkan Perangkat Keras
Untuk membangun home lab server, tentu saya membutuhkan perangkat keras alias hardware untuk menjalani hobi saya tersebut.
Sebagai seorang cheapskate, saya tidak ingin mengeluarkan ongkos yang terlalu mahal.
Bahkan mencari perangkat terbaik dengan harga terendah menjadi tantangan dan keasyikan tersendiri.
Meski mampu membeli perangkat terkini yang mahal, namun pengalaman mencari perangkat yang optimal dan value for money menjadi salah satu hal yang juga memuaskan.
Apalagi setelah melakukan riset, membanding-bandingkan berbagai ulasan, dan akhirnya menemukan barang yang diincar, memberikan kepuasan tersendiri.
Ada beberapa pilihan yang bisa saya lakukan untuk mendapatkan perangkat yang diinginkan dengan anggaran yang ringan.
Pertama adalah menggunakan komputer mikro semacam Raspberry Pi, Orange Pi, atau Odroid.
Pilihan kedua adalah menggunakan mini PC alias komputer mungil yang sudah terintegrasi, semacam Mac Mini atau Intel Nuc.
Ketiga adalah merakit PC, di mana mengumpulkan komponen-komponennya untuk kemudian dirakit menjadi komputer yang fungsional.
Pilihan keempat adalah menggunakan laptop yang ada, salah satunya adalah MacBook Pro atau laptop Lenovo G40-45 milik istri saya yang sudah tidak dipakai.
Kelima, membeli PC yang sudah jadi alias built-in dari beberapa merek, seperti Lenovo, Dell, HP, dan sebagainya.
Dari semua pilihan tersebut, saya membandingkan antara usaha, hasil, dan perkiraan biaya yang dikeluarkan.
Memilih Perangkat
Sudah lama saya memiliki Raspberry Pi 3 B yang sebenenarnya cukup nanggung spesifikasinya.
Saat ini, komputer berukuran kartu kredit ini saya gunakan sebagai DNS server sekaligus penangkal iklan dan malware AdGuard di jaringan rumah saya.
Saya tidak ingin menjadikan Raspberry Pi saya ini sebagai home lab server, karena selain spesifikasinya yang kurang powerful, perangkat ini sudah saya kategorikan sebagai production, yang mana jika perangkat ini bermasalah, jaringan di rumah saya akan berantakan.
Membeli Raspberry Pi yang baru juga tidak murah dan tidak mudah.
Perangkat yang awalnya didesain dengan harga jual yang murah, kini menjadi cukup mahal karena selain makin powerful dan populer, perangkat ini membutuhkan beberapa aksesoris yang bila dihitung-hitung, jatuhnya setara dengan membeli mini PC.
Dari sini lah, saya kemudian mempertimbangkan membeli mini PC, karena selain harganya yang cukup murah, ukurannya yang kecil dan sudah terintegrasi, membuat perangkat ini cukup menggiurkan.
Secara harga, mini PC ini berada di rentang sekitar 100€ hingga 300€, di mana Raspberry Pi plus aksesoris semacam catu daya, micro-SD, perangkat pendingin, casing, dan sebagainya, bisa mencapai sekitar 100€ hingga 150€.
Kemudian saya menghitung biaya yang harus saya siapkan bila merakit PC atau server.
Ide ini langsung saya buang, karena anggaran yang dibutuhkan cukup tinggi, meski hal ini bisa memberikan kepuasan tersendiri selama proses mengumpulkan komponen, memasang, hingga akhirnya menjadi komputer utuh yang tidak hanya fungsional namun performanya maksimal.
Mungkin saja suatu saat saya akan terjun ke kalangan (mending) rakit PC, namun untuk saat ini tidak dulu.
Pilihan keempat adalah memanfaatkan laptop yang ada, namun saya memiliki rencana lain dengan laptop, dan merasa sayang jika laptop dimanfaatkan sebagai server, meski sebenarnya sangat bisa dan lebih dari cukup.
Salah satu kekurangan laptop adalah terbatasnya ekspansi media simpan, di mana saya tidak bisa memasang hardisk berkapasitas besar.
Tentu saja hal ini bisa diakali dengan menggunakan kabel USB, namun jika digunakan sebagai server, USB tidak secepat jika dipasang langsung ke port SATA atau PCI, plus USB kurang bisa diandalkan jika terhubung terlalu lama tanpa ada aktivitas ke media simpan.
Pilihan terakhir adalah membeli komputer bekas yang sudah jadi, di mana tidak perlu menggunakan spesifikasi terkini, namun tetap membuka ruang ekspansi.
Komputer built-in bekas kantoran cukup menggiurkan, karena biasanya komputer “kelas bisnis” ini selain spesifikasinya tinggi, biasanya kondisinya masih sangat bagus.
Biasanya komputer ini disingkirkan oleh perusahaan karena adanya peremajaan atau penggantian komputer baru yang sebenarnya komputer lama ini masih sangat layak digunakan.
Di eBay (dan juga situs online lain), perangkat ini banyak dijual, baik yang bekas maupun yang refurbished alias diremajakan dengan mengganti beberapa perangkat yang rusak atau kuno.
Beberapa jenama komputer built-in seperti Dell, Lenovo, HP, atau Acer cukup mendominasi.
Meski built-in, komputer-komputer ini bisa diganti atau di-upgrade komponennya jika dibutuhkan.
Harganya pun, karena biasanya komputer ini berusia 10 hingga 15 tahun, berada di rentang harga 100€ hingga 150€.
Saya pun mengambil pilihan terakhir ini, membeli komputer bekas atau refurbished.
Membeli Komputer Bekas
Biasanya saya berburu di Amazon atau Aliexpress, namun kali ini saya mencoba eBay karena saya memang mencari barang-barang bekas.
Awalnya saya ragu karena situs jual beli yang sejak dulu, di mata saya, adalah situs jual beli ini banyak tipu-tipunya.
Namun rupanya stigma tersebut kini sudah banyak berubah dan tidak seperti yang saya bayangkan, meski tentu saja selalu ada risiko.
Salah satu fitur yang menarik di eBay adalah sistem lelang dan menawar harga (bidding), di mana dengan sistem ini barang yang dijual bisa dihargai sesuai dengan tawaran tertinggi.
Namun saat saya mencoba menawar suatu barang, tawaran saya selalu dikalahkan oleh orang lain, yang belakangan saya tahu bahwa kita bisa menggunakan fitur auto-bidding.
Karena malas berurusan dengan tawar menawar harga, saya mencari barang yang harganya sudah jelas saja.
Anggaran saya untuk komputer bekas atau refurbished ini adalah di bawah 100€, di mana harga paling masuk adalah sekitar 50€ hingga 75€.
Saya pun belajar kembali tentang perangkat keras, seperti mengenali berbagai jenis prosesor, mainboard, socket, hingga berapa daya yang dikonsumsi, kompatibilitas, dan sebagainya.
Beberapa tipe prosesor dan seri komputer menjadi populer di kalangan hobbyist oprek PC dan home lab server enthusiasts, karena bisa dibilang merupakan hidden gem, yang membuat harganya cukup tinggi.
Saya kemudian menemukan penjual yang menawarkan komputer Dell OptiPlex 9010 dengan harga sekitar 70€ dengan spesifikasi yang menggiurkan.
Penjualnya adalah perusahaan yang terbiasa membeli atau menerima limpahan komputer bekas dari perusahaan, melakukan peremajaan, dan menjual kembali komputer ini.
Bisa dibilang, perusahaan semacam ini termasuk menyelamatkan lingkungan, karena sampah elektronik seperti komputer ini sangat merusak jika tidak ditangani dengan baik.
Komputer built-in keluaran Dell ini menggunakan prosesor Intel generasi ketiga i5-3550 quad core dengan kecepatan 3,4GHz, plus RAM 8GB DDR3 1600MHz, SSD 250GB dan lisensi Windows 10 Pro.
Usia komputer ini adalah 12 tahun, yang setara dengan MacBook Pro mid-2012 saya, yang mana komputer ini diluncurkan pada pertengahan 2012.
Ada empat jenis (form factor) seri ini, yaitu Desktop, Mini Tower, Small Form Factor, dan Ultra Small Form Factor.
Komputer yang saya beli ini adalah seri SFF (Small Form Factor) yang menurut saya cukup kecil namun masih memiliki ruang untuk ekspansi.
Saya memang tidak ingin memiliki komputer berukuran besar, dan menurut saya, ukuran SFF ini cukup ideal.
Saat saya terima, komputer berfungsi dengan baik, dengan beberapa lecet dan goresan di bagian luar, namun tidak mengurangi fungsi.
Pengemasannya pun terlihat profesional, dengan menggunakan kantong udara yang terbuat dari plastik daur ulang.
Saat saya cek, di bagian dalam sedikit kotor oleh debu, karena dugaan saya komputer ini tidak dibersihkan secara menyeluruh dan hanya dicek seluruh fungsinya saja.
Sebelum saya memanfaatkan komputer ini sebagai home lab server, saya tentu membongkar dan membersihkan seluruh komponennya, termasuk mengganti thermal paste yang saya yakin sudah kering dan akan mempengaruhi performa.
Windows 10 Pro versi Jerman juga terpasang, meski di bagian luar tertempel sticker bertulis Windows 7, karena aslinya komputer ini menggunakan sistem operasi Windows 7.
Sebenarnya saya tidak membutuhkan sistem operasi ini, namun karena komputer ini dijual untuk desktop, penjual memasang Windows 10 Pro yang saya yakin berlisensi OEM.
Saya juga sempat mencoba Windows 10 Pro ini untuk melakukan pembaruan BIOS karena rupanya perangkat ini menggunakan BIOS yang tertinggal.
Untuk detil bagaimana saya memfungsikan komputer ini sebagai server akan saya tulis di tulisan berikutnya.
Ah, jadi teringat bahwa dulu saya pernah berpikir untuk membuat peladen (server) skala rumahan. Namun, karena menurut pemahaman saya mengelola peladen itu cukup memakan biaya, maka saya urungkan niat tersebut. 😅
Saya penasaran akan kelanjutan dari tulisan ini, juga semoga bisa menjadi motivasi saya untuk mempertimbangkan kembali niat tersebut.