MacBook Pro mid-2012 saya yang usianya kini 12 tahun, masih berfungsi dengan baik.
Sayangnya, sistem operasi macOS Catalina adalah sistem operasi terakhir yang didukung perangkat ini dan tidak lagi mendapat dukungan pembaruan dari Apple.
Bagi saya, MacBook Pro ini adalah MacBook Pro terakhir dan terbaik di era Steve Jobs.
Bagaimana tidak, MacBook Pro ini masih bisa dibongkar dan beberapa komponennya seperti RAM, baterai, dan media penyimpannya bisa diganti dan di-upgrade.
Meski spesifikasi awalnya menggunakan memori RAM sebesar 4GB, saya bisa menambah RAM menjadi 8GB, bahkan 16GB, yang tentu saja di MacBook keluaran sekarang, hal ini tidak memungkinkan.
Media penyimpannya yang berupa hard-disk berkapasitas 500GB pun sudah saya ganti dengan SSD.
Saya bahkan pernah mereparasi sendiri speaker-nya yang sobek dan rusak, mengganti pembaca DVD dengan SSD, melakukan penggantian thermal paste, serta beberapa kali mengganti baterainya.
MacBook Pro ini sempat saya pensiunkan setelah saya membeli Mac Mini M1 sebagai komputer pribadi utama saya, tiga tahun lalu.
Namun karena saya mulai membutuhkan perangkat yang portable, saya mulai ingin punya laptop lagi.
Dari kantor, saya mendapat MacBook Pro M1 Pro, namun tentunya tidak etis dan tidak semestinya jika saya menggunakannya untuk keperluan pribadi di luar pekerjaan.
Membeli MacBook belum menjadi pilihan karena selain harganya yang cukup mahal, saya juga merasa belum butuh-butuh amat.
Tablet atau iPad juga sempat menjadi pertimbangan, selain membeli laptop, namun lagi-lagi, harganya yang lumayan membuat saya berpikir ulang.
Kebutuhan saya sebenarnya juga sebatas ketik-ketik menulis blog sambil bersantai di sofa atau di atas kasur, menonton YouTube, atau sekadar tinkering sesuatu.
Saya lalu teringat MacBook Pro lama saya ini dan memutuskan untuk mengaktifkannya kembali, yang menurut saya cukup untuk kebutuhan ringan-ringan saya.
Namun saya tidak ingin menggunakan macOS lagi, karena selain tidak lagi mendapat dukungan keamanan dari Apple, terakhir kali saya pakai, macOS Catalina terasa sangat berat berjalan di prosesor Intel Core i5 2,5GHz dengan RAM 8GB.
Pantas jika Apple tidak melanjutkan dukungan sistem operasi terbarunya karena perangkat kerasnya tidak akan kuat mengimbangi.
Saya lalu berpikir untuk memasang Linux di MacBook Pro saya, karena selain Linux terus berkembang dan bisa berjalan di perangkat yang tua dengan ringan, saya sudah lama tidak utak-atik Linux desktop di luar pekerjaan saya yang biasanya untuk server.
Memilih Distro Linux
Dari ratusan distro Linux yang ada, saya bimbang hendak menggunakan yang mana.
Saya sangat familiar dengan Ubuntu, karena saya sudah menggunakan distro ini saat kuliah.
Bahkan saya pernah mendapatkan kiriman gratis CD instalasi Ubuntu untuk kemudian diedarluaskan.
Saat belum mempunyai MacBook Pro dan menggunakan laptop Lenovo, saya juga menggunakan Ubuntu di laptop Lenovo saya tersebut untuk bekerja dan pribadi.
Selain penggunaa sehari-hari, saya juga menggunakan Ubuntu (dan kadang Debian) di server yang saya kelola saat itu.
Bisa dibilang, Ubuntu dan variasinya (terutama Linux Mint) menjadi pilihan terakhir sekaligus pilihan aman saya karena saya sudah terbiasa dan termasuk distro yang ramah untuk pengguna.
Saya sempat terpikir menggunakan dengan Fedora, namun entah kenapa, saya kurang sreg dengan distro dari keluarga RedHat ini.
Sepertinya karena drama yang terjadi di RedHat, membuat saya enggan menggunakan distro yang sebenarnya termasuk distro paling stabil dan kencang.
Kemudian saya tertarik dengan Arch Linux, yang sempat menjadi perbincangan dan meme karena penggunanya yang bertingkah snob.
Para pengguna Arch Linux seringkali sangat bangga dengan sistem operasi yang digunakannya, hingga beredar meme yang berbunyi, “bagaimana cara mengetahui seseorang menggunakan Arch Linux? tidak perlu, karena mereka akan memberitahumu (bahwa mereka menggunakan Arch Linux)”.
Tidak hanya itu, ada istilah yang juga melekat kepada distro yang tergolong baru ini, karena biasanya para penggunanya mengatakan, “I use Arch, btw“, yang mencoba menunjukkan superioritasnya, karena memang Arch Linux tidak seperti distro lain yang bertujuan mempermudah pengguna, distro ini justru menargetkan para pengguna Linux yang mahir.
Saya pun tertarik denga Arch Linux, karena selain karena terkenal dengan snobisme-nya, saya penasaran dengan sistem operasi yang ditujukan untuk kalangan mahir ini.
Seperti halnya distro lain yang memiliki varian, distro ini juga memiliki banyak turunannya.
Setelah melakukan riset dan melihat berbagai ulasan, saya pun mantap akan memasang Arch Linux karena rupanya distro berbasis Ubuntu tidak dapat berjalan sempurna di MacBook Pro.
Ketidaksempurnaan ini misalnya, mode sleep atau hibernasi yang tidak berfungsi, speaker yang tidak bisa mengeluarkan suara, dan juga wi-fi yang tidak berfungsi dengan baik.
Untuk wi-fi, hampir semua distro tidak berfungsi di MacBook Pro mid-2012 ini karena perangkatnya, Broadcom tidak merilis driver-nya ke publik.
Untungnya, komunitas Linux berhasil membuat driver ini meski untuk memasangnya dibutuhkan usaha lebih.
Namun untuk amannya, saya menyiapkan kabel ke modem agar urusan instalasi berjalan lancar dan bisa mengunduh driver Wi-Fi ini nantinya.
Saya lalu menyiapkan MacBook Pro saya, namun sayangnya, SSD Adata Premier Pro SP900 berkapasitas 256GB rusak.
Karena Arch Linux tidak membutuhkan media simpan yang besar, dan saya tidak berencana menyimpan banyak data, saya kemudian membeli SSD baru.
Saya membeli SSD murah merek Jerman Intenso Performance berkapasitas 250GB yang saya beli di Saturn seharga 22,99.
Ukuran SSD ini sebenarnya terlalu banyak untuk saya, karena Arch Linux sendiri membutuhkan ruang simpan minimal 2GB dan memori RAM 512MB.
Namun karena dari sisi harga, ukuran 128GB tidak terlalu jauh bedanya, dan harga per GB-nya lebih murah yang berukuran 250GB, saya memilih memberikan ruang lebih.
Baterai MacBook Pro ini juga masih bisa menyimpan daya meski hanya bisa digunakan selama 2-3 jam saja.
Mungkin saya akan membeli baterai baru, namun untuk sementara, saya akan menggunakan baterai yang ada ini dulu.
Untuk ongkos, jika dihitung-hitung, membeli SSD, ditambah jika ke depan saya akan mengganti baterai, dan menambah RAM, tentu saja jauh lebih murah dari membeli laptop baru.
Selain itu juga saya tidak menambah sampah elektronik karena masih bisa memanfaatkan barang elektronik lama.
Tentu pada suatu titik, saya pasti akan mengganti dengan yang lebih baru, karena performa perangkat yang jauh tertinggal.
MacBook Pro ini pun selain mikrofon internalnya sudah rusak, trackpad tidak sesensitif dahulu, serta resolusi layarnya yang hanya 1280×800.
Memasang Arch Linux
Saya mengikuti petunjuk instalasi secara umum dan spesifik untuk MacBook Pro saya ini.
Seluruh instalasi dilakukan menggunakan command line, benar-benar terasa seperti hacker di film-film.
Meski saya sempat keder, namun karena saya sudah mantap, saya ikuti saja langkah-langkah yang ada, sambil sesekali googling menggunaka Mac Mini M1.
Walau sebenarnya ada script instalasi archinstall
yang memudahkan, namun saya ingin memasang secara manual agar mengetahui langkah-langkahnya.
Alasan sebenarnya sih, karena saya terlambat mengetahui saja ada script ini, jika saya tahu lebih awal, saya tentu memilih jalur menggunakan archinstall
.
Ada banyak pilihan untuk desktop environment yang bertanggungjawab untuk tampilan grafis, namun saya memilih menggunakan GNOME, karena saya suah sejak lama lebih menyukai GNOME.
Singkat cerita, proses instalasi berjalan lancar dan bisa dibilang tidak ada hambatan berarti.
Saya pun bisa dengan bangga mengatakan kepada semua orang bahwa saya menggunakan Arch, btw.
Seluruh fungsi di MacBook Pro saya bekerja dengan baik, dari mulai baterai, pengisian daya, tombol-tombol fungsi, suara, kamera, bluetooth, Wi-Fi, touchpad, bahkan mode tidur dan hibernasi.
Saya sempat mengalami kendala saat menggunakan printer Brother MFC-L2710DW yang terpasang pada jaringan, namun lagi-lagi, setelah mencoba beberapa cara yang ada di internet, akhirnya saya bisa menyetak dokumen.
Namun saya belum mencoba fitur pemindainya karena harus memasang aplikasi pemindai.
Lagi pula, saya bisa menggunakan Mac Mini M1 saya untuk urusan ini.
AirPods Pro generasi kedua USB-C saya juga bisa terhubung melalui bluetooth, meski harus mengutak-atik file konfigurasinya terlebih dahulu.
Seluruh langkah instalasi bisa dilihat di Notion yang saya tulis dalam Bahasa Inggris, yang siapa tahu berguna bagi yang ingin melakukan kebodohan yang saya lakukan.
Selain itu, karena saya melakukan instalasi dari awal, saya tidak memiliki aplikasi macam-macam dan saya harus memasang sendiri seluruh aplikasi yang saya butuhkan menggunakan perintah pacman
(package manager).
Tulisan di blog ini pun saya tulis menggunakan Arch Linux yang berjalan di atas MacBook Pro, yang kemudian laptop ini saya beri nama ArchBook Pro.
Namun untuk menyunting gambar dan foto, saya masih menggunakan Mac Mini M1, karena urusan grafis, Arch Linux tidak segampang di macOS (yang mana saya harus meng-install terlebih dulu aplikasinya).
Apalagi foto-foto yang saya ambil menggunakan iPhone Pro 14 dengan format HEIC langsung saya kirim ke Mac Mini M1 menggunakan AirDrop untuk dikonversi ke JPEG dan diubah ukurannya agar lebih ringan.
wah, keren.
laptop saya juga udah mau 10 tahunan.
semoga masih bisa tahan
*belum ada budget beli penggantinya:)))