Setelah hampir 2 tahun, akhirnya saya harus mengistirahatkan ponsel Xiaomi Mi 8 Lite saya karena layarnya retak akibat terjatuh.
Siang itu, 30 Oktober 2020, saat berada di bus kota yang melaju kencang, saya sedang duduk sembari mengamati linimasa Twitter.
Tak berapa lama, bruak! Bus kota melindas entah apa sehingga ponsel di genggaman tangan saya tergelincir jatuh ke lantai bus.
Ponsel tersebut terpental beberapa kali sebelum akhirnya jatuh tertelungkup.
Awalnya saya santai karena ponsel tersebut pernah beberapa kali terjatuh dan tidak ada lecet sedikit pun.
Saya memang tidak memasang casing dan screen protector karena salama ini percaya dengan kekuatan material dan desain dari si produsen ponsel.
Namun saat saya ambil ponsel tersebut, saya terkejut karena layarnya bergaris vertikal aneh dan ada retakan di ujung kanan atas dan cuil di bagian sisi bawah.
Hati saya langsung mencelos.
Masih untung layar tidak pecah, dan masih layar sentuh masih bisa dioperasikan, meski kadang ponsel bereaksi seperti tertekan sendiri.
Sedih, tentu saja, apalagi selama hampir dua tahun, saya tidak mempunyai keluhan berarti.
Kamera ponsel seharga sekitar tiga juta rupiah ini sudah sangat cukup untuk kebutuhan sehari-hari saya, terutama memotret untuk memenuhi feed Instagram story atau Twitter.
Kemudian muncul kepusingan saya selanjutnya, karena saya harus memikirkan ponsel pengganti yang memang tahun ini tidak saya rencanakan, plus nanti memindahkan datanya.
Saya juga terpikir tentang aturan pemblokiran IMEI yang dengar-dengar sudah ditegakkan di Indonesia sejak 15 September 2020 lalu, yang mana karena saya masih menggunakan kartu SIM XL, jika nanti digunakan pada ponsel yang saya beli di Jerman, tentunya nomor IMEI-nya tidak dikenal.
Padahal saya masih membutuhkan nomor Indonesia saya aktif untuk berurusan dengan perbankan di Indonesia.
Aturan blokir IMEI ini menurut saya konyol, dan alasan penerapan aturan unu untuk mencegah masuknya ponsel ilegal adalah hal yang sangat lucu.
Dan seperti biasa, kesan tergesa-gesa dan kurangnya persiapan membuat aturan ini menggigit pantat mereka sendiri.
Saat membaca berita database CEIR hampir penuh dan beberapa ponsel resmi ikut terblokir karena tidak tercatat, membuat saya tertawa getir.
Pemerintah saya rasa bisa mencegah masuknya ponsel selundupan dengan melakukan pemeriksaan atau razia di pelabuhan, bukannya dengan cari jalan pintas yang merepotkan warga dengan menerapkan aturan blokir IMEI.
Kok malah membahas aturan blokir IMEI. Kembali lagi ke masalah ponsel saya yang rusak.
Persoalan ganti ponsel ini memang sungguh merepotkan, terutama untuk memindahkan data dari ponsel lama ke ponsel baru.
Masih untung ponsel saya hanya rusak, bukan hilang, yang mana jika hilang pasti akan lebih merepotkan lagi.
Kriteria Ponsel
Jika dulu saya sangat mengikuti perkembangan ponsel dan gadget, bahkan sering melakukan ulasan dan review beberapa ponsel Xiaomi yang bakal dirilis di pasar, sejak pindah ke Berlin, saya tidak begitu mengikuti.
Saya sendiri secara pribadi menyukai ponsel-ponsel murah terutama kelas menengah, yang makin ke sini, ponsel-ponsel ini harganya makin murah namun secara fitur makin bertambah.
Ponsel kelas menengah menurut saya mempunyai rentang harga mulai dari Rp 3.000.000 hingga Rp 8.000.000, sekitar 150€ hingga 500€ dan untuk ponsel kelas atas alias flagship, tentu saja harganya di atas itu.
Buat saya, agak kurang masuk akal membeli ponsel dengan harga puluhan juta rupiah atau seribuan euro, yang mana secara fungsi mungkin tidak terlalu banyak terpakai.
Namun ini lebih ke karena saya yang tidak punya anggaran dan uang saja, jika misal saya ada anggaran dan termasuk dalam golongan crazy rich, tentu saya akan mencari ponsel flagship dan terbaik di kelasnya.
Dengan rentang harga seperti itu, pilihan ponselnya cukup beragam, dengan berbagai merek, seri, dan fitur.
Dari begitu banyaknya pilihan, ada beberapa kriteria yang saya jadikan patokan dalam memilih ponsel, tentu dengan anggaran yang ada.
Kamera
Kriteria pertama adalah kamera, karena saya suka memotret dan seluruh foto yang saya muat di Instagram saya seluruhnya saya potret dan saya unggah dari kamera ponsel.
Saya hampir tidak pernah menyunting foto tersebut kecuali memotong hingga obyek foto masuk ke dalam frame.
Efek dan filter sepertinya tidak pernah lagi saya pakai, karena kualitas foto ponsel sudah semakin bagus.
Dulu saat Instagram hanya bisa diakses melalui iOS, saya punya cara untuk mengunggah foto yang saya ambil dari ponsel BlackBerry Pearl 8110 dan beberapa ponsel Android.
Saya juga pernah membuat blog foto di Posterous (kini situsnya sudah tidak ada), di mana untuk mengunggah foto, cukup dengan mengirim e-mail ke alamat khusus.
Saat itu Posterous saya buat sebagai alternatif mengunggah foto di Instagram, yang saat itu masih cukup eksklusif.
Posterous tersebut sempat saya selamatkan dan saya pindahkan ke WordPress sebagai arsip digital.
Kemudian, akibat Instagram pula, saya membeli ponsel mahal pertama saya, iPhone 4S, karena kepincut dengan kameranya, yang saya beli dari forum jual beli online di mana barang tersebut dibeli dari Singapura.
Saat itu harga iPhone 4S adalah sekitar Rp 8.000.000 untuk kapasitas 16 GB, yang mana saat itu iPhone 4S belum resmi beredar di Indonesia pada tahun 2012.
Menurut saya, iPhone 4S adalah iPhone terakhir generasi Steve Jobs yang terbaik karena kameranya yang cukup revolusioner.
Saat saya mempunyai iPhone 4S tersebut, saya makin rajin memotret dan mengikuti beberapa kelas memotret.
Saya sempat punya kamera DSLR pemula, Nikon D3000, yang akhirnya jarang terpakai karena lebih sering memakai iPhone 4S.
Ponsel iPhone 4S tersebut saya lungsurkan ke adik saya dan sepertinya masih ia simpan, walau sudah tidak lagi digunakan karena baterainya sudah soak.
Fotografi dengan ponsel menurut saya cukup menantang karena memotret dengan alat seadanya dan menghasilkan foto bagus adalah kepuasan.
Namun nampaknya hal tersebut tidak lagi valid, karena kamera ponsel kini makin lama makin canggih.
Bahkan kini kamera ponsel bisa memiliki banyak lensa bahkan resolusinya bisa mencapai 108 MP seperti yang ditanamkan pada ponsel Xiaomi Mi 10.
Tentu saja, resolusi kamera bukan segalanya, karena hasil foto yang bagus juga ditentukan oleh lensa, sensor, hingga pemrosesannya.
Plus ada beberapa fitur semacam fitur dan filter yang membuat foto tidak perlu disunting menggunakan aplikasi njlimet.
Apakah kamera ponsel bisa menggantikan kamera konvensional? Menurut saya tergantung kebutuhan.
Karena kebutuhan saya sebatas untuk diunggah ke media sosial, bahkan saya sudah tidak pernah menyetak foto, saya rasa kamera ponsel sudah cukup buat saya.
Apalagi saya tidak perlu repot memindahkan foto untuk mengunggah, tinggak tekan tombol berbagi, foto sudah bisa dinikmati publik.
Belum soal kemampuan mengambil video, yang menurut saya juga tak kalah canggihnya.
Memori dan Media Simpan
Ini sebenarnya berhubungan dengan kamera ponsel, yang mana makin besar ukuran resolusi gambar, makin rakus pula kapasitas media simpannya.
Selain foto dan berkas lain, sistem operasi ponsel juga makin lama makin rakus memori, karena sistem operasi perlu melakukan banyak hal yang ujung-ujungnya memberikan kenyamanan kepada pengguna.
Jika dulu ponsel dengan kapasitas media simpan 64 GB dan RAM 2 GB sudah sangat cukup, kini kapasitas media simpan yang disarankan minimal adalah 128 GB dengan RAM minimal 4 GB.
Beberapa ponsel menyediakan slot kartu SD mikro untuk bisa menampung data yang berlebih, namun sepertinya kini ponsel yang menawarkan slot ini sudah sangat sedikit.
Selain itu, banyak juga ponsel yang menawarkan teknologi sinkronisasi dengan cloud, di mana seluruh data diunggah ke cloud sehigga selain data aman jika misal ponsel rusak atau hilang, juga membuat kapasitas ponsel jadi sedikit lebih lega.
Saya pun sepertinya sudah tidak ingat kapan menggunakan kartu SD mikro di ponsel, meski beberapa ponsel yang menyediakan slot kartu SIM ganda, biasanya salah satunya bisa digunakan untuk kartu SD mikro.
Prosesor
Ini adalah salah satu faktor penentu harga ponsel, karena di sini lah segala kecanggihan ponsel berada.
Prosesor, yang sering disebut dengan SoC (System on a Chip) merupakan otak dari ponsel, yang mengatur banyak hal, mulai dari jaringan komunikasi, tampilan layar, hingga kamera.
Makin ke sini, ukuran prosesor makin kecil, namun kemampuannya makin meningkat.
Karena ukurannya kecil, kinerja prosesor bisa lebih efisien dan konsumsi dayanya rendah.
Prosesor yang digunakan ini lah yang kemudian menentukan apakah si ponsel masuk kategori flagship, kelas menengah, atau kelas pemula, karena tergantung dengan performanya.
Ada beberapa merek prosesor terkemuka yang biasa digunakan, antara lain Snapdragon bikinan Qualcomm, MediaTek dari Taiwan, Exynos yang diproduksi oleh dan ditanam di ponsel Samsung, Kirin yang diproduksi HiSilicon dari Cina, dan prosesor keluaran Apple.
Prosesor ini sama-sama menggunakan arsitektur ARM yang sangat optiomal untuk piranti mungil namun powerful seperti ponsel.
Saya sendiri tidak terlalu pusing dengan spesifikasi prosesor, karena sebagai pengguna, saya hampir tidak bisa membedakan.
Meski SoC adalah otak dari ponsel, ia tidak akan berkutik tanpa didukung oleh faktor lainnya.
Baterai dan Pengisian Daya
Teknologi baterai bisa dibilang termasuk lambat bila dibandingkan dengan teknologi lain seperti prosesor atau media simpan.
Karena sifat alaminya, membuat baterai dengan kapasitas besar namun berukuran kecil, tentu membutuhkan riset yang panjangh.
Saya ingat betul saat itu baterai ponsel Nokia 5110 yang menggunakan Ni-Mh begitu berat dan untuk mengisi dayanya harus benar-benar dalam kondisi kosong dan mati agar awet.
Setelah baterai Ni-Mh, muncul baterai Li-Ion, dan kini hampir seluruh baterai ponsel adalah Li-Po yang tipis, ringan, namun bisa menampung daya puluhan kali dari baterai Ni-Mh.
Daya tampung baterai ini biasanya ditulis dalam mAh (miliampere-hour) yang sebenarnya sama saja dengan miliwatt (mW).
Makin besar angkanya, makin lama si baterai bertahan, yang ujung-ujungnya menunjukkan berapa lama si ponsel bisa digunakan tanpa perlu diisi daya.
Ponsel modern biasanya memiliki daya 3.000 mAh hingga 4.000 mAh, yang mana rata-rata bisa bertahan hingga seharian.
Sebagai panduannya, makin besar kapasitas baterai, makin lama ponsel bertahan tanpa melakukan pengisian daya.
Baterai ini pula yang kemudian menjadi salah satu faktor kecepatan pengisian daya sebuah ponsel.
Hampir semua ponsel modern keluaran terbaru sudah banyak yang menggunakan USB-C sebagai colokannya.
USB-C merupakan colokan universal yang selain gampang digunakan, secara teknis, ia mampu mengirim daya yang besar sehingga memungkinkan teknologi fast charging terjadi.
Beberapa ponsel flagship juga dilengkapi dengan fitur wireless charging, yang mana untuk mengisi daya, ponsel cukup ditaruh di area pengisian tanpa perlu menyolokkan kabel.
Saya sendiri merasa belum perlu fitur wireless charging ini, namun fitur fast charging rasanya menjadi fitur wajib untuk ponsel masa kini.
Merek dan Reputasi
Beberapa orang mungkin sangat suka dengan sebuah merek, namun ada juga yang sangat membenci dan menghindari beberapa merek.
Tidak hanya merek, ada yang hanya mau membeli iPhone dan membenci Android, dan ada juga yang sebaliknya.
Saya sendiri dulu suka sekali dengan ponsel Xiaomi, karena selain harganya terjangkau, spesifikasi ponselnya juga bisa dibilang “merusak harga pasar”.
Namun ada harga ada rupa, ponsel Xiaomi saya tidak pernah bertahan lebih dari 2 tahun.
Entah ada aja yang rusak, namun dari pengalaman saya biasanya layar pecah karena terjatuh, atau faktor baterai yang gembung.
Soal baterai masih bisa dimaklumi, namun jika ingin membeli dan mengganti baterai, rasanya cukup nanggung karena harga untuk reparasi dan pembelian baterai, kemungkinan besar bisa menjadi sebuah ponsel baru.
Kemampuan kameranya juga sepertinya mengalami penurunan kualitas, di mana hasil foto yang dihasilkan tidak setajam waktu pertama beli.
Memang sih, perbedaannya tidak begitu terlihat, tapi yang setiap hari memotret dan menggunakan, bisa melihat bedanya.
Saya pribadi kurang tertarik membeli ponsel dari beberapa merek, pertimbangannya adalah karena pernah punya pengalaman yang kurang menyenangkan, atau ada beberapa hal yang membuat saya enggan.
Kali ini saya tidak ingin membeli ponsel Xiaomi karena merasa sudah cukup dan ingin mencoba ponsel yang lain.
Beberapa merek yang sempat masuk dalam daftar saya adalah Google Pixel, Poco (yang merupakan produk Xiaomi juga), OnePlus, Huawei, dan iPhone.
Pilihan Ponsel
Dari beberapa kriteria tersebut di atas, saya kemudian memilih beberapa merek dan seri yang cocok dengan keinginan saya.
Saya memasang rentang anggaran mulai dari 300€ hingga 500€ dengan beberapa toleransi.
Kamera merupakan fitur utama yang menjadi pertimbangan saya.
Dan yang paling penting adalah ketersediaannya, karena tidak semua seri dan merek masuk ke Jerman, baik melalui toko jaringan distribusi atau dijual online seperti di Amazon atau di situs resminya.
Saya lalu mendatangi MediaMarkt untuk hands-on beberapa ponsel sebagai pertimbangan.
Beberapa ponsel yang tidak tersedia di MediaMarkt, namun dijual secara resmi melalui situs, saya hanya membaca dan melihat ulasan di Youtube.
Dari hasil pencarian sesuai kriteria, berikut ini daftar ponsel yang saya incar.
Google Pixel 4a
Tentu saja daya tarik Google Pixel 4a adalah kameranya yang luar biasa.
Istri sebelumnya menggunakan Google Pixel 3a (saya sempat menulis draft di blog ini, namun tidak mampu menyelesaikannya) yang kami beli tahun lalu.
Dan memang patut diakui, hasil foto kamera tersebut memang sungguh luar biasa, terutama saat kondisi minim cahaya.
Kamera utama Google Pixel 4a hanya satu dengan resolusi 12 MP dan kamera depannya beresolusi 8 MP.
Google menanamkan software pemrosesan foto yang luar biasa sehingga gambar yang dihasilkan sungguh juara.
Dengan harga yang cukup ramah di kantong, yaitu 340,20€, ponsel ini disebut-sebut sebagai ponsel berkamera terbaik dengan harga masuk akal.
Badannya terbuat dari plastik, sehingga bobotnya pun enteng dan memang tidak mengesankan ponsel premium.
Ukuran layarnya juga sangat pas dalam genggaman, yaitu 5,81 inchi, yang menurut saya juga sudah cukup.
Google Pixel 4a mempunyai RAM6 GB dan ruang penyimpan sebesar 128 GB, yang menurut saya sangat cukup.
Ponsel ini memiliki NFC yang bisa digunakan untuk pembayaran Google Pay dan aplikasi lain yang mendukung, serta sensor sidik jari di bagian belakang untuk keamanan.
Versi yang saya incar tidak mendukung 5G, karena untuk mendapatkan Google Pixel 4a 5G, saya harus merogoh menambah sekitar 150€ yang mana ponsel ini saat tulisan ini dibuat masih pre-order.
iPhone SE
Apple selain merilis iPhone 12, rupanya masih mengeluarkan iPhone SE generasi terbaru untuk menjangkau pasar menengah.
Harganya pun cukup menggiurkan, 466,90€ untuk sebuah iPhone SE terbaru dengan kapasitas penyimpan terkecil, 64 GB.
Secara spesifikasi, ponsel ini menggunakan prosesor yang sama dengan iPhone 11, yaitu A13 Bionic.
Soal kamera jangan ditanya, karena iPhone memang punya reputasi yang baik untuk urusan kamera.
Kamera utama iPone SE hanya satu dengan resolusi 12 MP dan kamera depannya beresolusi 7 MP.
Namun sayangnya, tampilan layar iPhone SE yang berukura 4,7 inchi ini tidak full seperti pada ponsel modern, yang mana meski iOS yang digunakan adalah iOS terbaru, namun rasanya seperti ketinggalan zaman.
Karena badannya terbuat dari kaca dengan rangka aluminium, bobotnya cukup berat, namun memberi kesan premium.
Ponsel ini merupakan ponsel satu-satunya dari seri iPhone terbaru yang masih mempertahankan sensor sidik jari.
iPhone SE tidak mendukung 5G dan mendukung dual SIM, hanya saja satunya berupa eSIM.
RAM iPhone SE berukuran 3 GB dengan pilihan kapasitas media simpan sebesar 64 GB, 128 GB, dan 256 GB.
Selain NFC, iPhone SE juga dilengkapi dengan wireless charging.
OnePlus Nord N10 5G
Merek OnePlus yang merupakan turunan dari Oppo ini dulu sempat masuk ke Indonesia, namun akhirnya hengkang karena tidak mampu memenuhi aturan TKDN 30%.
Di Jerman sendiri, OnePlus sepertinya tidak dijual secara offline di toko, dan hanya mengandalkan penjualan secara online melalui situsnya.
Dari beberapa seri, yang masuk dalam incaran saya adalah OnePlus Nord N10 5G, seharga 349€.
Spesifikasinya sendiri begitu menjanjikan, terutama empat kamera utamanya yang memiliki resolusi masing-masing 64 MP pada lensa wide, 8 MP pada lensa ultrawide, 5 MP pada lensa depth, dan 2 MP untuk lensa macro plus kamera depan beresolusi 16 MP.
Yang menarik, ponsel ini sudah mendukung jaringan 5G seperti pada namanya dan memiliki slot kartu nano SIM ganda.
Layarnya berukuran 6,49 inchi dengan refresh rate 90 MHz yang membuat layar lebih nyaman dipandang.
RAM OnePlus Nord N10 5G berkapasitas 6 GB dengan media simpan sebesar 128 GB dan ponsel ini juga dilengkapi fitur NFC.
Namun karena saya tidak memegang langung ponsel ini saat datang ke toko dan hanya bisa memesan online, membuat saya berpikir beberapa kali.
Xiaomi Mi 10 Lite 5G
Saya sempat menengok beberapa ponsel Xiaomi, namun karena banyak sekali pilihannya, saya akhirnya menyerah untuk menentukan pilihan.
Entah kenapa saya kurang suka dengan model dan desain Xiaomi yang terbaru, di mana badan ponsel terasa licin dan warnanya kurang sesuai dengan selera saya.
Namun jika harus memilih, saya cukup kepincut dengan Xiaomi Mi 10 Lite 5G seharga 340€.
Ponsel ini dibekali 4 kamera utama dengan resolusi 64 MP pada lensa wide, 8 MP pada lensa ultrawide, 5 MP pada lensa depth, dan 2 MP pada lensa macro plus kamera depan beresolusi 16 MP.
Layarnya berukuran 6,57 inchi dengan warna AMOLED yang sedikit membuat saya kurang sreg karena warna yang ditampilkan oleh layara AMOLED cenderung tidak natural dan berlebihan.
Saya menghindari ponsel keluaran Samsung salah satunya karena penggunaan layar AMOLED-nya yang menurut saya tidak sesuai dengan warna aslinya.
Xiaomi Mi 10 Lite 5G dibekali RAM sebesar 6 GB dan media simpan sebesar 128 GB serta mendukung fitur NFC.
Seperti namanya, ponsel ini mendukung jaringan 5G dengan kartu nano SIM ganda, di mana hanya ada satu slot yang bisa digunakan untuk 5G.
Huawei P40 Lite
Huawei merupakan salah satu merek ponsel yang masuk dalam 3 besar merek ponsel paling laku di Jerman bersama Samsung dan Apple.
Saya pun melirik seri terbaru mereka, Huawei P40 Lite yang dibanderol seharga 214€.
Ponsel ini merupakan seri paling murah dari seri P40, yang mempunyai 4 kamera beresolusi 48 MP pada lensa wide, 8 MP pada lensa ultrawide, 2 MP pada lensa depth, dan 2 MP pada lensa macro, serta kamera depan 16 MP.
Layarnya berukuran 6,4 inchi berbalut bodi plastik.
RAM yang ditanam di ponsel ini sebesar 6 GB plus media simpan sebesar 128 GB.
Huawei P40 Lite mendukung kartu nano SIM ganda yang belum mendukung 5G.
Untuk versi 5G, ada lagi seri Huawei P40 Lite 5G dengan selisih harga sekitar 100€.
Ponsel ini juga sudah dilengkapi NFC.
Namun sayangnya, karena sanksi yang diterapkan oleh Google, beberapa aplikasi Google tidak tersedia di ponsel Huawei, termasuk ponsel ini, sehingga aplikasi bisa diunduh melalui Huawei AppGallery.
Ponsel Pilihan
Setelah melakukan perbandingan dan melakukan hands-on dengan mendatangi MediaMarkt, akhirnya keputusan saya ambil.
Apalagi ponsel Xiaomi Mi 8 Lite saya layarnya makin parah dan saya khawatir saya tidak bisa memindahkan data karena kerusakannya makin parah.
Akhirnya pada 4 November 2020, saya memboyong Google Pixel 4a seharga 333,38€ karena adanya kebijakan pengurangan PPn dari 19% menjadi 16% terkait pandemi.
Alasan utama saya memilih Google Pixel 4a selain kameranya, saya suka dengan desainnya yang sederhana, tidak seperti ponsel lain yang berusaha tampil warna-warni.
Badannya yang terbuat dari plastik sangat enteng, sehingga menurut saya jika jatuh pun, mungkin tidak separah jika badan ponsel terbuat dari kaca.
Apalagi ponsel ini merupakan ponsel keluaran Google, si pemilik sistem operasi Android yang mana ponsel ini dijanjikan akan mendapat dukungan update dari Google hingga 3 tahun.
Fitur 5G meski di Jerman sudah ada, menurut saya masih belum terlalu saya butuhkan, karena koneksi 4G+ di sini sudah lebih dari cukup.
Apalagi karena sejak pandemi, saya jarang keluar rumah dan lebih mengandalkan wi-fi di rumah, sehingga kebutuhan paket data saya juga tidak terlalu banyak.
Fitur wireless charging juga menurut saya tidak begitu penting, karena saya bukan orang yang setiap hari menggunakan ponsel, sehingga saya bisa mengisi daya tersebut saat saya sedang fokus bekerja dengan menggunakan kabel.
Angaran saya yang cukup terbatas juga menjadi salah satu faktor yang harus saya pikirkan dengan bijak.
Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, serta setelah saya mencoba sendiri pengalaman hands-on, membuat saya mantap memutuskan memboyong Google Pixel 4a.
Saya akan menuliskan pengalaman saya menggunakan ponsel Google Pixel 4a di tulisan selanjutnya.
Selamat untuk ponsel barunya, mas 😆
Mas Zam rajin juga yah cari informasi sebanyak-banyaknya sebelum membeli, bahkan beberapa merk baru pertama kali saya dengar di blog mas Zam 🙈
Cari ponsel susah susah gampang ternyata hehehe. Saya pribadi paling nggak bisa hunting ponsel dari dulu, dan termasuk jarang gonta ganti, jadi setiap memutuskan ganti karena rusak, paling saya beli ponsel yang terbaru dan tersedia tanpa pikir panjang 😂