Setelah sehari sebelumnya kami mengunjungi kastil Cinderella Neuschwanstein, tanggal 17 Agustus 2021, kami mengujungi kota kecil Garmisch-Partenkirchen, di Bavaria, Jerman.
Kota kecil yang berada persis di perbatasan Jerman-Austria ini menjadi salah satu tujuan wisata ski populer di Jerman.
Tentu saja karena kota ini berada persis di kaki Pegunungan Alpen yang membentang melintasi 8 negara dari timur ke barat.
Kota ini dulunya merupakan 2 kota berbeda, yaitu Garmisch di barat dan Partenkirchen di timur.
Kini kedua kota ini menjadi satu walau tetap mempertahankan identitas masing-masing.
Kami mengunjungi kota kecil ini dari München dengan menggunakan kereta regional Deutsche Bahn RB6 dengan membeli tiket dari Reisenzentrum atau layanan perjalanan di Stasiun Utama München.
Menuju Garmisch-Partenkirchen
Tiket yang kami beli sedikit unik, karena kami membeli tiket sekali jalan untuk tanggal 17 Agustus 2021, dan tiket paket khusus Musim Panas pulang-pergi untuk tanggal 18 Agustus 2021.
Bisa dibilang, kami “rugi” satu tiket pulang, namun karena kami berencana menginap di Garmisch-Partenkirchen, di mana tiket paketan ini tidak bisa berbeda hari.
Tiket paket khusus Musim Panas ini sudah termasuk tiket masuk dan naik kereta gantung Zugspitze, di mana hitungannya jauh lebih murah dibandingkan kami membeli tiket kereta dan tiket Zugspitze secara terpisah.
Kami membayar tiket seharga 32€ untuk tiket sekali jalan ke Garmisch-Partenkirchen, dan 140€ untuk tiket paket Musim Panas untuk dua orang.
Kereta RB6 yang akan membawa kami dari Stasiun Utama München berangkat dari peron 31 dijadwalkan berangkat pada pukul 10.32.
Tiket kereta yang kami beli tidak menyertakan nomor tempat duduk, di mana artinya kami bisa duduk di mana saja di dalam kereta.
Perjalanan dari München ke Garmisch-Partenkirchen memakan waktu sekitar 1 jam 22 menit.
Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan rumput hijau yang membentang.
Di kejauhan sudah tampak barisan Pegunungan Alpen yang di bagian puncaknya tertutup awan.
Pemandangan ini hampir mirip dengan pemandangan yang kami dapatkan saat mengunjungi Füssen saat hendak mengunjungi Kastil Neuschwanstein.
Garmisch-Partenkirchen
Begitu tiba di Stasiun Garmisch-Partenkirchen, kami langsung keluar dan berjalan kaki menuju hotel yang sudah kami pesan, yang terletak persis di depan stasiun.
Udara dingin langsung terasa menusuk, meski saat itu cuacanya cerah.
Saya melirik Amazfit Band 5 saya yang terhubung ke ponsel, untuk melihat temperatur.
Rupanya temperatur saat itu berkisar 12°C, yang sebenarnya bisa dibilang cukup sejuk.
Stasiun yang dibangun pada tahun 1889 ini merupakan stasiun terbesar di area Garmisch-Partenkirchen yang menjadi salah satu stasiun utama untuk menuju ke Innsbruck, Tyrol, Austria.
Di luar stasiun, terdapat terminal bus yang melayani jalur-jalur kota kecil lain di mana bus ini dioperasikan oleh DB Regiobus Bayern.
Selain bus antarkota juga ada bus dalam kota yang bisa dibilang menjadi moda transportasi umum utama di kota ini.
Kami langsung check-in di Hotel Vier Jahreszeiten, yang jika diterjemahkan menjadi “Hotel Empat Musim” atau “Hotel Four Seasons”.
Meski namanya mirip, hotel ini bukanlah bagian dari jaringan Hotel Four Seasons yang berpusat di Kanada itu.
Hotel yang dibangun pada tahun 1912 ini sangat terasa klasik dan mewah pada zamannya.
Begitu masuk, saya langsung merasa seperti tuan-tuan saudagar kaya.
Memang ongkos hotel berbintang 3 ini cukup mahal, namun kami mendapat harga yang cukup murah dibandingkan dengan hotel sekelasnya, plus lokasi hotel ini sangat strategis.
Apalagi karena berada di Bavaria, secara umum biaya hidup memang lebih tinggi dibanding dengan Berlin, jadi harga yang “agak mahal” ini masih dibilang wajar, selain tentu karena kota kecil ini sangat tergantung pada wisata.
Pemandangan kamar hotel ini juga luar biasa, di mana dari berbagai kamar, tamu bisa langsung mendapat pemandangan Pegunungan Alpen.
Setelah meletakkan tas ransel dan beristirahat sejenak, kami lalu mencari makan.
Kami melihat sebuah restoran Vietnam Thang Long yang berada persis di depan hotel, dan tanpa berpikir panjang, langsung mendatangi restoran tersebut.
Semangkok phở daging sapi hangat bergagrak Vietnam selatan dengan ciri khas banyaknya sayuran langsung tersaji.
Cuaca yang dingin memang cocok untuk menyantap phở.
Menurut teman kantor yang berasal dari Vietnam, gagrak phở ada dua, yaitu Vietnam utara cenderung lebih sepi topping bila dibandingkan dengan phở dari Vietnam selatan.
Mungkin mirip dengan jenis-jenis soto jika di Indonesia, di mana soto di Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa berbeda meski sama-sama disebut dengan soto.
Setelah kenyang, kami pun beranjak mencari persewaan sepeda.
Kami memang berniat menghabiskan hari itu dengan menikmati kota Garmisch-Partenkirchen dan bersepeda di kaki Pegunungan Alpen.
Dengan mengikuti petunjuk Peta Google, kami menyusuri jalan dan sempat mampir ke area pertokoan Am Kurkpar dan Marienplatz.
Kawasan belanja ini sangat cantik, karena toko-toko yang berada di sepanjang jalan ini banyak menggunakan bangunan-bangunan tua yang dilukis bagian façade-nya.
Di beberapa rumah tampak tulisan-tulisan yang berisi nama yang merujuk pada nama si pemilik rumah pada dahulu kala.
Selain nama, di lukisan-lukisan ini juga terdapat kutipan kata-kata mutiara, atau kata-kata bijak yang ditulis oleh si pemilik rumah.
Lukisan-lukisan cantik ini disebut dengan Lüftelmalerei, sebuah gaya seni sangat khas Bavaria.
Di beberapa sudut, tampak bendera kebanggaan Bavaria berwarna kotak-kotak biru putih lengkap dengan logonya berkibar dengan bendera Jerman.
Berada di area ini membuat saya benar-benar seperti berada di Jerman!
Bersepeda di Kaki Pegunungan Alpen
Sejak dulu saya membayangkan bahwa Pegunungan Alpen adalah pegunungan yang diselimuti oleh salju dan sering digunakan untuk olah raga ski.
Memang bayangan saya tersebut tidak sepenuhnya salah, karena pada musim dingin, hampir sebagian besar area Pegunungan Alpen tertutup oleh salju dan digunakan untuk bermain ski.
Salah satunya adalah area di Garmisch-Partenkirchen, di mana kota kecil ini pernah menjadi kota penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin pada tahun 1936.
Menariknya lagi, pada tahun yang sama, Olimpiade Musim Panas juga diselenggarakan di Jerman, namun berada di Berlin.
Kebetulan kami datang di penghujung musim panas, sehingga kami melihat sisi lain Pegunungan Alpen yang hijau.
Kami berjalan kaki menyusuri Zugspitzstraße untuk menuju ke persewaan sepeda Bike Verleih.
Persewaan sepeda ini punya beberapa koleksi sepeda, dari mulai e-bike, sepeda kota, hingga sepeda gunung.
Karena kami akan menyusuri jalur yang tidak terlalu ekstrim namun bukan di aspal mulus, kami menyewa sepeda berjenis trekking dengan masa sewa minimal 3 jam.
Ongkos sewanya 11€ untuk 3 jam meski kami hanya menggunakan sepeda ini kurang dari waktu sewa tersebut.
Setelah melakukan penyesuaian, kami meluncur menyusuri Zugspitzstraße menuju ke padang rerumputan yang juga menjadi rute orang bersepeda dan trekking/touring di Hammersbacher-Fußweg.
Sepeda sewaan kami sendiri tergolong sangat bagus dan terawat, di mana sepeda ini menggunakan ban mati yang tidak perlu dipompa untuk mengurangi risiko ban bocor, gerigi yang bisa diatur untuk melahap tanjakan, dan sebuah kunci sepeda jika misalnya kami ingin parkir sejenak.
Di sebelah selatan, terlihat Wetterstein, kumpulan gunung di gigir utara Pegunungan Alpen sisi timur, lengkap dengan stasiun-stasiun kereta gantung yang digunakan untuk naik ke Pegunungan Alpen dengan gampang.
Kereta gantung memang menjadi sarana transportasi penting di Pegunungan Alpen, di mana beberapa resort dan tempat wisata dapat dicapai dengan mudah dengan kereta gantung.
Jalur Hammersbacher-Fußweg yang kami lewati sepertinya memang dirancang untuk pejalan atau pesepeda yang hendak menuju ke Desa Hammersbach, yang merupakan desa penting bagi para pendaki dan pecinta outdoor sports.
Dari desa Hammersbach inilah, gerbang masuk para pendaki untuk mencapai 3 puncak gunung di area ini, yaitu Waxenstein pada 2.277 meter dari permukaan laut, Alpspitze pada 2.628 meter dari permukaan laut, serta Zugspitze, puncak gunung tertinggi di Jerman pada ketinggian 2.962 meter dari permukaan laut.
Kami melewati stasiun kereta gantung Kreuzeckbahn dan Alpspitbahn, dan sebuah pangkalan udara olah raga paralayang yang dioperasikan oleh Fly-Garmisch.
Kedua kereta gantung ini biasanya ramai digunakan wisatawan yang hendak meluncur menggunakan papan ski saat musim dingin.
Sesekali kami berhenti untuk sekadar beristirahat dan foto-foto, karena selain kami hampir tidak pernah bersepeda, pemandangan tempat ini sungguh indah.
Maklum saja, terakhir kali saya bersepeda adalah saat mencoba layanan bike sharing Donkey Republic.
Sepanjang mata kami melihat hamparan rumput hijau yang di beberapa tempat berdiri lumbung-lumbung.
Jika di Berlin, saya yakin di lapangan ini akan dipenuhi orang yang ramai-ramai berjemur karena lokasi ini sangat ideal untuk memanen sinar matahari.
Karena faktor usia, kami tidak bisa berlama-lama bersepeda.
Matahari yang terik namun udara dingin juga membuat badan renta kami terasa cepat lelah.
Apalagi besoknya kami masih ada rencana menuju ke Zugspitze, puncak tertinggi di Jerman, sehingga kami tidak perlu menghabiskan energi kami.
Dari aplikasi Strava yang saya aktifkan melalui gelang Amazfit Band 5 saya, kami bersepeda selama sekitar 40 menit dan menempuh jarak 7,3 kilometer bolak-balik dari tempat persewaan sepeda Bike Verleih dan kembali lagi.
kalau disebut kata gunung Alpen, yang ada dipikiranku adalah gunung yang cantik. bener ga ya? hehehe
aku sukakk sama model bangunan ala Eropa yang terkesan vintage begini.
hehehe lumayan kan mas Zam jadi saudagar kaya beberapa hari disana. Aku pengen juga ahh 😀
ini kenapa view alamnya keren begini,,pengen nangis liatnya. sepedaan sambil liat yang ijo ijo, view secakep ini, ya ampunnnnn
aku kira cuman motor aja yang punya ban tubbles, ternyata disana ada sepeda gowes yang bannya juga model tubbles ya? boleh juga, kalau kempes ga perlu nuntun