Jerman sempat dipuji dalam penanganan pandemi Covid-19, meski sempat menjadi salah satu negara dengan jumlah kasus terbanyak.
Hingga 1 Agustus 2020, menurut Robert Koch Institut, institusi resmi penanganan Covid-19 yang ditunjuk pemerintah Jerman, total kasusnya 209.653 dengan penambahan kasus 955.
Soal pencarian vaksin dan obat untuk melawan virus SARS-Cov-2 itu pun, Jerman termasuk salah satu negara terdepan.
Namun rupanya ada saja sebagian warga Jerman yang berpikir sebaliknya, bahwa pandemi dan segala urusan virus ini hanyalah teori konspirasi dan akal-akalan pemerintah.
Kok ya kebetulan di Indonesia, isu ini juga merebak di media sosial Indonesia, setelah seorang penyanyi mengungkapkan pendapat kontroversialnya di media sosial yang berawal dari foto jenazah pasien Covid-19 yang diambil oleh fotografer National Geographic, Joshua Irwandi.
Inti dari pendapatnya tersebut mengatakan bahwa Covid-19 dan pandemi ini tidak semengerikan yang dibayangkan, sehingga tak perlu warga terlalu takut dan tak perlu serius menerapkan protokol kesehatan.
Rupanya orang yang berpendapat seperti musisi tersebut juga banyak di Jerman, di mana selama ini orang Jerman dikesankan dengan sangat melek teknologi, logis, dan berpemikiran maju.
Terbukti dengan adanya demonstrasi besar-besaran yang diadakan di Berlin, pada Sabtu, 1 Agustus 2020, yang berpusat di Brandenburger Tor.
Awalnya saya tidak tahu ada demonstrasi ini, karena sejak pelonggaran Covid-19 diterapkan, hampir setiap Sabtu pasti ada saja demonstrasi dengan mengusung berbagai tema dan isu.
Demonstrasi dan demokrasi memang sudah menjadi bagian dari kehidupan warga Jerman, di mana saya pernah melihat sekelompok anak sekolah pun diajari untuk melakukan demonstrasi, dengan mengusung poster buatan mereka sendiri, menyuarakan pendapatnya, yang tentunya didampingi oleh gurunya.
Namun Sabtu itu agak sedikit berbeda, apalagi saat pandemi begini, saya memilih untuk menjauh dari kerumunan, apalagi ada demonstrasi.
Saya berniat naik Tram dari Stasiun Friedrichstraße untuk membeli makan di sebuah warung ayam korea, namun ketika turun dari kereta S-bahn, saya melihat banyak polisi berjaga-jaga.
Saat keluar dari stasiun dan hendak menuju halte tram, mobil polisi datang dan mengawal sebuah rombongan.
Awalnya saya mengira ini adalah rombongan demo kecil yang hanya lewat, namun rupanya saya salah.
Para peserta tidak terlihat menggunakan masker, dan samar-samar saya mulai bisa membaca pesan-pesan apa yang mereka bawa di poster yang mereka bawa.
Saat rombongan mendekat, baru lah saya bisa bisa membaca beberapa pesan yang mereka bawa, dan rupanya mereka protes terhadap penerapan protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah Jerman untuk menanggulangi pandemi karena dianggap mengekang kebebasan.
Menggunakan masker, menurut mereka simbol represi pemerintah untuk membungkam, membatasi jarak dan jumlah orang berkumpul menyimbolkan perpecahan, dan teori konspirasi lainnya.
Padahal aturan wajib menggunakan masker hanya di angkutan umum dan toko saja, sementara beberapa aturan lain juga selalu dievaluasi mengikuti perkembangan.
Saya yang awalnya ingin tahu langsung merasa gelagat tidak enak saat peserta yang semuanya tak menggunakan masker, melihat saya yang berada di pinggir dengan masker menutupi mulut dan hidung.
Setelah mengambil beberapa video dan foto, lalu mengunggahnya ke Twitter, saya pun menyingkir dari situ, karena selain menjaga diri, saya juga harus membeli ayam goreng korea.
Dalam perjalanan ke warung ayam goreng korea, saya mencari informasi di Twitter tentang demonstrasi hari itu.
Agak tricky untuk mencari informasi di Twitter, karena perilaku netizen Jerman dan Indonesia sangat berbeda.
Di Indonesia, rasanya informasi tentang suatu kejadian bisa dengan mudah dan cepat ditemukan, bahkan bisa dibilang hampir real-time, karena apa-apa diunggah ke media sosial.
Sementara di Jerman, orang-orang sepertinya tidak sekecanduan itu terhadap media sosial, dan informasi biasanya bermunculan beberapa jam setelahnya.
Jikalau ada pun, biasanya dari wartawan, jurnalis, atau dari lembaga yang mengeluarkan pernyataan resmi.
Salah satu akun Twitter lembaga resmi yang cukup informatif saat ada kejadian adalah akun Kepolisian Berlin.
Dari akun ini pula lah, saya tau ada trik untuk mencari informasi di Twitter, yaitu dari tagar b disertai dengan angka tanggal dan bulan.
Misal karena saat itu tanggal 1 Agustus, maka saya tinggal mencari tagar #b0108 dan beberapa informasi bisa saya temukan di situ.
Beberapa netizen juga sepertinya menggunakan tagar tersebut untuk melaporkan kejadian.
Dari beberapa twit yang tersebar, baru lah saya tahu bahwa demonstrasi tersebut dimotori oleh kalangan sayap kanan ekstrim yang sangat konservatif.
Video dan foto yang beredar pun membuat saya tercengang, salah satunya yang dicuitkan jurnalis Deutsche Welle, Benjamin Alvarez.
Kepolisian Berlin melaporkan bahwa peserta demonstrasi mencapai 17.000, namun menurut beberapa cuitan yang beredar, jumlahnya diperkirakan lebih dari itu.
Ada yang bilang jumlahnya 100.000, 200.000, dan ada pula yang melakukan klaim 1-2 juta orang turun ke jalan.
Klaim 1 juta orang tersebut rasanya agak kurang masuk akal, karena jumlah warga Berlin sendiri hanya sekitar 3,7 juta orang.
Demonstrasi diawali dengan long march dari beberapa kawasan di Berlin, salah satunya dari Alexanderplatz, menyusuri Unter den Linden, berbelok ke Friedrichstraße, di mana di sini saya berjumpa dengan rombongan ini, lalu berakhir di Straße des 17. Juni tepat di belakang Brandenburger Tor.
Dasar Jerman, semua sudah terencana, di mana di sana, panggung sudah berdiri untuk melakukan orasi lengkap dengan beberapa layar besar untuk mengakomodir peserta yang jauh dari panggung.
Namun rupanya aksi demonstrasi tersebut harus berakhir lebih awal, karena polisi terpaksa membubarkan acara dan menangkap beberapa panitia aksi untuk dimintai keterangan karena aksi demonstrasi tersebut dianggap melanggar aturan protokol kesehatan.
Sebuah hal yang lucu, di mana aksi menolak penerapan protokol kesehatan, namun peserta aksi diminta untuk menerapkan protokol kesehatan oleh polisi.
Tentu saja ini menjadi celah aparat penegak hukum untuk bertindak, karena tidak ada yang salah dengan demonstrasinya atau pesan yang disampaikan, namun ada pelanggaran yang jelas, yaitu melanggar protokol keamanan.
Menurut saya ini salah satu trik pemerintah Jerman untuk mengakomodir namun tetap mengikuti koridor hukum.
Seperti misalnya di Jerman, melakukan usaha melarikan diri dari penjara adalah perbuatan yang tidak melanggar hukum, karena insting untuk bebas adalah insting dasar manusia.
Namun jika melakukan usaha tersebut, si narapidana pasti akan melakukan perbuatan melanggar hukum lainnya, misal merusak properti penjara, melakukan penyerangan kepada petugas, dan lain-lain, maka secara hukum, si narapidana tetap saja melanggar hukum.
Termasuk dalam menangani demonstrasi Sabtu lalu, meski pemerintah memberikan izin untuk melakukan demonstrasi, namun karea ada unsur aturan yang dilanggar, polisi boleh bertindak dengan membubarkannya.
Tentu saja pembubaran ini pun tidak berlangsung lancar, karena tentu saja masa pendemo melawan.
Tidak hanya saat pembubaran, sebuah insiden dialami oleh reporter ZDF, Dunja Hayali, saat melakukan liputan di area demonstrasi, yang sempat ia videokan dan unggah ke Instagramnya.
Helikopter polisi tampak wara-wiri di sekitar lokasi, termasuk raungan sirene polisi, pemadam kebakaran, dan ambulans.
Dari tempat tinggal kami yang tak jauh dari Brandenburger Tor, terdengar suara sayup-sayup teriakan demonstran.
Kepolisian Berlin akhirnya merilis laporan resminya yang menyatakan bahwa aksi demo sudah dimulai sejak pukul 3:30 pagi dengan mengusung slogan, “Hari Kemerdekaan: Akhir Pandemi”.
Pantas saja saat saya berada di Stasiun Friedrichstraße, saya sempat mendengar teriakan, “freiheit! freiheit! freiheit!“, dari para peserta demonstrasi.
Peserta demonstrasi berasal dari beberapa wilayah negara bagian di Jerman, terlihat dari beberapa bendera yang mereka bawa saat demo.
Gagasan demo dimulai dari ide pemikiran gerakan Querdenken 711 (Pemikiran 711), yang berasal dari Stuttgart, karena kode 711 adalah kode telepon kota Stuttgart.
Rencana ini kemudian menyebar dan akhirnya terealisasi dengan demonstrasi di Berlin, sebagai ibukota negara.
Namun di aksi demonstrasi apa pun, seringkali ada kelompok yang menunggangi, di mana saat demo, terlihat beberapa bendera dan simbol organisasi dan gerakan terlarang.
Saya sendiri baru tahu bahwa bendera berwarna hitam-putih-merah merupakan bendera simbol dari organisasi terlarang di Jerman.
Polisi pun menangkap dan menangkap peserta yang membawa simbol-simbol ini, karena memang secara hukum, memperlihatkan simbol ini masuk dalam tindakan kriminal.
Menurut laporan polisi, terjadi pula aksi rusuh di area Hermanplatz, Neuköln, yang tidak ada hubungannya dengan demonstrasi dan telah mengamankan situasi.
Polisi yang menurunkan sekitar 1.100 personel untuk mengamankan aksi dan menyatakan 45 personel terluka.
Meski saya pernah mengalami peristiwa demonstrasi, bahkan kerusuhan di Indonesia, namun tetap saja buat kami, peristiwa ini cukup membuat kami khawatir, meski kami yakin pihak keamanan Berlin bisa mengendalikan situasi.
Apalagi sejak pandemi ini, sentimen terhadap warga Asia cukup meningkat, di mana kami pernah diteriakin orang, “Corona! Corona!” karena wajah Asia kami.
Hal tersebut cukup mengagetkan kami, karena Berlin merupakan melting pot berbagai bangsa dan budaya.
Semoga saja pandemi ini bisa berlalu dan situasi aman terkendali.
Sedih bacanya, disaat kita seharusnya menjaga kesehatan agar Corona segera hilang, tapi tetap ditunggangi oleh kepentingan beberapa pihak, kok jadi KZL yah 🤧 yang begini ini yang membuat Corona susah hilang ~ terlepas betulan konspirasi atau nggak, nyatanya banyak yang meninggal karena Corona 😰
Semoga yang demo pada sadar kalau hal yang mereka lakukan bisa membahayakan kesehatan mereka. Kawatir angkanya nanti tambah banyak ☹