Kami sempat deg-degan saat menunggu kereta S-bahn yang akan membawa kami ke Stasiun Utama Berlin (Hauptbahnhof).
Dari papan informasi, kereta S-bahn yang akan membawa kami baru akan datang 10 menit lagi, sementara kereta cepat ICE (dibaca dengan dieja: I-C-E, bukan ice pada Bahasa Inggris) yang akan membawa kami ke München akan berangkat 20 menit lagi.
Setiap pagi, rentang waktu tunggu kereta S-bahn memang lebih renggang, ditambah saat itu hari Minggu, hari di mana warga Jerman beristirahat, waktu tunggunya makin tambah panjang.
Meski sebenarnya jarak dari tempat tinggal kami sebenarnya tidak jauh dari Stasiun Besar Berlin, hanya sekitar 3 menit menggunakan kereta S-bahn, namun karena kami agak terlambat berangkat, membuat kami harus berpacu dengan waktu.
Stasiun saat itu masih sepi saat kami tiba pukul 06.05, pada hari Minggu, 15 Agustus 2021.
Tak berapa lama ada pasangan lain yang dari gelagatnya, sepertinya juga bernasib sama seperti kami, telat berangkat dan ketar-ketir menunggu kereta S-bahn.
Dari koper besar yang mereka bawa, terlihat jelas mereka juga akan menuju ke Stasiun Utama Berlin.
Untungnya, kami berdua memanggul tas punggung yang jika diperlukan, kami bisa berlari untuk mengejar kereta.
Dalam benak, saya bahkan sudah menyiapkan rute tercepat, dari turun kereta S-bahn, turun dengan agak berlari menggunakan eskalator, turun lagi ke peron 1 yang ada di bawah tanah, dengan sisa waktu yang tak banyak.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana pasangan tadi bisa bergerak dengan cepat dengan menyeret koper beroda yang ukurannya sekitar 24 liter itu.
Istri saya berusaha menenangkan saya, bahwa kami tidak akan ketinggalan kereta, dan mempercayai ketepatan waktu Jerman, meski saya yakin ia juga deg-degan.
Kami memang sudah mempersiapkan rencana perjalanan kami untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami yang keenam.
Ini pertama kalinya pula kami melakukan perjalanan ke luar kota, yang agak jauh, menyeberang ke negara bagian Bavaria, selama pandemi dan aturan sudah longgar.
Melihat situasi pandemi saat itu, kami tidak berminat untuk menghabiskan liburan musim panas ke luar Jerman, meski secara umum Eropa sudah terbuka dan menerima wisatawan.
Akhirnya kereta S-bahn tiba dan kami meloncat masuk ke dalam sambil sesekali melirik arloji untuk menghitung waktu.
Menjelang masuk Stasiun Utama Berlin, kami sudah berada di depan pintu, bersiap-siap, dan setelah 3 menit perjalanan yang terasa sangat lama, kami menghambur keluar untuk turun sebanyak 4 lantai menuju peron 1 yang berada di bawah tanah.
Stasiun utama Berlin terdiri dari 5 lantai, di mana lantai paling adalah jalur kereta S-bahn dan kereta jarak jauh regional maupun internasional yang melayani jalur timur-barat.
Tiga lantai di bawahnya adalah lantai pertokoan, berbagai layanan pendukung, serta pintu masuk.
Kereta kami berada di lantai paling bawah, yang berada di bawah tanah, di mana kereta jarak jauh internasional maupun regional melintas melayani jalur utara-selatan.
Untungnya dari aplikasi Deutsche Bahn, kami sudah mengetahui di peron nomor berapa kereta ICE 503 yang akan kami naiki, karena jika tidak, akan repot sekali karena kereta berhenti hanya sebentar, kurang dari 5 menit untuk kemudian berangkat, sementara ada 14 peron untuk kereta jarak jauh.
Saat menuruni eskalator terakhir dengan sedikit berlari, saya melihat kereta ICE kami sudah tersedia, dan saya memberikan kode kepada istri untuk mempercepat langkah.
Kereta ICE rupanya baru saja tiba dari Stasiun Berlin Gesundbrunnen, dan kami langsung meloncat masuk ke kereta kelas 2.
Kami tidak memesan tempat duduk, sehingga kami bebas duduk di mana saja selama kursi tersebut tidak dipesan orang lain.
Kereta Cepat ICE 503 Berlin-München
Tepat pukul 06.26 kami meloncat masuk ke dalam kereta, sebelum terdengar suara peluit kondektur bebunyi panjang, suara peringatan pintu tertutup otomatis, dan kereta bergerak perlahan tepat pukul 06.30.
Ini pertama kalinya kami naik kereta ICE (Inter-City Express) yang dikelola oleh perusahaan kereta Deutsche Bahn.
Sebagai pecinta kereta api, rasanya cukup memalukan karena setelah hampir 3 tahun tinggal di Berlin, baru sekarang mencoba kereta jarak jauh ini.
Jika saat mengunjungi museum kereta Train World di Brussel, Belgia, saya hanya mencoba replikanya, kini saya benar-benar naik kereta ICE.
Kereta ICE adalah kereta cepat yang dimiliki Jerman dengan warnanya yang khas putih bergaris merah, dengan moncong lancip.
Ada 2 kelas yang bisa dipilih saat membeli tiket, yaitu kelas 1 dan kelas 2, di mana kami memilih yang kelas 2 karena lebih murah.
Jika diibaratkan dengan sistem kereta di Indonesia, kelas 1 adalah kelas eksekutif, sementara kelas 2 adalah kelas bisnis.
Tentunya fasilitas, tempat duduk, dan layanannya sedikit berbeda antara kelas 1 dan kelas 2.
Kami memilih tiket termurah kelas 2, bahkan enggan memesan tempat duduk karena harus bayar, karena berpikir, toh sampainya juga sama.
Tiket kereta ICE sendiri memang lebih mahal jika dibandingkan dengan kereta regional RE yang juga dioperasikan oleh Deutsche Bahn.
Kereta berwarna merah ini menawarkan harga tiket yang lebih murah, namun waktu tempuhnya tentu lama, karena kereta ini berhenti di banyak stasiun.
Ibarat kereta di Indonesia, kereta regional RE adalah kereta ekonomi, yang sebenarnya juga nyaman, namun lebih lama saja.
Seluruh kereta yang digunakan adalah kereta listrik, di mana saat kereta melaju, hampir tidak terasa goncangannya sama sekali.
Bahkan dari posisi kereta diam, kemudian bergerak, sama sekali tidak terasa tersentak.
Namanya kereta kelas bisnis, di kereta ICE terdapat layanan wifi gratis yang kecepatannya cukup kencang, yang ketika saya ukur, mencapai 5 Mbps, meski kereta tengah melaju dengan kecepatan sekitar 250 KM per jam saat berada di dalam terowongan.
Kereta ICE sendiri bisa melaju hingga 300 KM per jam.
Layar informasi yang terpasang sangat informatif, menampilkan informasi kereta, stasiun-stasiun pemberhentian lengkap dengan perkiraan waktu tiba, nomor peron stasiun pemberhentian, serta lokasi terkini kereta yang muncul pada peta.
Soal ketepatan waktu, kereta ICE 503 memiliki angka sekitar 74% untuk ketepatan waktu, menurut situs Zugfinder saat tulisan ini dibuat.
Kereta ICE 503 berangkat dari Stasiun Berlin Gesundbrunnen, berhenti di 8 stasiun, yaitu Stasiun Utama Berlin, Stasiun Berlin Südkreuz, Stasiun Utama Lutherstadt Wittenberg, Stasiun Utama Leipzig, Stasiun Utama Erfurt, Stasiun Bamberg, Stasiun Erlangen, Stasiun Utama Nürnberg, sebelum sampai di stasiun akhir, Stasiun Utama München.
Suasana di dalam kereta juga sangat tenang, karena saat kami naik dari Berlin hingga Stasiun Utama Leipzig, tidak banyak orang.
Yang menarik, di dalam kabin saya melihat ada seekor anjing milik penumpang yang tengah duduk santai di koridor.
Anjing berwarna hitam itu cuek saja tak mempedulikan orang yang lalu lalang.
Tidak hanya anjing, sepeda pun bisa masuk ke kereta ICE namun di beberapa gerbong tertentu khusus kereta, tentunya dengan tiket khusus.
Di Leipzig, rupanya banyak penumpang yang naik, dan kabin langsung penuh.
Suasana yang tadinya sepi langsung berubah riuh, karena banyak yang ngobrol selama di perjalanan atau makan.
Saya mengira orang Jerman tidak suka keributan selama di kereta, rupanya saya salah.
Arah kereta yang tadinya maju menurut posisi duduk kami, dari Leipzig ternyata berubah menjadi mundur.
Kereta ICE memang punya dua moncong yang bisa maju atau mundur tanpa perlu mengganti lokomotif.
Karena situasi pandemi, selama di dalam kereta kami wajib mengenakan masker FFP2/KN95, kecuali saaat makan.
Bicara soal makan, terdapat kereta restorasi di bagian tengah, namun kami tidak mencoba memesan makanan atau minuman apa pun.
Tidak ada petugas yang berkeliling menawarkan makanan dan minuman seperti di Indonesia, namun jika memesan jauh-jauh hari secara online, makanan tersebut bisa diantarkan ke kursi penumpang, tentunya jika sudah memesan kursi.
Kami membeli tiket secara online melalui aplikasi Deutsche Bahn, dan tiketnya berupa kode Aztec yang muncul di aplikasi.
Sebagai cadangan, saya juga menyetak tiket jika misal terjadi sesuatu pada ponsel atau tiket tidak dapat dipindai.
Selain melalui aplikasi, tiket bisa dibeli di berbagai kanal pembelian digital atau datang ke pusat informasi perjalanan (Reisenzentrum) dan membeli tiket secara fisik.
Tiket ini akan diperiksa oleh kondektur yang akan memindai kode Aztec atau melubangi tiket fisik yang dibeli dari pusat informasi perjalanan.
Tidak ada polisi atau petugas keamanan yang mendampingi kondektur saat bekerja seperti jika naik kereta di Indonesia.
Harga tiket saat itu adalah 119,80€ termasuk pajak 19% untuk 2 orang sekali perjalanan.
Jarak Berlin ke München adalah 505 KM yang hampir setara dengan panjang Pulau Jawa, dari Serang, Banten, ke Banyuwangi, Jawa Timur.
Dengan kereta ICE, Berlin ke München ditempuh dalam waktu sekitar 4 jam 30 menit.
Kami tiba di Stasiun Utama München pada pukul 11.00, lebih cepat dari jadwal yang harusnya pukul 11.03.
Stasiun Utama München berupa stasiun terminus, di mana di stasiun ini ujung relnya berakhir, seperti di Stasiun Jakarta Kota (BEOS) atau Stasiun Surabaya Kota (Semut).
Model stasiun terminus ini cukup banyak ditemukan di berbagai kota di Eropa.
Kak Zam, aku salah fokus sama foto-foto moncong kereta dan stasiunnya. Moncong keretanya unik-unik semuaa, bahkan yang terakhir agak mirip dengan moncong pesawat terbang hahahaha. Lalu, pemandangan toko-toko di stasiun bawah kereta merupakan pemandangan baru untukku!! Kalau nggak dimention Kak Zam, aku berpikir bahwa itu Mall yang di dalamnya ada stasiun kereta hahahaha. Menarik desainnya!
Bahkan bisa membawa hewan peliharaan masuk ke kabin itu keren banget sih, sangat memudahkan saat berpergian karena pet-friendly. Waktu tempuhnya juga terbilang cepat ya. Asik sih kalau ada fasilitas kereta seperti ini untuk jarak jauh 😍