Sebenarnya sudah lama saya ingin merasakan pengalaman memetik buah-buahan di musim panas.
Kegiatan memetik buah di musim panas memang menjadi salah satu kegiatan pengisi liburan.
Saya dulu ingin berkunjung ke kebun stroberi Karl’s, namun sayangnya lokasi kebunnya cukup jauh dari Berlin.
Di sekitar Berlin-Brandenburg sendiri terdapat banyak perkebunan, yang hasil kebunnya sesuai dengan musim.
Karena cuaca dan musim di Berlin yang sedikit unik tahun ini, kami ketinggalan jadwal panen stroberi, namun untungnya, beberapa perkebunan membuka paket wisata untuk memetik buah ceri.
Selain stroberi, pada musim panas, ceri memang menjadi salah satu buah yang bisa dipetik dari ladang.
Tanggal 31 Juli 2021, saya dan istri mengunjungi sebuah kebun ceri yang berada di Brandenburg, di mana biasanya saya memetik dari supermarket, alias membeli secara kiloan.
Pertama kalinya pula saat itu kami keluar dari Berlin sejak aturan pandemi melonggar karena situasi yang berangsur membaik.
Kami menuju ke Potsdam, sebuah kota di wilayah Brandendburg yang mana terdapat Schloss Sanssouci, istana peristirahatan Raja Friedrick Yang Agung di musim panas.
Jika diibaratkan, Potsdam ini adalah Kota Bogor, jika Berlin diibaratkan sebagai DKI Jakarta.
Kami menggunakan kereta S-bahn S7 untuk menuju Stasiun Besar Potstdam, kemudian naik bus bernomor 580, yang belakangan kami ketahui bahwa bus ini adalah bus kota “plus”.
Bus kota yang kami tumpangi rupanya melayani rute luar kota, yang menghubungkan beberapa kota kecil dan desa di Brandenburg.
Ibaratnya, bus ini semacam bus Mayasari Bakti AC-05 jurusan Blok M di Jakarta dan Bekasi, walau pengibaratannya kurang tepat.
Lokasi kebun yang kami tuju berada di Werder (Havel) sebuah kota kecil di sebelah barat Potsdam yang berada di tepi Sungai Havel, yang masuk distrik Potsdam-Mittelmark.
Kami turun di pinggir jalan, di Halte Plessow yang sepi, di mana menurut jadwal yang terpasang di halte, bus kami datang setiap 40 menit sekali.
Halte tersebut terlihat sangat bersih dan terawat, dengan dinding yang terbuat dari kayu, yang mirip dengan gubuk di ladang.
Tak jauh dari halte, kami melihat papan nama kebun tujuan kami, yaitu Obsthof Lindicke, yang menggunakan simbol apel, karena salah satu hasil panen utama kebun ini adalah apel.
Kami sempat curiga kenapa tempat tersebut sepi sekali, padahal kami berkunjung di hari Sabtu, di mana biasanya banyak keluarga berkunjung untuk memetik ceri.
Rupanya kami salah tempat, karena tempat yang kami kunjungi adalah toko yang menjual hasil olahan kebun, sedangkan lokasi kebun berada sekitar 1 kilometer dari lokasi toko.
Si ibu penjaga toko sempat berdecak, “owh..” saat tahu kami datang dengan berjalan kaki dari halte, karena biasanya orang datang menggunakan mobil pribadi.
Apa boleh buat, kami pun berjalan kaki sesuai petunjuk ibu penjaga toko sembari menikmati pemandangan ladang.
Di kejauhan, tampak beberapa turbin pembangkit listrik tenaga angin berwarna putihberdiri kokoh.
Rupanya cuaca tidak berada di sisi kami, karena saat kami berangkat, cuaca sangat cerah, namun saat kami tiba di tempat ini, mendung cukup tebal terlihat menggantung.
Untungnya saya membawa hoodie karena angin dingin bertiup cukup kencang, membuat saya segera melapisi badan saya yang terbalut kaus tipis.
Sekitar 20 menit kami berjalan kaki, akhirnya kami sampai di ladang yang dimaksud.
Sebuah mobil minivan berwarna putih dengan tenda kuning terpasang di samping mobil menjadi tanda bahwa kami tidak salah lokasi.
Ibu penjaga yang tadinya duduk-duduk langsung berdiri menyambut kami yang ucluk-ucluk berjalan kaki masuk ke kebun.
Tidak ada pengunjung lain, karena kami memang berencana datang pagi, untuk menghindari keramaian.
Apalagi ini adalah pekan terakhir kebun menerima pengunjung untuk memetik ceri.
Dengan ramah, ibu penjaga menjelaskan prosedur pemetikan ceri, di mana kami diberi keranjang rotan yang mampu memuat ceri sebanyak 2 kilogram, yang mana nanti kami membayar seharga ceri yang didapat.
Harganya 3,50€ per kilogram ceri dan kami tidak dipungut biaya masuk atau apa pun.
Kami juga diperbolehkan memakan langsung ceri yang dipetik dari pohon, namun tentu saja dalam batas sewajarnya.
Dengan antusias, kami menuju ke ladang dan sontak kegirangan saat melihat buah ceri berwarna merah tumbuh merantai di pohon yang tingginya tak sampai 2 meter.
Beberapa pohon nampak gundul karena mungkin sudah dipetik pada pekan-pekan sebelumnya, sebagian lainnya masih terlihat ranum.
Tentu saja, area ceri yang dibuka untuk umum berbeda dengan area ceri yang memang dipanen untuk memenuhi kebutuhan supermarket.
Ceri yang kami petik merupakan jenis ceri masam (sauerkirsche) yang biasa digunakan untuk selai, sirup, atau manisan.
Meski begitu, rasa cerinya masih ada rasa manis walau cenderung ada rasa asamnya.
Masa ceri manis telah lewat dan kami ketinggalan informasi, sehingga hanya mendapat jatah memetik ceri masam.
Namun yang penting bagi kami adalah pengalaman memetik ceri yang belum pernah kami alami.
Sayangnya karena cuaca yang mendung dan dinginnya angin, kami pun mengakhiri panen kami.
Situasi juga mulai tampak ramai, di mana sudah terlihat banyak anak-anak berlari ke sana ke mari di kebun sembari berteriak-teriak, menandakan hari sudah siang.
Kami berhasil mengumpulkan ceri seberat 1,6 kilogram, dan membayar sebesar 5,60€.
Tentu saja harga ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga ceri di supermarket.
Hasil panen kemudian dipindahkan ke tas yang terbuat dari kardus untuk kami bawa pulang.
Saat meninggalkan ladang, kami melihat banyak mobil pribadi telah terparkir rapi.
Sepertinya hanya kami berdua pengunjung yang berwajah Asia, karena memang lokasi ini bukan lah lokasi yang biasa dikunjungi wisatawan dari luar.
Apalagi yang datang dua orang berjalan kaki yang datang menggunakan kendaraan umum.
Kebun ini menjadi pilihan kami karena masih bisa dijangkau dengan kendaraan umum, meski harus berjalan kaki sejauh 1 kilometer.
Sementara ladang lain, biasanya terletak di desa dan aksesnya hanya bisa dicapai dengan kendaraan pribadi, di mana kami tidak punya.
Andai saja cuaca siang itu cerah dan hangat, kami mungkin bisa lebih lama lagi dan memanen lebih banyak.
Namun masalahnya, siapa nanti yang akan menghabiskan ceri hasil panen kami?
Saya terkesan oleh halte itu. Kayak gubuk. Tapi kamu bilang terawat bersih ya.