Saya sendiri hampir tak percaya saat seorang teman bilang di Berlin ada Pulau Merak, yang berisi puluhan burung merak.
Memang, soal burung, saya sudah sering melihat burung gagak, burung dara, dan burung gereja berkeliaran bebas di sekitar Berlin.
Bahkan saya sudah terbiasa dengan suara burung gagak yang suaranya parau koak-koak dan seakan-akan menjadi pengganti suara kokok ayam setiap pagi, bahkan siang, sore, hingga malam hari.
Beberapa kali burung gagak hinggap di balkon apartemen kami dan meninggalkan jejak berupa tahi burung.
Burung gereja dan burung dara juga biasanya mendatangi orang yang sedang duduk-duduk di taman atau tempat keramaian, untuk minta remah-remah roti atau makanan.
Kelakuan mereka mirip dengan kucing liar di warung tenda kaki lima di Indonesia.
Di beberapa tempat, burung gereja suka caper dengan mandi-mandi pasir, atau kadang nekat masuk ke restoran (terutama yang terbuka) dan berpesta mengais sisa makanan.
Kembali soal burung merak, karena setahu saya burung merak adalah burung khas Asia, terutama India, saya pun mengiyakan ajakan teman tersebut untuk mengunjungi pulau ini.
Berkunjung Ke Pulau Merak
Hari Sabtu, 18 Juli 2020, kami meluncur ke Wansee, sebuah danau besar yang menjadi salah satu tujuan warga Berlin untuk menikmati musim panas.
Kami memutuskan pergi di hari Sabtu karena menurut prakiraan cuaca, Sabtu akan sangat cerah setelah sepekan cuaca Berlin sendu.
Untuk menuju Wansee, kami naik kereta S-bahn S7 bertujuan Potsdam Hauptbahnhof.
Kenapa tidak di hari Minggu, selain karena cuacanya kelabu, di hari Minggu biasanya orang Berlin lebih memilih bermalas-malasan di rumah, apalagi hampir sebagian besar toko dan tempat wisata tutup.
Dari Stasiun Wansee, yang memiliki lukisan pixel art menarik dari keramik di salah satu sudutnya, kami menunggu bus bernomor 218 dengan tujuan Pfaueninsel.
Dalam Bahasa Jerman, Pfauen berarti merak(-merak) dan Insel berarti pulau.
Jika ingin menuju ke Jembatan Glienicker, bisa juga naik bus 316 dari halte ini.
Tak lama bus yang kami tunggu datang, dan kami segera naik bus tingkat tersebut untuk membawa kami ke pelabuhan Pulau Merak.
Bus yang membawa kami tiba-tiba berbelok masuk ke semacam hutan selepas dari Königstraße, yang mana lebar jalannya hanya bisa dilewati oleh bus ini.
Jika lurus mengikuti Königstraße, bus akan sampai ke Jembatan Glienicker, karena memang lokasi pulau ini tak jauh dari jembatan yang dulu digunakan untuk menukar mata-mata pada era perang dingin tersebut.
Jalan sempit ini akan membawa kami ke halte terakhir, yaitu dermaga yang akan membawa kami menyeberangi Sungai Havel untuk menuju ke Pulau Merak.
Pulau ini juga berada di perbatasan Berlin-Brandenburg, yang mana pulau ini masuk ke wilayah Berlin.
Menyeberang ke Pulau Merak
Bus berhenti di halte terakhir, halte yang sekaligus menjadi dermaga untuk menyeberang ke Pulau Merak.
Saat kami datang, sekitar pukul 10:30, belum banyak warga yang mengantre.
Wah, rupanya meski kami sudah datang pagi (di Berlin, pagi biasanya dimulai sekitar pukul 10:00), rupanya ada yang sudah datang lebih pagi.
Dari sekian orang, rasanya hanya kami bertiga yang berkulit gelap, selain serombongan keluarga India di depan kami.
Memang tempat ini bukan tempat wisata populer untuk turis asing, terutama yang tidak tinggal di Berlin, karena memang lokasinya bisa dibilang cukup jauh dari pusat kota Berlin.
Kami mengantre untuk masuk ke kapal, di mana tiket dibeli di atas kapal yang sudah termasuk tiket pulang-pergi dan tiket masuk ke area Pulau Merak.
Harga tiketnya 4€ per orang dan 3€ untuk mahasiswa dan orang-orang sepuh serta difabel, sementara untuk satu keluarga yang terdiri sepasang orang tua dan empat anak, cukup membayar 8€.
Benar, area Pulau Merak ini termasuk ramah terhadap pengguna kursi roda, meski jalannya banyak terbuat dari tanah dan menanjak, namun masih bisa dilewati kursi roda.
Keluarga yang membawa kereta bayi atau stroller pun bisa melewati jalur yang ada di pulau ini karena memang pulau ini didesain ramah terhadap keluarga dan anak-anak.
Anjing dan sepeda tidak boleh masuk ke area pulau ini, tentunya untuk melindungi merak-merak di dalam pulau.
Kami naik ke kapal penyeberangan yang panjangnya 31 meter dengan lebar 9,91 meter dan tinggi 1,15 meter.
Kapal ini bisa mengangkut 150 orang dan mampu menahan beban hingga 20 ton.
Saat kami menyeberang, ada sebuah mobil naik ke dalam kapal, yang merupakan mobil operasional dari pengelola taman.
Palang pintu pun ditutup dan kapal segera bergerak menuju ke dermaga seberang di Pulau Merak.
Perjalanannya tak memakan waktu lama, tak sampai 5 menit kami sudah tiba di seberang.
Selain menuju ke Pulau Merak, terdapat beberapa dermaga yang digunakan oleh kapal-kapal wisata di Berlin untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
Kapal wisata ini memiliki rute berkeliling danau-danau dan sungai di Berlin, tergantung dari operatornya.
Tiket yang kami dapat berbentuk lembaran brosur besar yang berisi peta dan lokasi-lokasi penting di dalam pulau.
Ada dua toilet gratis yang sangat bersih di pulau ini, di mana saya jarang menemukan toilet gratis terutama di tempat-tempat wisata di Berlin.
Tidak semua tempat pun menyediakan toilet, bahkan pusat perbelanjaan, stasiun kereta, atau pom bensin belum tentu menyediakan toilet.
Jika pun ada, biasanya ke toilet harus bayar sekitar 0,50€ hingga 1€, tergantung lokasinya.
Piknik dan duduk-duduk pun tidak boleh sembarangan, karena itu, disediakan lapangan besar yang dikhususkan untuk menggelar tikar, piknik, berlari-lari, bahkan terdapat sebuah kafe dan resto kecil jika ingin mengudap atau sekadar menikmati bir dingin.
Tentu saja, salah satu tujuan utama kami ke pulau ini selain melihat merak, adalah piknik menikmati musim panas.
Dan sepertinya kami tidak sendiri, tujuan kami sama dengan tujuan puluhan orang yang datang ke tempat ini.
Berkeliling Pulau Merak
Di pulau ini terdapat jalur yang bisa diikuti, serta beberapa tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi.
Jalurnya berupa bebatuan yang disusun hingga jalur tanah yang sama-sama bisa dilalui oleh kursi roda atau stroller.
Begitu kami menginjakkan kaki ke pulau, kamu langsung disambut dengan suara teriakan merak di kejauhan.
Kami makin semangat dan tak sabar untuk berjumpa dengan merak-merak ini.
Dari dermaga, kami memilih mengambil arah ke kanan, menuju ke arah timur laut melewati taman mawar dan sebuah bengkel kapal kayu.
Pulau ini dulunya digunakan untuk riset dan membuat kaca-kaca cantik oleh salah seorang tukang kaca, Johannes Kunckel, pada masa pemerintahan Raja Friedrich Wilhelm.
Kunckel seorang tukang kaca yang sangat berbakat, di mana di pulau ini lah ia menemukan teknik membuat batu ruby imitasi yang terbuat dari kaca berwarna merah.
Setelah Raja Friedrich Wilhelm meninggal pada 1688, tidak ada lagi dukungan dana kepadanya.
Tahun 1689, bengkel kerjanya terbakar habis, dan sisa-sisa lokasi bengkel Kunckel ini bisa terlihat dari semacam lapangan panjang di ujung timur pulau.
Johannes Kunckel kemudian pergi ke Stockholm untuk bekerja kepada Raja Swedia pada 1692.
Pulau ini sempat mangkrak tak terurus selama sekitar 100 tahun, hingga pada masa pemerintahan Raja Friedrich Wilhelm II, yang sering dikenal dengan Friedrich Yang Agung, mengubah pulau ini menjadi salah satu lokasi favoritnya untuk menikmati musim panas, selain di Istana Sanssouci pada 1793.
Friedrich Yang Agung mempersembahkan pulau ini untuk selirnya, Wilhelmine Enke, yang kemudian bergelar Wilhelmine von Lichtenau.
Sebuah istana dibangun di pulau ini, Istana Pulau Merak (Schloss Pfaueninsel) yang tentu saja sangat cantik dengan warna berwarna putih dan terdiri dari dua menara yang menyambung di bagian tengah dengan sebuah jembatan bergaya Roman.
Di sekitar istana ini terdapat taman bunga mawar, berbagai bunga tropis, dan tanaman palem yang eksotis.
Meski terlihat sangat indah dan berwarna putih seperti marmer, rupanya ini hanya ilusi karena istana tersebut dindingnya terbuat dari kayu yang dicat sedemikian rupa hingga menyerupai marmer.
Saat kami ke sana, bangunan ini sedang dalam tahap renovasi yang rencananya selesai pada tahun 2024.
Di tengah pulau ada bangunan berbentuk seperti benteng bernama Kavalierhaus bergaya neo-gothic ala Inggris yang digunakan untuk tempat menginap anggota kerajaan.
Karena bentuknya yang unik seperti benteng ini, lokasi ini sering digunakan untuk lokasi syuting film-film lokal Jerman.
Padang rumput ilalang tinggi menghampar persis di depan bangunan ini, mengingatkan saya akan pemandangan di Baluran.
Dulu, saya dan istri punya keinginan untuk mengunjungi Taman Nasional Baluran saat musim kemarau karena ingin melihat pemandangan sabana dan padang rumput seperti ini, namun rupanya cita-cita kami tersebut belum terpenuhi.
Rupanya kami mendapat ganti pemandangan yang tak kalah cantik di Pulau Merak ini.
Sebuah air mancur besar dibangun di tengah pulau, dan dari air mancur ini kami bisa melihat Istana Pulau Merak menyembul di antara pepohonan.
Selain merak, ada beberapa kandang di pulau ini, yaitu kandang merak putih, kandang merak dan beberapa unggas eksotik, kandang kuda poni, kandang domba, kandang kerbau air, dan kandang sapi.
Kerbau air yang berwarna hitam ini sering dilepas di ladang ilalang untuk memangkas ilalang dengan memakannya.
Ada sepetak ladang yang digunakan untuk menanam beberapa tanaman makanan pokok, yang mana kerbau-kerbau ini juga digunakan sebagai pembajak.
Selain itu, kebutuhan susu juga diperoleh dari sapi dan kambing yang dipelihara di pulau ini.
Terdapat sebuah gedung yang digunakan sebagai laboratorium perkembangbiakan merak, namun saat kami ke sana, laboratorium ini tutup dan tidak menerima kunjungan karena pandemi.
Di beberapa area pulau dipasang pagar kawat beraliran listrik, yang menurut dugaan saya untuk menghalau binatang agar tidak keluar area dan nyemplung ke sungai.
Selama di pulau, pengunjung dilarang keras memberi makan hewan apa pun di sini, karena dikhawatirkan si hewan bisa keracunan, sakit, dan kemudian mati.
Pulau Merak seluas 67 hektar ini bisa dijelajahi hanya dalam waktu sehari saja, tentu dengan mengikuti jalur yang sudah disediakan.
Untung kami membawa air minum yang cukup, sepatu yang nyaman, dan kaos yang tipis saat berkeliling di pulau ini.
Di sekitar pulau terlihat beberapa kapal sewaan membuang sauh dan berhenti di sekitar pulau.
Beberapa di antaranya terdengar suara musik kencang karena menggelar pesta di atas kapal, sebuah pemandangan yang sangat kontras.
Berjumpa Merak
Meski saya sudah pernah melihat dan bertemu merak sebelumnya, namun tetap saja saya antusias dan penasaran bertemu dengan merak secara langsung yang berkeliaran di alam bebas.
Di pulau ini ada dua kandang merak, yang pertama adalah kandan merak putih namun bukan albino, karena mata merak putih ini tidak berwarna merah.
Merak putih ini merupakan merak hasil mutasi dari merak India, dan bernama latin Pavo cristatus mut. alba).
Kandang luar merak putih ini dibangun pada 2003 dan merupakan sumbangan dari Yayasan Cornelsen.
Tak jauh dari kandang, saya melihat banyak orang bergerombol, melihat ke arah semak-semak sambil menodongkan kamera dan ponsel.
Rupanya ada seekor merak biru jantan tengah bersantai di atas batang kayu.
Dengan santainya ia duduk seolah-olah tidak ada manusia di sekelilingnya yang sedang takjub.
Sayangnya karena saat itu bukan musim kawin, ekor merak jantan tersebut tidak mengembang untuk menarik betina.
Musim kawin merak yang merupakan hewan endemi padang savana dari India, Asia Selatan, dan Indonesia ini adalah bulan Januari hingga April.
Untungnya merak-merak ini tidak perlu memikirkan resepsi, karena bisa dipastikan mereka akan kesulitan mencari gedung resepsi pada saat musim kawin.
Meski dibilang binatang endemi, rasanya di Indonesia sendiri, merak sudah kehilangan habitat aslinya. Sangat disayangkan.
Puas melihat si merak yang sedang santai, kami berjalan menuju ke kandang utama yang menjadi rumah bagi beberapa hewan eksotis lainnya.
Kandang yang bergaya Inggris ini dibangun pada 1824 yang dirancang oleh Martin Friedrich Rabe, yang juga merancang berbagai istana.
Burung-burung dan beberapa hewan yang didatangkan oleh Raja Friedrich Wilhelm III, yang menyukai hewan-hewan eksotis, dikandangkan di kandang ini.
Dulunya ada beberapa hewan seperti singa, llama, monyet, buaya, hingga beruang, didatangkan ke pulau ini oleh Raja Friedrich Wilhelm III.
Kemudian pada pemerintahan Friedrich Wilhelm IV, beberapa hewan ini dipindahkan ke Kebun Binatang Berlin, yang saat itu merupakan kebun binatang pertama di Jerman, yang dibuka pada 1844.
Hanya beberapa burung, terutama merak saja yang tetap tinggal di pulau ini.
Di kandang, beberapa merak langka seperti merak emas (Chrysolophus pictus) dari Cina, ayam vorwerk yang merupakan ayam asli Jerman, ayam brahma yang besar dan berasal dari Amerika Serikat, dan ayam silkie yang memiliki bulu halus.
Merak-merak liar di luar sangkar ini rupanya juga berjalan-jalan di sekeliling kandang, seolah-olah mengejek saudaranya yang berada di dalam kandang.
Mereka tidak takut terhadap manusia, bahkan mendekat untuk meminta makan, namun penjaga kandang yang saat itu bertugas memberi makan memperingatkan kepada seorang pengunjung yang terlihat kasihan dan hendak memberi makan kepada merak tersebut.
Saya bisa membandingkan langsung seberapa besar si merak ini, dan rupanya mereka ini besar!
Dugaan saya, usia merak-merak yang berkeliaran ini masih remaja, karena terlihat dari ekornya yang belum banyak dan baru muncul beberapa.
Saat kami duduk-duduk di lapangan rumput yang dikhususkan untuk piknik, seekor merak tengah berkeliaran di sekitar warung yang ada di lokasi ini.
Mereka seakan-akan meminta belas kasihan orang-orang yang tengah makan atau piknik, untuk mendapat remah-remah makanan.
Namun sepanjang pengamatan saya, tidak ada satu pun orang yang memberinya makan, meski si merak sudah caper dan mendekat dan melakukan gerakan-gerakan meminta perhatian.
Bahkan saat ia mendekati kami yang sedang duduk-duduk di atas tikar, kami tidak memberi apa pun.
Kami hanya memotret dan mengambil video saat si merak mendekat sambil menikmati es kopi dan es coklat yang kami pesan dari kios di area ini.
Walau sebenarnya kasihan melihat tingkahnya, namun karena memang kami dilarang memberinya makanan, kami tidak berani melanggarnya.
Saya belum pernah mengalami hal seperti ini, didekati merak saat piknik di taman.
Entah karena lelah atau ngambek, si merak tiba-tiba rebahan di tengah lapangan dengan pose yang aneh.
Tingkahnya seperti kucing yang kesal lalu seperti mencari perhatian kepada majikannya.
Namun sayangnya, usahanya tersebut gagal.
Orang-orang tetap saja tidak memberinya makan, lalu entah ke mana si merak tersebut pergi.
Kami sempat kaget saat terdengar suara teriakan yang berasal dari pohon besar di tengah padang ilalang saat sedang menjelajah berkeliling pulau.
Lalu terdengar suara sahutan merak lain yang membalas teriakan merak yang terdengar sangat dekat tersebut.
Rupanya ada seekor merak tengah bertengger di sebuah pohon besar dan sepertinya sedang berbincang dengan sesamanya.
Saat perjalanan pulang dan menuju ke dermaga, kami lagi-lagi berjumpa dengan merak.
Kali ini si merak muncul di sekitaran taman mawar lalu mengikuti kami hingga ke pelabuhan, seakan hendak mengantar kepergian kami.
Saya memperhatikan di salah satu kaki merak terdapat gelang plastik yang digunakan sebagai identifikasi si merak.
Kami sangat puas bisa berjumpa dan melihat langsung merak-merak ini dengan bebas di habitatnya.
Suatu saat kami pasti akan kembali ke sini, berjumpa lagi dengan merak-merak di taman nasional yang menjadi warisan dunia UNESCO ini.
Pulau ini dikelola oleh Yayasan Istana dan Taman (Stiftung Preußische Schlösser und Gärten) Berlin-Brandenburg.
Kayaknya pulau itu bersih terawat dan gak sesak pengunjung ya. Nyaman nian.