Selama ini saya mengenal Jalan Sutera (Silk Road) daripada Jalur Rempah (Spice Route). Padahal, menurut beberapa ahli sejarah, sutera hanyalah sebagian komoditi yang diperdagangkan di jalur yang menghubungkan dunia Timur dan Barat itu.
Padahal, sebagian besar yang diperdagangkan adalah rempah-rempah, yang asal muasalnya dari Nusantara. Sayangnya, nama Jalur Rempah sepertinya kurang terdengar bila dibandingkan dengan istilah Jalur Sutera.
Inilah fakta sejarah yang coba diluruskan di gelaran The Museum Week 2015 yang mengambil tema Jalur Rempah: The Untold Story, yang bertempat di Museum Nasional pada tanggal 18-25 Oktober 2015 (diperpanjang hingga 30 Oktober 2015).
The Museum Week kali ini adalah gelaran ketiga, di mana pada 2 tahun sebelumnya, acara yang digagas oleh Yayasan Bina Museum Indonesia ini mencoba “membawa” museum ke pusat perbelanjaan Senayan City.
Yang lebih menarik lagi, pagelaran ini juga bertepatan dengan Hari Museum Nasional, yang jatuh pada tanggal 12 Oktober, yang ditetapkan berdasar pada Musyawarah Museum se-Indonesia yang diadakan di Yogyakarta pada 12-14 Oktober 1962.
Jalur Rempah: The Untold Story
Saya mendatangi Museum Nasional pada 19 Oktober 2015 bersama istri, dengan menggunakan TransJakarta. Posisi Museum Nasional yang sangat strategis membuat kami tak kesulitan mencapainya.
Pameran diselenggarakan di gedung sayap utara museum, menempati dua lantai. Sejak pintu masuk, mata saya langsung tertuju ke Kapal Mandar, yang terletak di samping ampitheater, tak jauh dari patung tembaga Ku Yakin Sampai Di Sana karya seniman Nyoman Nuarta.
Kapal Mandar, Kapal Pembawa Rempah
Terbuat dari kayu yang langsung dipahat di tempat tanpa perlu rancangna bangun, kapal sepanjang 10 meter dan lebar 2 meter, berdiri gagah di samping pintu masuk. Kapal ini bukan replika, namun kapal yang benar-benar bisa digunakan melaut, hanya saja ukurannya dibuat kecil.
Semua bagian kapal terbuat dari bahan alami dan dikerjakan dengan cara tradisional, tanpa paku, hanya disatukan dengan pasak dan ikatan serat kelapa atau ijuk. Untuk memulai proses pembuatan pun, dilakukan sebuah upacara ritual sesuai dengan kepercayaan suku Mandar.
Perahu yang disebut dengan Padewakang ini dikerjakan di Desa Pembusuang, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Setelah selesai, perahu dibongkar, dibagi menjadi 3 bagian, dikirim ke Jakarta, kemudian dirangkai ulang.
Layar kapal berjenis tanjaq atau berbentuk segi empat, terbuat dari anyaman daun gebang yang ditenun dengan serat kayu. Layar anyaman daun ini bernama karoroq.
Agar perahu kedap air, di sela antar papan disisipkan kulit kayu baruq yang berfungsi semacam karet penyekat. Penyusun papan dan penguat beberapa bagian menggunakan pasak kayu ulin.
Agar perahu tampak makin cantik, biasanya digunakan cat yang terbuat dari campuran kapur terumbu karang dengan minyak kelapa. Bahan ini ditumbuk selama beberapa jam lalu dibuat adonan yang disebut dengan lepa, kemudian menggunakan irisan pepaya mentah sebagai kuas, dioleskan pada lambung perahu. Selain mempercantik kapal, lepa berfungsi untuk melindungi kayu.
Kapal Padewakang adalah kapal khas Mandar yang digunakan oleh pedagang sebelum abad ke-17 untuk mengarungi samudera. Mereka biasanya membawa komoditas rempah-rempah dari pulau ke pulau di Nusantara, bahkan sampai ke luar negeri.
Bentuk kapal ini juga nampak pada sebuah relief di Candi Borobudur, yang menunjukkan ciri khas bangsa Austronesia yang sudah melanglang buana.
Ruang Pamer Jalur Rempah
Kami masuk ke dalam gedung. Dari lobi, di sebelah kiri dekat tangga, terdapat dua buah kursi sofa yang menggunakan kain bercorak para penjelajah, rempah, dan bumbu yang dipamerkan oleh Jakarta Vintage.
Terdapat pula peta raksasa jalur rempah, bidang penjelasan tentang jalur rempah, Mandar Corner, dan pameran foto yang beberapa merupakan karya Mas Danny Tumbelaka.
Setelah menitipkan tas, mengambil katalog, dan mengambil minuman gratis dari sponsor, kami menuju ruang pamer Jalur Rempah.
Begitu masuk, kami disuguhi dengan foto-foto berbagai rempah yang ada di Indonesia. Kemudian kami menuju ke ruang multimedia yang menayangkan sejarah singkat rempah dan kegunaannya pada masa silam.
Untuk turis asing, terdapat panduan berbahasa Inggris yang diadakan setiap 2 jam, yaitu pukul 10:30, 12:30, 14:30, 18:30, dan 20:30.
Konsep ruang pamer Jalur Rempah menggunakan model garis waktu, di mana pengunjung akan dibawa ke beberapa era yang menceritakan rempah pada masa tersebut.
Ruang Barus
Dari ruang multimedia, kami menuju ke Ruang Barus. Begitu masuk, kami langsung disambut dengan sebuah pohon kapur (Dryobalanops aromatica) berusia 7 tahun. Saya baru tahu bahwa kapur barus yang biasa kita kenal, dulunya berasal dari pohon ini, dan berharga mahal.
Kapur diambil dari pohon yang telah berusia 70-150 tahun, dengan menebang pohonnya lalu diambil getah yang terdapat pada batangnya. Itu pun tidak semua pohon bisa menghasilkan kapur, sehingga keberadaan kapur cukup langka yang akhirnya menjadi mahal (pada masa itu).
Nama Barus sendiri merupakan nama sebuah daerah di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Daerah ini adalah daerah perdagangan yang ramai seiring dengan komoditi yang dihasilkan daerah ini. Ramainya daerah ini tertulis pada Prasasti Lobu Tua berbahasa Tamil yang diperkirakan berasal dari tahun 1088.
Replika Prasati Lobu Tua bisa dilihat juga di ruang ini. Isi prasasti menceritakan tentang serikat dagang bernama Limar Ratus dari Seribu Arah bertemu di Velapuram di Varocu (Barus) untuk memutuskan bahwa ada tiga kategori orang yang harus membayar pajak emas.
Kapur barus yang kita kenal, berasal dari nama Barus, di mana pohon kapur berasal. Pohon ini sudah masuk dalam kategori langka (critically endangered). Saking mahalnya kapur, bahan ini hanya digunakan untuk mumifikasi raja Firaun.
Selain kapur, pohon kapur juga menghasilkan kemenyan dan minyak umbil.
Ruang Sriwijaya
Saya langsung tercengang saat memasuki Ruang Sriwijaya. Perpaduan batu bata dan pasir karya seniman I Gusti Dibal Ranuh, begitu apik hingga membawa saya seolah terbawa ke suasana Sriwijaya.
Sriwijaya menjadi salah satu titik penting dari jalur rempah. Kerajaan ini menjadi pusat peradaban agama Budha yang menarik para penuntut ilmu dan pedagang. Sriwijaya pun berkembang menjadi kota pelabuhan yang besar di mana komoditi rempah pun menjadi hal yang lumrah.
Tak banyak yang dipamerkan di ruang ini, kecuali sebuah Prasasti Kedukan Bukit yang menjadi cikal bakal kerajaan Sriwijaya. Namun, kesan pusat peradaban agama Budha terlihat dari dekorasi ruang yang dibangun, lengkap dengan suara latar yang menimbulkan suasana khusyuk.
Ruang Majapahit
Dari Ruang Sriwijaya, kami memasuki Ruang Majapahit yang ditandai dengan gapura khasnya yang ramping, menampilkan corak agama Hindu.
Di dalam ruang ini dipamerkan beberapa koleksi yang menunjukkan kekayaan kerajaan Majapahit, antara lain celengan berbentuk babi yang terbuat dari tanah liat.
Babi, yang dalam bahasa jawa sering disebut sebagai celeng, menjadi bentuk dasar tempat menyimpan uang. Dari kata celeng ini lah akhirnya muncul istilah celengan.
Keberadaan celengan menunjukkan bahwa masyarakat Majapahit telah mengenal uang. Uang tentu menjadi simbol perdagangan yang menjadi pondasi utama sebuah kerajaan.
Ruang Perdagangan Kolonialisme
Dari era Majapahit, kami dibawa ke era perdagangan, di mana di ruang ini digambarkan suasana perdagangan di masa lalu.
Terdapat foto besar hasil repro resolusi tinggi berjudul Bantam Market karya seniman Belanda, Romein de Hooge berukuran 4×6 meter, yang menggambarkan riuhnya suasana pasar di era kolonial.
Ada sebuah kotak pekinangan (poh jenggi) yang terbuat dari kelapa gantet yang hanya tumbuh di Kepulauan Seychelles, Afrika. Benda ini menjadi bukti bahwa era perdagangan dari Eropa yang melintasi Afrika hingga sampai ke Indonesia.
Yang membuat saya makin bangga, di salah satu sudut ruang ini, terpampang video Tari Soya-Soya. Tari Soya-Soya menggambarkan perjuangan rakyat Ternate melawan Portugis. Tarian yang saya rekam di Benteng Kalamata, Ternate, saat mengunjungi benteng-benteng sejarah di Ternate tahun lalu menjadi salah satu benda pamer di pameran kali ini.
Ruang Kemerdekaan Indonesia
Dari Ruang Perdagangan Kolonialisme, kami masuk ke sebuah ruangan gelap yang memutar video-video peperangan. Melalui jalur berliku, suasana tegang terasa karena latar belakang video yang ditampilkan.
Di ujung ruangan, sebuah ruang yang berkebalikan dari sebelumnya, tampak kosong dengan warna serba putih. Sebuah layar video dipasang di tengah dan menunjukkan suasana kemerdekaan Republik Indonesia,
Inilah akhir dari Ruang Pamer Sejarah Rempah.
Teknologi Augmented Reality
Yang menarik, di beberapa sudut ruangan ada sebuah tanda khusus yang bila dipindai menggunakan aplikasi Siji, akan menampilkan cuplikan video sejarah rempah karya Layaria di layar ponsel.
Saya mengunduh aplikasi Siji dan mencoba memindai salah satu tanda saat di Ruang Barus. Sebuah video yang menceritakan sejarah singkat Barus pun muncul di layar ponsel.
lho “Ku Yakin Sampai Di Sana” bukan karya sby?