Seperti yang kita kenal dalam sejarah, umat Yahudi merupakan umat yang paling tragis nasibnya pada masa pemerintahan Nazi di Jerman.
Selama 12 tahun Partai Nasionalis (Nazi) berkuasa dari tahun 1933 hingga 1945, jutaan nyawa umat Yahudi melayang atas nama egoisme dan ketakutan semu.
Jerman berusaha menebus dosa masa lalu tersebut, dengan membangun monumen-monumen peringatan untuk mengenang mereka yang meninggal dan mencegah masa lalu kelam tersebut berulang.
Termasuk lokasi yang saya kunjungi pada Senin, 22 Februari 2021 lalu, yaitu Jüdischer Friedhof Weißensee, alias Makam Yahudi Weißensee.
Kompleks seluas 42 hektar yang memuat sekitar 115.000 nisan ini merupakan kompleks pemakaman Yahudi terbesar di Eropa.
Menariknya, lokasi makam berada di tengah area pemukiman Weißensee yang merupakan salah satu area yang ditinggali anak muda, orang tua, dan orang-orang kreatif.
Makam yang dibangun pada tahun 1880 karena makam Yahudi kedua di Berlin di Schönhauser Allee sudah tidak mampu lagi menampung.
Di Berlin ada 3 makam Yahudi, yang pertama adalah di Große Hamburger Straße, Schönhauser Alle, dan yang terakhir dan yang terbesar, Weißensee.
Hingga kini, kompleks ini masih terawat dan menampung jenazah umat Yahudi.
Mengunjungi makam ini mengingatkan kunjungan saya ke Museum Taman Prasasti, di Jakarta Pusat, yang dulunya makam Belanda, namun seluruh jenazahnya telah dipindahkan.
Saya datang sekitar pukul 14:43, melalui satu-satunya pintu masuk dari Herbert-Baum-Straße yang langsung disambut dengan mausoleum dan monumen peringatan.
Pengunjung laki-laki yang masuk area ini diwajibkan menutup kepalanya, minimal menggunakan topi atau kupluk, sementara tidak ada aturan khusus untuk pengunjung perempuan selain berpenampilan sopan.
Jika pengunjung pria tidak membawa penutup kepala, kippah, atau peci mungil khas Yahudi bisa dipinjam dari petugas di pintu masuk.
Saat saya datang, ada beberapa orang yang datang untuk sekadar berjalan-jalan atau mencari suasana hening dari hiruk pikuk.
Beberapa makam di Berlin memang menjadi salah satu tujuan warga untuk bersantai, karena selain rindang dan tenang, suasana makam tidak seseram bayangan.
Meski berfungsi sebagai semacam taman, ada beberapa aturan misalnya tidak boleh bersepeda atau berseluncur (menggunakan skate board) di area makam, membawa anjing, atau melakukan hal-hal yang tidak selayaknya dilakukan di makam.
Saya sendiri datang untuk mengetahui sejarah dan mengenang umat Yahudi yang meninggal meski tidak bisa disebut ziarah.
Makam ini juga menjadi lokasi pemakaman tokoh Yahudi ternama di Berlin, misalnya pelukis Lesser Ury, komposer Louis Lewandowski, konglomerat Oscar Tietz, serta penulis Samuel Fischer dan Rudolf Mosse.
Saya melihat nisan Herbert-Baum, tokoh Yahudi yang juga tokoh pergerakan melawan fasisme dan faham antisemit.
Herbert-Baum memimpin serangan ke pameran propaganda fasisme yang digelar oleh Nazi, yang mengakibatkan banyak anggota organisasi perlawanan yang dipimpinnya ditangkap.
Setelah tertangkap, Herbert-Baum disiksa hingga meninggal di Penjara Moabit, Berlin.
Gestapo, tentara yang menangkapnya, menyiarkan kabar bahwa Herbert-Baum mati bunuh diri, untuk menutupi kenyataan.
Sementara istrinya, Marianne Baum, dieksekusi di Penjara Plötzensee di Berlin, beserta puluhan anggota organisasi pengikut Herbert-Baum.
Di bagian belakang nisan Herbert-Baum, tertulis nama-nama tokoh-tokoh organisasi, termasuk istrinya, yang dieksekusi.
Untuk menghormati Herbert-Baum, namanya diabadikan menjadi nama jalan yang menuju ke makam ini.
Ada yang menarik dari makam-makam Yahudi ini, di mana jika biasanya orang menabur bunga, di nisan-nisan Yahudi ini saya melihat banyak tumpukan batu dan kerikil di atas nisan.
Ada juga yang meletakkan karangan bunga dan lilin yang menyala, namun kerikil dan batu di atas nisan ini yang paling menyolok.
Rupanya ini adalah salah satu cara orang Yahudi untuk mengenang mereka yang terkubur, di mana batu disimbolkan sebagai lambang keabadian, karena bunga bisa layu.
Menurut kepercayaan Yahudi yang lain, batu bisa menahan jiwa-jiwa yang telah meninggal terus berada di bumi dan bersama dengan orang-orang yang dicintainya.
Saya sempat duduk-duduk sebentar, menikmati suasana hening dan tenang di tengah makam.
Bangku-bangku kayu yang terkesan baru, serta beberapa peralatan pertamanan tergeletak si beberapa sudut menunjukkan bahwa makam ini dirawat dengan sangat baik.
Saya melihat beberapa nisan baru, di mana tanggal meninggal orang yang dikubur bertahun 2013, dan mungkin ada yang lebih baru.
Tidak ada kesan angker, seram, atau mengerikan yang saya tangkap, mungkin karena suasana yang terang dan sinar matahari menembus di antara batang-batang pohon.
Kata orang-orang, waktu yang tepat untuk mengunjungi makam ini adalah saat salju tebal turun, atau saat musim panas di mana bunga-bunga mekar.
Namun saat saya datang di awal musim semi ini, perpaduan antara pohon meranggas dan langit biru sudah memberikan kesan yang magis.
Saya bahkan tidak sampai menjelajah lebih dalam karena area ini sangat luas, bahkan ada peta di dalam makam agar pengunjung mudah bernavigasi.
Setelah puas, saya kemudian beranjak dan menyempatkan diri melihat prasasti yang tertulis di pintu masuk.
Prasasti itu dikelilingi plakat bertuliskan nama-nama kamp konsentrasi dan kamp eksekusi untuk mengenang lokasi di mana peristiwa keji terjadi.
Ingatlah selalu apa yang terjadi pada kita. Ditujukan untuk mengenang saudara dan saudari kita yang dibunuh pada 1933-1945 dan mereka yang hidup, untuk melanjutkan warisan mereka yang tiada.
Komunitas Yahudi Berlin
Makam ini buka setiap hari dari jam 8.00 hingga 16.00, kecuali pada hari Sabtu (hari suci Yahudi) dan hari libur.
Tidak ada ongkos masuk, meski makam terlihat sangat terawat.
Sebuah film dokumenter berjudul Im Himmel, unter der Erde (Di Surga, Di Bawah Tanah, karya Brita Wauer pernah mengangkat kisah tentang makam ini.
Menariknya karena di negara Eropa dan Amerika Utara, makam justru bisa jadi tempat wisata ya
Banyak yang bisa dilihat, dan banyak yang bisa dinikmati.
Di Indonesia, makam juga jadi tempat wisata tapi malah jadi tempat wisata esek-esek 😀