Akhirnya saya mengikuti tren untuk membagikan laporan Spotify saya, mengikuti jejak Lia dan Daeng Ipul.
Tahun 2019 kemarin saya tidak menuliskannya karena memang secara umum, di tahun itu saya cukup jarang menulis blog.
Saya tak ingat kapan berlangganan Spotify Premium Family (berbagi dengan istri) setelah memutuskan berhenti berlangganan Apple Music.
Alasannya sederhana, karena Spotify waktu itu populer dan Apple Music cukup mahal, plus kompatibilitas Spotify lebih baik.
Saya menggunakan akun Spotify Indonesia, yang mana biaya langganan per bulannya hanya Rp 79.000, bila dibandingkan dengan biaya langganan Spotify Jerman yang per bulan harus merogoh kocek 14,99€ (sekitar Rp 260.000) untuk layanan Spotify Premium Family.
Menjelang akhir tahun, perusahaan yang bermarkas di Stockholm, Swedia, ini merilis laporan penggunaan saya dengan tagar #2020wrapped, yang menurut saya beberapa hal terasa tidak pas, meski bisa dibilang sebagian besar cukup cocok.
Artis Baru dan Genre Teratas
Spotify menyatakan bahwa saya di sepanjang tahun 2020 ini telah mendengarkan musik dari 542 artis baru.
Namun tidak disebutkan siapa artis baru yang dimaksud oleh Spotify, sehingga saya sendiri bingung.
Saya memang sering menyerahkan urusan playlist ke Spotify dan tidak peduli siapa artisnya, selama lagunya enak didengar dan cocok, saya akan mendengarkannya.
Jika lagunya cocok dengan selera saya, saya akan memasukkannya ke playlist pribadi atau menyematkan tanda suka pada lagu tersebut.
Saya membiarkan algoritma Spotify untuk mencari lagu-lagu yang kira-kira sesuai dengan selera saya, yang mana secara tidak langsung akan menyusun genre teratas yang sering saya dengar.
Dari 5 genre, 3 di antaranya memiliki kemiripan, yaitu lagu-lagu berirama menghentak yang asyik untuk berjoget.
EDM, Tropical House, dan Dance Pop, menurut Spotify adalah genre yang paling sering saya dengar.
Saya sendiri tidak begitu paham apa beda dari ketiga aliran musik tersebut, tapi selama musiknya asyik buat goyang, saya senang.
Musik-musik berirama dance atau party memang saya sukai, karena di Eropa sini, saya bisa menangkap aura party-nya, apalagi Berlin adalah salah satu ibukota musik techno.
Saya punya cita-cita suatu saat bisa ikut dalam riuhnya panggung musik live bersama DJ-DJ internasional yang sering diadakan di Eropa.
Sementara dari kategori Pop, saya juga beberapa kali mendengar lagu Indonesia, sementara untuk Pop Jerman, ini agak dipertanyakan.
Saya memang beberapa kali mendengar lagu-lagu Jerman, namun sepertinya bukan lagu-lagu pop.
Entah dari mana Spotify bisa mendapatkan data lagu Pop Jerman tersebut.
Lagu Teratas
Daftar lagu teratas menurut Spotify menurut saya tidak tepat.
Entah dari mana Spotify bisa menentukan lagu Lathi, dari Weird Genius feat. Sara Fajira ini bisa nangkring di daftar 5 lagu teratas.
Saya memang beberapa kali mendengar lagu ini, tapi saya tidak sesering itu mendengarkan lagu yang sempat viral itu.
Sementara untuk 4 lagu lainnya, saya akui memang sering saya dengarkan, yang merupakan genre EDM atau house atau remix, sehingga tak heran jika genre teratas saya berisi lagu beraliran elektronik.
Nofin Asia ini menarik menurut saya, karena lagu-lagu yang dirilis oleh artis ini sering menghiasi TikTok.
Saya sendiri bukan pengguna TikTok, namun sering terpapar konten-konten TikTok baik dari Instagram atau Twitter.
Nofin Asia sendiri adalah seorang DJ asal Palembang yang musik racikannya sangat dikenal di Indonesia melalui YouTube, TikTok, dan juga Bigo.
Saya memang sangat menyukai lagu bernada funky kota dari Nofin Asia yang berjudul Melody Harmony yang merombak lagu Harmony dari grup musik Padi.
Sementara Dugem Nation sendiri, hingga kini saya tidak tahu siapa, meski lagu-lagunya juga banyak beredar di Youtube, TikTok, dan Bigo.
Saya suka dengan lagu Berhenti Berharap racikan Dugem Nation, yang merombak lagu sedih Berhenti Berharap milik Sheila on 7 dari album OST. 30 Hari Mencari Cinta menjadi asyik buat goyang.
Lagu lain yang sering saya dengar adalah lagu berjudul Fading dari Alle Farben dan Ilira dan Narcotic dari Younotus, Janieck, dan Senex, yang pertama kali saya dengar waktu menonton penampilan live mereka di panggung malam pergantian tahun baru 2020.
Kedua lagu ini tentu saja enak banget buat goyang.
Artis Teratas
Rupanya lagu-lagu yang sering saya dengarkan tidak tercermin langsung ke daftar artis teratas.
Nomor satu adalah Robin Schulz, seorang DJ dari kota Osnabrück di Jerman, yang kemudian mendunia sejak mengaransemen lagu Waves yang dinyanyikan oleh Mr. Probz.
Menurut Spotify, dari lagu-lagu Robin Schulz, saya paling sering memutar lagu berjudul Shed a Light, dengan total waktu mendengarkan selama 1.135 menit atau sekitar hampir 19 jam.
Di posisi kedua ada Darius & Finlay, duo DJ dari Austria, Christian Gmeiner dan Johann Gmachl.
Lagu favorit saya dari mereka adalah Tropicali, yang banyak sekali versi remix-nya.
Namun saya paling suka dengan Tropicali versi radio mix.
Posisi ketiga diisi oleh grup musik Jogja Hiphop Foundation dari Yogyakarta yang sering mengeluarkan lagu berbahasa Jawa.
Saya memiliki keterikatan tersendiri dengan Yogyakarta karena pernah kuliah dan tinggal di Yogyakarta selama tujuh tahun lebih sebelum pindah ke Jakarta.
Lagu mereka yang paling terkenal adalah Jogja Istimewa, namun saya paling suka dengan lagu berbahasa Jawa Ngelmu Pring (Ilmu Bambu) yang merupakan hasil musikalisasi puisi milik budayawan Sindhunata dari buku Air Kata Kata.
Di posisi keempat ada Rammstein, grup musik cadas asal Berlin, Jerman, yang telah bertahan sejak tahun 1994 hingga kini.
Grup musik yang digawangi oleh 6 orang ini tidak pernah sekalipun berganti formasi.
Saya juga baru mendengar soal grup musik ini setelah pindah ke Berlin, karena memang kelompok musik yang hampir seluruh lagunya berbahasa Jerman ini sepertinya tidak se-mainstream dan seterkenal grup musik dari Amerika Serikat.
Lagu Deutschland merupakan lagu favorit saya yang video klipnya dianggap cukup provokatif karena menampilkan simbol-simbol NAZI yang cukup sensitif.
Nofin Asia menduduki peringkat kelima karena saya juga suka mendengarkan beberapa lagu racikannya.
Podcast Teratas
Selain musik, beberapa bulan terakhir, terutama semenjak pandemi, saya juga mendengarkan podcast.
Dari Daeng Ipul saya tahu bahwa Bahasa Indonesia dari podcast adalah siniar.
Daftar podcast teratas yang dirilis Spotify ini menurut saya tidak cocok, karena beberapa podcast yang ditampilkan hanya saya dengarkan beberapa kali, dan beberapa podcast yang sering saya dengar malah tidak muncul.
Urutan nomor 1 hingga 3 memang cukup sering saya dengar, namun sisanya saya hanya mendengar satu dua kali saja.
Podcast Lingkar Luar milik mas Iwan Hikmawan atau yang dikenal dengan nama Sketsagram ini membincangkan isu-isu seputar masalah terkini dengan santai.
Selain itu, podcast ini juga beberapa kali mewawancara beberapa orang sesuai dengan bidang yang dikuasainya.
Kartini Teknologi merupakan podcast yang menampilkan perempuan-perempuan Indonesia yang berkecimpung di bidang teknologi.
Saya senang sekali ketika mengetahui banyak perempuan hebat yang bekerja di bidang yang selama ini diasumsikan sebagai bidangnya laki-laki.
Podcast ini diasuh oleh Rizki Kelimutu, yang bekerja di Mozilla, perusahaan di balik peramban Firefox dan aplikasi surel Thunderbird, dan penulis buku Krisis Hidup Seperempat Abad.
Ujung ke Ujung adalah podcast bertema teknologi lain yang saya suka dengarkan, karena membicarakan hal-hal seputar teknologi dengan santai.
Podcast ini diasuh oleh Asep Bagja, seorang pengusaha digital yang tinggal di Bali namun punya usaha di Estonia, dan Radita Liem, mahasiswi S3 bidang Komputasi Performa Tinggi di Aachen, Jerman.
Saya pernah diwawancara di podcast ini tentang pengalaman saya saat mengalami gegar budaya saat bekerja di Berlin.
Sementara podcast nomor 4 Podkesmas dan nomor 5 BBC Indonesia, saya hanya mendengar satu dua kali saja.
Saya tidak tahu bagaimana Spotify bisa menganggap kedua podcast ini menjadi podcast teratas saya, padahal saya lebih sering mendengar podcast Suarane dan Ceritanya Developer Podcast.
Saya suka dengan Suarane, podcast yang diasuh oleh Om Rane Hafied, blogger lama yang kini sepertinya sudah beralih menjadi seorang podcaster.
Mendengar podcast dari Oom Rane yang membahas seputar podcasting membuat saya ingin membuat podcast juga.
Sementara Ceritanya Developer Podcast asuhan Riza Fahmi membahas tentang kisah-kisah pengembang aplikasi, mulai dari kisah mereka berkenalan dengan komputer hingga seputar pekerjaan mereka saat ini, yang bisa dipetik beberapa pelajarannya.
#2020wrapped
Saya sendiri penasaran dengan laporan statistik lainnya di Spotify, misalnya berapa rata-rata saya mendengarkan Spotify, berapa total waktu yang saya habiskan untuk mendengarkan musik atau podcast, serta piranti apa yang sering saya gunakan untuk mendengar Spotify.
Laporan dari Spotify ini juga saya rasa kurang akurat, terbukti dengan beberapa hasil yang meleset.
Misalnya dalam laporan Spotify tersebut, lagu nostalgia saya adalah Tom’s Diner – 7″ Version oleh DNA yang menurut Spotify adalah lagu teratas dari tahun 2000-an.
Saya sendiri tidak pernah mendengarkan lagu ini, dan baru tahu ada lagu tersebut.
Sebagai software engineer, saya cukup mengerti dengan problematika yang kemungkinan dihadapi oleh Spotify.
Mengolah data sedemikian besar memang kadang meleset dan tidak selalu benar.
Ada ambang ralat yang kemungkinan bisa terjadi dan hasilnya meleset.
Saya sendiri menganggap kesalahan laporan Spotify ini bukan hal fatal dan sesuatu yang tidak harus dipercaya seratus persen.
Semoga di tahun depan, laporan Spotify bisa lebih baik dan akurat lagi, karena informasi ini cukup menarik untuk saya ketahui.
Wah, genre lagu favorit Kak Zam tidak terduga sekali ternyata EDM 🤭 Kakak suka yang jedam-jedum ternyata wkwkwk
Kita berbanding terbalik sekali sebab aku lebih suka jazz yang menenangkan.
Seru sekali membaca 2020 spotify wrappednya Kak Zam! Judul-judul siniar yang Kakak sering dengar, aku malah baru tahu 😂 dapat banyak insight baru nih dari Kakak hahaha. Thank you so much for sharing, Kak Zam 😁