Cerita Koran di Berlin

11 minutes 69 5

Akhir-akhir ini media cetak makin lama makin sedikit jumlahnya, bahkan beberapa nama besar ikut gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan media digital yang makin menggurita.

sebuah iklan dari koran bertahun 1948

Informasi yang disampaikan di media cetak bisa dibilang kalah jika dibandingkan dengan hal yang sama yang bisa dibaca dari layar-layar ponsel atau komputer.

Jika dulu orang harus membeli koran untuk mendapatkan informasi, orang-orang kini bisa mendapatkan informasi secara “gratis”

Padahal jika dikulik, pembaca media digital ini tetap membayar ongkos, yng berupa paket data.

Tentu saja ini membuat pengusaha media cetak kewalahan dan harus memutar otak untuk bertahan.

Salah satu caranya adalah membuka langganan koran digital, di mana koran datang tidak dalam bentuk kertas, tapi digital.

Menjual slot iklan di halaman koran atau majalah pun, kini tergantikan dengan slot iklan di media digital, baik berupa banner atau iklan baris.

Iklan di media digital ini tentu selain “efektif”, terutama yang berwujud targeted ads, si pengiklan bisa mengetahui jangkauan iklannya dari analitik.

Walau kadang, penempatan iklan itu sendiri seringkali sangat mengganggu pengguna karena memenuhi layar atau menggelegar suaranya jika iklan berwujud video.

Sementara jika memasang iklan di media cetak, si pengiklan hanya mengacu pada perkiraan omset penjualan.

Saat masih tinggal di Jakarta dulu, rasanya saya sudah tidak pernah lagi melihat ada penjual koran selain di toko buku, itu pun sepertinya lokasi si koran berada di pojokan yang orang sepertinya jarang datang.

Meski beberapa kali, Paman Tyo menemukan lapak koran di halte Transjakarta, rak koran yang menganggur di lobi hotel, bahkan gerobak keliling penjaja koran.

Koran di Berlin

koran dipajang di depan spätie

Begitu juga di Jerman, meski penurunannya tidak semasif dan secepat di Indonesia.

Menurut Badan Kementerian Ekonomi, Energi, dan Badan Usaha (Senate Department for Economics, Energy, and Public Enterprises), pasar media cetak di Jerman adalah pasar terbesar di Eropa dan menduduki peringkat ke lima di dunia setelah India, Cina, Jepang, dan Amerika Serikat.

Hingga 2016, tercatat ada 344 koran terbit di Jerman, yang bila koran lokal atau dari peneribit independen dihitung, jumlahnya mencapai 1.528.

Koran masih dianggap sebagai sumber informasi terpercaya setelah media penyiaran radio dan televisi.

Penetrasi media digital rupanya dianggap sebagai tantangan sekaligus peluang bagi pengusaha media di Jerman.

Saya sering melihat orang-orang, terutama orang-orang tua yang masih membaca koran di dalam kereta S-bahn atau U-bahn.

Cukup masuk akal karena menurut data piramida penduduk dari Badan Statistik Federal Jerman, populasi di Jerman memang mayoritas orang-orang tua berusia 50 tahun ke atas.

Apalagi koran-koran ini banyak bertema sosial dan politik, yang mana sangat dekat dengan keseharian orang-orang tua yang terbiasa dengan koran kertas.

Namun beberapa kali juga saya melihat anak muda, namun bukan remaja, membeli dan membaca koran.

Koran Tunawisma

koran yang dibeli dari tunawisma

Di Berlin sendiri, ada beberapa koran ternama yang cukup berpengaruh tidak hanya di Berlin tapi juga di Jerman, seperti Berliner Morgenpost, Berliner Zeitung, dan Der Tagesspiegel.

Koran-koran ini dipajang dan bisa dibeli di beberapa kios kecil (spätie), bahkan di kedai di dalam stasiun kadang terlihat rak penjualan koran.

Saya sendiri tidak tahu berapa harga koran tersebut, karena tidak berminat untuk membeli, karena toh tidak akan saya baca.

Namun kadang saya membeli koran yang dijual oleh tunawisma yang menjajakan koran atau tabloid bikinan organisasi sosial, yang uang hasil penjualannya diberikan kepada si gelandangan tersebut.

Tunawisma ini biasanya menjual koran di dalam kereta S-bahn atau U-bahn, yang mana sebenarnya para gelandangan ini tetap mendapat bantuan finansial dari pemerintah, namun ingin mendapat uang lebih karena biaya tersebut sangat mepet.

isi koran yang dijual oleh tunawisma

Di Berlin, menurut hasil sensus pada Januari 2020, ada sekitar 2.000 tunawisma yang harus bertahan hidup, salah satunya dengan berjualan koran.

Koran yang dijual juga berbagai judul, salah satu yang sering saya lihat adalah koran Motz, yang merupakan terbitan dari organisasi sosial nirlaba yang dananya didapat dari donasi.

Harga selembar koran ini, yang lebih cocok dibilang semacam zine namun kualitas cetaknya seperti koran, dijual seharga 1,50€.

Isi dari koran yang dijual oleh tunawisma tersebut rupanya juga sangat bagus, bahkan menyediakan informasi dalam dua bahasa, Bahasa Jerman dan Bahasa Inggris.

Seperti halnya koran pada umumnya, isi dari koran ini juga ada iklan, informasinya terkini, juga teka-teki silang, serta menerima tulisan dari kontributor.

Biasanya orang membeli koran ini tidak untuk dibaca, namun hanya memberi sedekah kepada si tunawisma.

Koran Iklan

kotak pos dijejali koran Berliner Woche

Setiap Rabu, kotak surat saya dipastikan penuh karena dijejali koran iklan Berliner Woche yang informasinya ternyata cukup menarik.

Koran ini dibiayai dari iklan yang dipasang, atau selebaran iklan yang disisipkan di dalamnya, umumnya berasal dari toko-toko besar di Berlin.

Area sebarannya pun menarik, di mana isinya disesuaikan dengan area sebarannya, yaitu di 12 bezirk (semacam kecamatan) dan 32 stadtteil (semacam kelurahan).

Karena saya tinggal di bezirk Mitte yang berada di jantung Berlin, isinya berita dan informasi sekitar Tiergarten, Moabit, Wedding, Hansaviertel, dan Gesundbrunnen plus beberapa informasi Berlin.

Koran Berliner Woche ini diterbitkan oleh Berliner Wochenblatt Verlag GmbH, sebuah anak perusahaan dari Funke Mediengruppe, perusahaan media milik keluarga Funke yang terbesar ketiga di Jerman.

koran lokal Berliner Woche

Secara fisik, ukuran Berliner Woche ini cukup mungil, hampir seukuran A3, tepatnya 29 cm × 40 cm, sedikit lebih besar dari ukuran Koran Tempo, dengan tebal total 16 halaman.

Pembagian rubrik di koran ini juga menarik, di halaman utama biasanya berisi informasi terkini baik dari Jerman dan Berlin pada umumnya, atau informasi penting dari bezirk atau kecamatan Mitte.

Baru lah di bagian dalam, beberapa informasi terkait stadtteil atau kelurahan tertulis.

Saya sendiri cukup takjub dengan wartawan atau kontributor koran atau majalah ini, karena ada saja informasi menarik yang bisa saya dapatkan.

Ah, saya jadi ingat dulu masih jadi mahasiswa ikutan pers kampus, Bulaksumur Pos, meski saat itu ngurusi server-nya daripada isinya.

Menariknya, di halaman tengah, selain berisi selebaran iklan dan promosi, koran ini memiliki rubrik karikatur, zodiak, dan teka-teki.

halaman teka-teki silang super besar di Berliner Woche

Teka-teki di koran ini ada tiga, yaitu sudoku, teka-teki silang mini, dan teka-teki silang super besar yang memenuhi halaman.

Uniknya, kolom teka-teki silang yang ada tidak seperti teka-teki silang yang biasa kita lihat.

Teka-teki silang ini pertanyaannya dijejalkan ke dalam salah satu kotak, dan ada anak panah yang menunjukkan arah pengisian jawaban.

Jika tidak bisa menjawab, jangan khawatir karena kunci jawaban juga tersedia dengan posisi tulisan terbalik atas-bawah.

Untuk zodiak juga menarik, karena rupanya orang Jerman juga percaya dengan hal-hal semacam ramalan nasib seperti yang tertulis di halaman zodiak tersebut.

Selebaran iklan yang disisipkan ini seringkali lebih tebal dan lebih berat daripada si koran itu sendiri.

iklan yang disisipkan ke dalam koran Berliner Woche

Bahan kertasnya juga seringkali lebih bagus dan lebih baik dari bahan kertas si koran.

Namanya juga koran iklan, isi sebenarnya adalah iklan yang dibungkus dengan informasi, mirip lah dengan salah satu media online di Indonesia.

Karena bahan kertasnya ini kurang bagus digunakan untuk bahan pembersih, biasanya kertas-kertas selebaran ini berakhir di tempat sampah khusus kertas, sementara kertas koran kami manfaatkan untuk bersih-bersih.

Jika dihitung pun, isi dari koran ini juga sekitar 40% berisi iklan baik iklan bergambar maupun iklan baris.

Di antara iklan-iklan tersebut, ada beberapa yang berisi voucher atau kupon potongan harga, di mana kupon tersebut harus digunting dan dibawa ke toko untuk mendapat potongan harga.

Saya tidak tahu ada berapa orang yang menggunting kupon tersebut dan membawanya ke toko, namun jika melihat dari jumlah kupon yang ditawarkan, sepertinya cara promosi ini masih efektif.

5 responses
  1. Gravatar of Antyo®
    Antyo®

    Wow! Komplet nian tulisan ini. Mari baca koran dan isi TTS 👍😇🐔

  2. Gravatar of Zizy Damanik
    Zizy Damanik

    Saya pribadi suka baca koran, karena memang secara isi koran lebih dipercaya dibandingkan digital yang bisa diedit kapan saja. Koran atau majalah biasanya melalui proses editing dan proofreading yang ketat (meskipun sekadar koran gosip) dan sensasi membalik2 halaman untuk membaca sambungannya itu seru. Belum lagi iklan duka cita, tts, lalu dulu ada biro jodoh kan…

  3. Gravatar of Lia The Dreamer
    Lia The Dreamer

    Aku jadi ingat waktu kecil saat ada tugas makalah, koran adalah satu-satunya sumber berita. Jadi banyak sekali koran yang harus diubek-ubek untuk menemukan bahan untuk makalah. Kalau sekarang, tinggal search dan copas aja di Google hahaha.

    Papaku di rumah masih langganan koran dan aku juga masih sering baca koran walaupun biasanya isinya udah ketinggalan cerita karena sekarang udah ada internet, tapi aku masih suka lihat-lihat dan membaca isi koran. Sensasi berbeda saat membaca fisik dengan digital.

  4. Gravatar of fanny_dcatqueen
    fanny_dcatqueen

    Aku beneran ga inget kapan trakhir pegang koran :p. Sejak semuanya tergantikan Ama digital. Di jalan2 rayapun aku udah jarang mas liat penjual koran . LBH banyk yg jualan rokok dan air mineral drpd koran. Eh pernah liat di halte busway sih. Masih ada tuh, walopun sedihnya aku jarang liat ada yg beli… 🙁

    Sedih sih sbnrnya… Orang2 di sini udah ga membaca koran lagi rata2. Even di kantor2 kayak bank, biasanya di lounge utk nasabah prioritas msh ada tuh koran. Duluuu ya. Aku msh ngalamin pas kerja di bank. Tp sejak tahun brp , lupa pastinya, bank ga prnh nyediain koran lagi Krn memang ga dibaca.

  5. Gravatar of morishige
    morishige

    Cah Bulaksumur 😀

    Waktu kuliah dulu masih baca koran sesekali, kalau lewat prapatan dan ada yang jualan. Sekarang paling cuma kadang-kadang beli Majalah Tempo kalau lagi ada tema yang menarik.

    Cuma, saya yang agak bingung itu sebenernya sama koran cetak yang mengedarkan versi digital dari edisi cetaknya itu, Kang. Repot banget kayaknya mesti zoom in zoom out. 😀