“Aku sudah pesan tempat untuk berbuka hari Sabtu besok”, pesan istri saya saat saya pulang dari kantor di hari Jumat.
“Emang mau ke mana, sih?”, tanya saya penasaran. “Ntar juga tahu”, timpalnya tanpa memberi jawaban.
Esoknya, Sabtu, 18 Mei 2019, sekitar pukul 19:00, kami bersiap berangkat. “Kita akan ke Tuk-Tuk, ya?”, tanya saya mencoba menebak. “Kok tau?”, istri saya penasaran dari mana saya bisa mendapat jawabannya. Saya cuma tertawa-tawa.
Rencananya kami akan berangkat ke Tuk-Tuk, Indonesian Restaurant, di kawasan Schöneberg, tepatnya di Großgörschenstrasse 2, 10827 Berlin, menggunakan bus bernomor 106 dari halte dekat rumah.
Namun, karena jadwal bus 106 yang hanya beroperasi setiap 20 menit sekali, kami memutuskan naik U-bahn U9 ke arah Rathaus Steglitz, dan berganti U7 di Berliner Straße kemudian turun di stasiun Kleistpark.
Begitu masuk ke restoran yang bisa menampung 70 orang dengan 35 meja, kami disambut oleh seorang pelayan pria berwajah Asia.
“Sprechen Sie Indonesische?”, tanya kami memastikan apakah pelayan tersebut bisa berbahasa Indonesia, dan benar, rupanya pelayan tersebut orang Indonesia.
Setelah menyebutkan nama reservasi, kami dipandu masuk ke dalam ruangan yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu dengan lukisan khas Ubud, Bali.
“Untuk berbuka puasa?”, tanya pelayan tersebut sembari menyerahkan buku menu bersampul kulit yang terasa sangat mewah dan menyalakan lilin yang ada di meja.
Tak lama, pelayan tersebut datang membawa dua butir kurma dan meletakkannya di meja kami untuk cemilan berbuka.
Setelah sempat bingung menentukan pilihan saat membaca menu, kami memutuskan memesan gado-gado, martabak, dan nasi tumpeng.
Seorang pelayan perempuan Jerman mencatat pesanan kami dan bisa berbicara dengan Bahasa Indonesia dengan cukup lancar.
Sembari menunggu waktu buka, jam 21:02, saya menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Di dalam ruangan ini, terlihat beberapa orang bule tengah asyik makan.
Yang menarik, lilin-lilin di atas meja hanya dinyalakan jika meja tersebut digunakan oleh tamu.
Lagu Sunda mengalun di penjuru ruangan. Taplak-taplak meja batik menutupi meja kayu. Di sudut ruangan terdapat hiasan gong kecil lengkap dengan patung kayu berbentuk bebek dan buah durian.
Nama Tuk-Tuk diambil dari nama sebuah desa di Pulau Samosir, Sumatera Utara, oleh pemilik pertamanya, Jan Lennard, seorang Jerman, yang membuka warung ini di tahun 1984.
Hingga kini, kepemilikan restoran ini telah berpindah ke tangan ketiga, yaitu Ronald Christian Adelius, seorang pengusaha lulusan TU Berlin, pada 2012, dari pemilik sebelumnya Suwido Sarjono.
Tuk-Tuk Indonesian Restaurant hanya menyediakan menu makan malam dan hanya buka di sore hari pada pukul 17:00 dan tutup pada pukul 22:00, dan khusus di hari Jumat dan Sabtu tutup pada pukul 23:00.
Pada masa kepemilikan Ronald yang seorang muslim, menu restoran Tuk-Tuk berubah dengan menghilangkan menu berbahan babi.
Meski warungnya sempat ditinggalkan pelanggan orang Jerman karena meniadakan menu babi, restoran ini tetap ramai dikunjungi warga terutama dari kawasan Asia dan Timur Tengah.
Akhirnya hidangan yang kami tunggu datang, di mana setiap pesanan baru dimasak ketika ada pesanan, sehingga masakan selalu fresh.
Saya bahkan melihat uap panas mengepul dari martabak dan gado-gado yang keluar pertama, sementara nasi tumpengnya menyusul.
Gado-gado di warung ini porsinya lebih sedikit, karena di dalam menu termasuk dalam hidangan pembuka.
Isi gado-gadonya antara lain tahu, tempe, sayuran kukus, dengan bumbu kacang dan kedelai, dan bertabur kerupuk udang.
Tersedia pula gado-gado versi vegetarian di mana gado-gado versi ini tidak menyediakan telur dan kerupuk udang diganti dengan kerupuk melinjo.
Martabaknya berisi 4 potong martabak telor, disajikan dengan salat sayur dan saus tomat. Martabaknya memiliki sedikit rasa kari di dalam bumbunya.
Teh jawa yang kami pesan disajikan dalam kemasan teko keramik, yang kemudian dituang ke dalam cangkir kecil. Penyajiannya seperti pada penyajian teh ala Inggris.
Nasi tumpengnya terdiri dari nasi kuning, dengan lauk berupa sate ayam (enak sekali), ikan sambal matah, rendang, lodeh, bebek goreng, dan kerupuk udang.
Untuk rasa, saya menyukai gado-gadonya, sementara untuk nasi tumpengnya, menurut saya rasanya agak kurang cocok.
Mungkin karena saya terbiasa dengan nasi tumpeng ala Jawa, sehingga menurut saya sajiannya agak berbeda.
Harga makanannya termasuk cukup mahal, karena kelasnya adalah kelas restauran dan lokasinya sangat strategis dan dekat dengan stasiun U-bahn dan halte bus.
Pelayannya sangat ramah dan bersedia menjelaskan menu-menu kepada tamu yang bingung menentukan pilihan, terutama jika tamu tersebut bule.
Suasana dan dekorasi restorannya bisa membuat kami seolah-olah sedang berada di Indonesia.
Saya sih penasaran dengan rawon, nasi sajen, dan menu Reistafel alias menu ala restoran padang di mana seluruh menu dikeluarkan dan diletakkan dalam piring-piring kecil.
Wah dekorasinya kental sekali ya dengan Indonesia.