Saat itu kami tidak punya rencana untuk datang ke tempat ini, namun nasib berkata lain.
Bermula dari ajakan Thomas untuk sarapan brongkos di Warung Handayani yang berada di Alun-Alun Selatan, Yogyakarta, akhirnya kami harus mengubah tujuan karena saat kami datang, Warung Handayani tutup.
Kami memutuskan untuk sarapan tongseng dan sate kambing di Warung Pak Meyet, yang berada di Jalan Bakulan Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Buat sebagian orang, mungkin sarapan tongseng dan sate kambing bukan lah pilihan, namun jika ingin makan di warung ini harus diniatkan untuk sarapan, karena Warung Pak Meyet hanya buka di pagi hari hingga menjelang siang.
Meski Warung Pak Meyet memang tidak seterkenal warung sate kambing lainnya, terutama khas Bantul dengan sate klathaknya, warung ini memiliki penggemar fanatiknya sendiri.
Sate kambing dan tongseng merupakan menu andalan yang menjadi semacam permata tersembunyi di kancah kuliner Yogyakarta.
Konsumen Warung Pak Meyet bahkan sebagian besar bapak-bapak dan ibu-ibu yang usianya tidak lagi muda, yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, untuk mengisi tenaga bekerja di sawah.
Jangan membayangkan warung fancy dengan tempat yang luas dan instagrammable.
Warung Pak Meyet bisa dibilang kecil, hanya sebuah bangunan permanen berukuran tak lebih dari 5 × 10 meter yang berada di pinggir sawah namun tetap terlihat dari jalan raya.
Jika tidak kebagian tempat di dalam, atau ingin menikmati suasana persawahan, pengunjung bisa duduk sambil makan di gazebo yang berada di luar, sambil bersila.
Warung Pak Meyet buka mulai pukul 06:00 WIB dan biasanya menjelang siang, dalam waktu kurang lebih 3 jam, dagangannya sudah ludes disantap pembeli.
Pak Meyet awalnya bekerja membantu sang ayah meracik sate, hingga kemudian ia menemukan resepnya sendiri.
Tahun 1982 Pak Meyet memutuskan membuka warung sate sendiri, yang buka di pagi hari karena kondisi kesehatannya yang lelah jika berjualan di malam hari.
Rata-rata 4-6 ekor kambing berusia kurang dari 1 tahun yang didatangkan khusus dari Pacitan, dipotong sendiri setiap hari untuk menghasilkan daging yang empuk dan juicy.
Demi menjaga kualitas, arang yang digunakan untuk memasak juga ia buat sendiri agar tahan memasak selama 3 jam nonstop.
Tiga orang anaknya membantu Pak Meyet membakar sate dan memasak tongseng, sedangkan istrinya meracik gule.
Kami masih beruntung saat kami datang sekitar pukul 09:45 WIB, hidangan sate dan tongseng yang kami pesan merupakan hidangan porsi terakhir.
Pesanan berupa seporsi tongseng daging, tiga porsi tongseng kepala, dan tiga porsi sate kambing merupakan porsi terakhir yang tersedia untuk kami berlima sebelum Pak Meyet menutup warungnya.
Rombongan pesepeda yang datang beberapa menit setelah kami terpaksa harus gigit jari setelah menempuh jarak 70 KM, namun gagal menikmati lezatnya tongseng dan sate kambing di pagi hari.
Menu istimewa Warung Pak Meyet adalah sate kambingnya, di mana sebelum dibakar, daging kambing dicelup dalam kuah gule, kemudian setelah matang, daging dilolosi dari tusuknya, kemudian disiram dengan sambal kecap yang dicampur dengan kacang yang ditumbuk halus.
Tak lupa potongan tomat merah dibumbui serbuk merica mampu mengundang air liur mengalir bahkan sebelum lidah menyentuh.
Bumbu tongsengnya terasa manis pedas, di mana paduan kuah gule bercampur dengan kecap yang dimasak menggunakan panas api konstan dari arang, meresap ke dalam daging.
Saya pribadi lebih menyukai sate kambingnya, karena menurut saya bumbunya yang unik, berpadu dengan daging empuk namun terasa juicy, tidak dapat ditemukan di tempat lain.
Kami harus menyediakan kesabaran lebih, karena memasak tongseng dan sate kambing membutuhkan waktu yang cukup lama, namun akan terbayar dengan kelezatannya.
Harganya sangat murah, rata-rata per orang harus merogoh Rp 23.000 yang sudah terdiri dari nasi, sate kambing atau tongseng, dan segelas teh manis.
Setelah kenyang dan merasa bodoh, dari Warung Pak Meyet, kami memutuskan minum es kelapa sambil menikmati debur ombak di Pantai Baru.
sering sering makan sate kambing mas, biar tubuh sehat kuat, hehe