Bandung memang tidak habis-habisnya untuk dinikmati. Berbagai destinasi wisata, mulai dari kuliner, belanja, alam, hingga sejarah, rasanya Bandung selalu bisa jadi pilihan untuk wisata mudah dan meriah.
Posisi Bandung yang relatif dekat dengan Jakarta, sekitar 3 jam perjalanan darat, menjadi pilihan saya dan istri untuk rehat sejenak dari rutinitas. Tak hanya lewat darat, Bandung bisa dicapai lewat udara, apalagi Bandara Husein Sastranegara sedang berbenah. Tinggal buka Wego lalu pilih-pilih tiket dan berangkat.
Kami sampai di Bandung masih pagi. Jalanan Bandung masih relatif lancar, meski di beberapa tempat lalu lintas tersendat. Dengan menggunakan sepeda motor sewaan, kami memulai perjalanan kami.
Warkop Modjok
Tujuan pertama kami adalah Warkop Modjok, warung kopi yang sedang naik daun. Warung yang mulai dibuka pada Desember 2015 ini terdiri dari sebuah bangunan berbahan kayu ala rumah di pinggir pantai lengkap dengan halaman penuh bunga.
Penggila foto dan penggemar gambar tentu akan suka dan tak habis-habis mengabadikan setiap sudut warung yang terletak di Jalan Pinus Raya, Sukasari, di dalam kompleks perumahan Pondok Hijau Indah.
Kami sampai saat warung baru saja buka, sekitar pukul 10:30 pagi. Suasana masih sepi sehingga kami bisa leluasa foto-foto dan memesan makanan. Secangkir kopi almon, sepiring tahu peletok alias tahu berisi aci yang digoreng, menemani kami yang duduk di taman.
Istri kemudian mengeluarkan perangkat menggambarnya dan mulai sibuk menyapukan kuas cat airnya mengabadikan suasana warung. Saya yang sejak pagi belum sarapan segera menyantap nasi bistik yang enak sekali.
Tiba-tiba saya melihat ada gumpalan berwarna coklat yang bergerak-gerak. Rupanya seekor kelinci piaraan warung berkeliaran bebas tengah asyik makan rerumputan dan bunga-bunga. Saat saya mendekat, si kelinci gemuk tersebut nampak malu-malu dan buru-buru lari menjauh.
Tengah hari, warung makin ramai. Setelah istri selesai menggambar dan kami kenyang, kami segera beranjak dari Warung Modjok dan kembali ke kota menuju ke Museum Geologi.
Museum Geologi
Kami menyukai museum, tentu saja Museum Geologi menjadi salah satu tempat yang masuk ke daftar kunjungan wajib kami.
Sejak zaman Hindia Belanda, bangunan museum ini memang sudah ditujukan untuk penelitian mineral, mengingat posisi Indonesia yang sangat strategis, terutama dari sisi geologi dan geografi.
Pada era revolusi industri, Eropa membutuhkan bahan baku mineral yang melimpah untuk mendukung era tersebut.
Melihat peluang tersebut, pada tahun 1850, pemerintah Hindia Belanda membentuk Dienst van het Mijnwezen alias Departemen Pertambangan.
Kemudian pada tahun 1922, lembaga ini berganti nama jadi Dienst van den Mijnbouw yang bertugas melakukan penyelidikan geologi serta sumber daya mineral di seluruh wilayah Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan lembaga ini kepada Jepang, dan berganti nama menjadi Kogyo Zimusho yang setahun kemudian berganti nama menjadi Chishitsu Chosacho.
Ketika tentara sekutu NICA datang yang diboncengi tentara Belanda, pemerintah Indonesia yang tak ingin hasil penelitian geologi yang penting direbut oleh Belanda, beberapa kali memindahkan lokasi museum. Tidak hanya di Bandung, museum ini sempat berpindah ke kota-kota lain, yang kemudian pada tahun 1950 museum kembali ke Bandung.
Museum Geologi yang terletak di Jalan Diponegoro, tak jauh dari Gedung Sate ini mendapat bantuan dana renovasi dari JICA (Japan international Cooperation Agency) sebesar 754,5 juta Yen. Tahun 2000, Museum Geologi kembali dibukan dan diresmikan oleh Presiden Megawati, dan menjadi lebih nyaman dan menjadi museum yang wajib dikunjungi.
Ada 3 bagian di Museum Geologi. Di lantai satu, terdapat ruang Sejarah Kehidupan yang menyimpan berbagai koleksi fosil, ruang Geologi Indonesia yang menyimpan koleksi bebatuan lengkap dengan alat peraga interaktif. Di lantai dua terdapat ruang Geologi dan Kehidupan Manusia.
Tiket masuk Museum Geologi pun terjangkau. Untuk pelajar cukup membayar Rp 2.000 dan masyarakat umum membayar Rp 3.000. Wisatawan asing dikenai harga tiket Rp 10.000.
Braga
Ke Bandung tak lengkap rasanya tak menuju kawasan Braga. Jalan yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda ini merupakan cikal bakal istilah “Paris van Java” yang melekat pada nama Bandung.
Jalan yang dulunya hanya jalan kecil, kemudian berkembang menjadi Pedatiweg di mana banyak dilewati pedati untuk mengangkut berbagai komoditi.
Ekonomi di sekitar Jalan Pedati ini pun berkembang, hingga berbagai toko, bar, dan tempat hiburan pun bermunculan.
Pada perioda 1920-1930, muncul butik-butik di sepanjang Jalan Braga yang berkonsep seperti di Paris. Keberadaan butik-butik ini lah yang akhirnya memunculkan istilah “Paris van Java“, alias Paris-nya Jawa.
Kawasan ini kini menjadi kawasan hiburan yang buka 24 jam. Berbagai hiburan mulai dari kuliner dan belanja bisa ditemukan di kawasan ini.
Toko Braga Permai
Kami singgah di toko Braga Permai, salah satu restoran tertua di Bandung. Pada zaman Hindia Belanda, restoran ini bernama Maison Bogerijen dan menjadi restoran paling elit di kota yang menyajikan kue-kue dan makanan dari penjuru dunia. Pada masa itu, menu yang tertera di restoran ini bahkan berbahasa Prancis, menegaskan kesan “Paris van Java“.
Para pelayan menggunakan seragam atas berwarna putih dengan bawahan berawarna hitam lengkap dengan celemek terikat di pinggang, menambah kesan jadul restoran ini.
Kami membeli coklat yang menjadi ciri khas restoran ini. Cokelat-cokelat dengan isian berbagai macam, dijual dengan model curah. Harga 1 ons cokelat saat kami datang Rp 48.500. Kami membeli beberapa jenis cokelat seberat 1 ons yang kemudian dikemas dalam sebuah kantong kertas.
Kami membeli coklat berbentuk daun, coklat berisi kacang mede, dan coklat berisi kulit jeruk yang dikeringkan. Sambil duduk-duduk di kursi taman yang tersedia di sepanjang Jalan Braga, kami ngemil cokelat kulit jeruk favorit kami sambil menikmati suasana Braga yang macet.
Kami jalan kaki berkeliling kawasan Braga menikmati suasana. Kami melewati Museum Konferensi Asia Afrika yang berada di Gedung Merdeka, tempat berlangsungnya KTT Asia Afrika pertama pada tahun 1955. Gedung yang dulu bernama Societeit Concordia yang menjadi balai pertemuan pada masa Hindia Belanda ini berganti nama menjadi Gedung Merdeka.
Warung Kopi Purnama
Dari kawasan Braga, kami mampir ke sebuah warung kopi tertua, yang berdiri sejak zaman Hindia Belanda, Warung Kopi Purnama, di Jalan Alkateri.
Kawasan yang dulunya dimiliki saudagar Arab bernama Al-Kateri ini kemudian berkembang menjadi kawasan pecinan.
Di antara penjual kain dan gorden, terseruak sebuah kedai kopi kecil yang masih mempertahankan bentuk bangunan aslinya. Sebuah papan nama kecil menyembul menjadi satu-satunya identitas warung ini.
Begitu masuk, suasana jadul langsung terasa dari bentuk-bentuk kursi dan mejanya. Sebuah tanda wifi besar terpampang di antara foto-foto Bandung lama, menandakan bahwa kami berada di masa kini.
Kami memesan kopi susu, kopi yang menjadi andalan warung yang didirikan oleh Young A Thong, seorang pemuda dari Medan yang mengadu nasib di Bandung pada tahun 1930.
Warung yang berkonsep “kopi tiam” ini awalnya bernama Chang Cho Se yang berarti “silakan mencoba”. Kemudian Chang Sho Se beralih nama menjadi “Purnama” pada tahun 1966, saat pemerintah orde baru risih dengan nama-nama berbau Tionghoa.
Kini warung kopi ini dikelola oleh generasi penerusnya yang keempat, dan masih tetap bertahan karena mempertahankan resep asli secara turun temurun. Salah satu kudapan khas yang patut dicoba adalah roti bakar beroles selai sarikaya yang bergaya ala Medan mengikuti daerah asalnya.
Hidangan lain yang patut dicoba adalah telor ayam kampung setengah matang yang dimakan dengan taburan merica dan garam. Jika ingin minuman segar, Es lemon dengan buah plum yang dikeringkan patut dipesan.
Iga Bakar Si Jangkung
Lelah berkeliling Bandung, kami menutup perjalanan kami dengan menuju ke Jalan Cipaganti, menuju ke sebuah warung yang sudah cukup lama terkenal akan menu iganya, Iga Bakar Si Jangkung.
Warung yang terletak di samping Masjid Cipaganti ini menawarkan dua pilihan daging yang bisa dicoba, yaitu daging kambing atau daging sapi, dengan model penyajian ala hot plate dan disajikan tanpa tulang.
Bumbu kecapnya yang meletup-letup saat berada di piring tanah liat panas, menambah selera makan apalagi cuaca dingin Bandung yang menusuk tulang. Belum lagi bau bumbu kecapnya seakan menghipnotis untuk mengajak menyantap dengan sadis.
Potongan daging tanpa tulangnya besar besar dan banyak. Dagingnya empuk dan minim lemak. Ditemani nasi hangat, irisan tomat, irisan cabe merah, dan acar timun, iga bakar ini cocok sebagai menu santap malam.
Nama “Si Jangkung” tentu mudah sekali ditebak, yaitu diambil dari nama si pemilik, Mas Jangkung.
Perut kenyang, saatnya kami pulang ke Jakarta yang rasanya cukup berat. Ah, andai saja kami bisa lebih lama, kami akan segera memesan hotel di Bandung melalui Wego dengan mudah dan cepat.
Sesungguhnya gue sangat tertarik ke tempat cokelat itu. Masa gue anak Cimahi seumur hidup belum pernah ke sana coba??? COBAA??/ #koksewotsendiri