Akhir-akhir ini, traveling menjadi tren gaya hidup. Apalagi dengan dukungan teknologi dan informasi, berwisata, jalan-jalan, traveling, plesir, menjadi jauh lebih mudah.
Berbagai blog dan akun Twitter yang fokus ke dunia traveling pun bermunculan. Berbagai kampanye dan gerakan untuk berwisata ke berbagai tempat di Indonesia, terutama Indonesia Timur ikut memeriahkan.
Tentu saja ini merupakan fenomena yang bisa dibilang positif. Dengan traveling, kita bisa mengeksplorasi tempat baru, mencoba hal-hal baru, sehingga bisa mengapresiasi mahakarya Indonesia berupa bentang alam, seni budaya, hingga sejarah.
Ngomong-omong soal sejarah, dulu para penjelajah dari Eropa memulai ekspedisi, perjalanan menemukan dunia baru, karena didorong rasa ingin tahu di mana lokasi rempah-rempah.
Kini, rasanya tidak berlebihan pula jika wisata, perjalanan, traveling, digunakan untuk mengembalikan kejayaan gemah rempah Indonesia, atau minimal untuk mengapresiasi mahakarya Indonesia berupa rempah-rempah ini.
Jika kita bertanya pada generasi muda sekarang, apa itu rempah-rempah, jawabannya mungkin tak lebih dari bumbu dapur. Padahal dulu rempah-rempah yang hanya tumbuh di Maluku dan Kepulauan Banda merupakan benda paling mahal dan paling dicari di Eropa.
Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya rempah-rempah bukanlah hal mudah. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan membungkusnya dengan hal-hal yang sedang hip, sedang ngetren, sehingga pesan yang ingin disampaikan bisa mudah ditangkap. Cara itu adalah dengan wisata.
Bercerita sejarah juga rasanya akan membosankan. Namun jika dikemas dengan cara yang berbeda, dengan misal datang dan langsung melihat ke lokasi peninggalan sejarah, tentu akan lebih efektif dan menyenangkan.
Berbicara rempah tentu tak lepas dari Maluku, terutama Ternate dan Tidore di Maluku Utara, dan Kepulauan Banda. Tak hanya hasil rempah, bila sektor wisata dikelola dengan baik, bisa membawa nama Maluku dan Indonesia kembali harum seperti harum cengkeh yang membuat Eropa gila.
Wisata Jalur Rempah
Presiden Joko Widodo yang baru saja dilantik beberapa waktu lalu mempunyai visi yang keren. Beliau ingin membangun poros maritim melalui jalur tol laut yang disebut dengan Pendulum Nusantara. Pendulum Nusantara merupakan jalur laut yang menghubungkan Aceh hingga Papua, yang bertujuan untuk meratakan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
Ide poros maritim ini tentu sangat sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan. Sejak dulu, jalur Pendulum Nusantara yang dirancang sebenarnya sudah digunakan untuk perdagangan rempah-rempah.
Tahun 1511, Alfonso d’Albuquerque asal Portugis behasil mengambil alih perdagangan rempah di Malaka, sebuah kesultanan yang berpusat di Semenanjung Malaya dengan daerah kekuasaannya juga meliputi sebagian Pantai Timur Sumatera.
Nama “Malaka” konon diambil dari kata “Maluku/Mollucas”, karena saat itu Malaka merupakan pusat perdagangan rempah-rempah dari Maluku, yang terbesar di Asia Tenggara.
Alfonso d’Albuqureque kemudian memerintahkan 3 kapal (salah satunya dipimpin oleh Fransisco Serrao) untuk melakukan pencarian daerah asal rempah menuju ke Timur. Melalui Laut Jawa, kapal-kapal utusan Portugis ini sampai di Kepulauan Banda.
Tahun 1512, Portugis melalui Fransisco Serrao menjalin kerja sama dengan Kesultanan Ternate. Sejak saat itu perdagangan dan produksi rempah-rempah dikuasai oleh Portugis.
Saya membayangkan ada semacam acara bertaraf internasional yang mengangkat kembali kisah kejayaan jalur rempah. Dengan acara semacam ini, kejayaan gemah rempah Indonesia bisa terdengar kembali hingga ke manca negara.
Jika sebelumnya ada acara tahunan Sail Raja Ampat 2014, Sail Komodo 2013, Sail Morotai 2012, Sail Wakatobi-Belitung 2011, Sail Banda 2010, dan Sail Bunaken 2009, maka bisa saja Kementerian Pariwisata mengadakan Sail Spices atau Sail Ternate-Tidore, untuk mengenang kembali kejayaan rempah-rempah.
Saya berkhayal, jalur tol laut Pendulum Nusantara selain dipenuhi kapal-kapal besar pengangkut barang, jalur ini juga akan dipenuhi oleh kapal-kapal penumpang. Bahkan bisa jadi kapal-kapal pesiar mewah terlihat hilir mudik memadati laut, seperti saat kapal-kapal Portugis dan Spanyol memenuhi jalur rempah.
Efeknya, tentu saja biaya berwisata ke Indonesia Timur yang selama ini menjadi momok karena mahal, bisa lebih murah. Ini akan berdampak pada kunjungan wisata yang meningkat, yang ujung-ujungnya bisa mensejahterakan masyarakat.
Ekowisata Rempah
Tren “kembali ke alam” atau ekowisata merupakan salah satu tren wisata yang sedang marak. Konsep ekowisata selain membawa dampak kesejahteraan juga membawa dampak positif untuk lingkungan.
Salah satu contoh ekowisata sederhana adalah konsep wisata menanam mangrove, tracking di kebun teh, atau wisata memetik strawberry di kebun. Konsep ini bisa diterapkan ke tanaman rempah.
Dalam bayangan saya, akan menarik misal ada paket wisata menanam tanaman cengkeh. Wisatawan dipungut biaya untuk membeli bibit dan membayar biaya perawatan. Petani cengkeh tentu akan mendapat keuntungan, selain pekerjaan menanam cengkehnya terbantu, wisatawan mendapat pengalaman tentang menanam cengkeh.
Atau saat musim panen cengkeh tiba, wisatawan bisa ikut paket wisata memetik cengkeh. Pengalaman memetik cengkeh tentu bisa menambah pengetahuan bahwa cengkeh yang biasa ditemui setiap hari melalui proses yang panjang.
Selain paket wisata menanam atau memetik cengkeh, jika ke Ternate bisa mengunjungi pohon cengkeh Afo yang terletak di kaki Gunung Gamalama. Pohon cengkeh Afo merupakan pohon cengkeh tertua di dunia. Usianya mencapai lebih dari 400 tahun dan menjadi saksi sejarah kejayaan rempah-rempah. Pohon ini dulunya sanggup menghasilkan 400 Kg cengkeh tiap tahun.
Konsep ekowisata yang lain adalah konsep desa wisata. Wisatawan bisa menginap, merasakan kehidupan para petani rempah, dan melakukan apa yang dilakukan sehari-hari. Cara ini bisa mempertahankan budaya dan tradisi masyarakat rempah.
Festival adat, perayaan saat musim panen tiba, juga bisa menjadi atraksi wisata yang menarik. Perayaan adat biasanya diadakan sebagai ucapan syukur atas hasil panen rempah. Acara adat semacam ini bisa dikemas menjadi daya tarik wisata.
Wisata Sejarah Rempah
Bicara rempah tentu tak lepas dari sejarah. Jejak-jejak peninggalan Portugis masih tersisa, mengingat Portugis menguasai perdagangan rempah di Maluku selama kurang lebih 20 tahun.
Pada tahun 1512, Portugis menjalin kerja sama dengan Kesultanan Ternate saat salah satu kapal utusan Alfonso d’Albuqureque yang dikomandani Fransisco Serrao menabrak karang dan terdampar saat hendak kembali ke Malaka.
Sultan Abu Lais dari Ternate yang mendapat kabar tentang para pelaut Portugis yang terdampar itu, lantas memerintahkan agar mereka dijemput dan dibawa ke Ternate. Sultan Ternate melihat peluang mendapat sekutu untuk mengatasi konflik dengan kerajaan di sekitarnya yaitu Tidore, Gilolo (Halmahera), dan Bacan.
Fransisco Serrao kemudian memutuskan untuk tinggal di Ternate, membangun benteng dan gudang rempah, mengawini perempuan Jawa, dan menjadi pedagang rempah dengan memanfaatkan perahu-perahu dari Jawa dan Makassar.
Namun sifat orang Portugis yang serakah dan licik, lama-lama membuat Kesultanan Ternate marah. Puncaknya, pada tahun 1575, di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Kesultanan Ternate melawan dan berhasil merebut benteng-benteng Portugis.
Benteng-benteng peninggalan Portugis seperti Benteng Toluko, Benteng Oranye, Benteng Kalamata (di Ternate), Benteng Kota Laha yang kemudian disebut Benteng Victoria (di Ambon), Benteng Belgica dan Benteng Nassau (di Banda Neira), Benteng Hollandia (di Lonthoir), serta Benteng Ravenge (Pulau Ay), tentu menjadi obyek wisata yang wajib dikunjungi.
Selain benteng peninggalan Portugis, berkunjung ke Istana Kedaton Kesultanan Ternate juga tak boleh dilewatkan. Kesultanan Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup agama, adat istiadat dan bahasa.
Filateli dan Numismatik
Membangkitkan kembali kejayaan rempah juga bisa dilakukan lewat filateli dan numismatik. Pada tahun 1980, pernah terbit perangko bergambar kapal layar dan cengkeh untuk memperingati Rute Perjalanan Jakarta-Amsterdam yang dimulai 12 Maret 1980. Nilai nominal perangko saat itu Rp 60.
PT Pos Indonesia rutin mengeluarkan seri perangko dengan tema tertentu. Bisa saja PT Pos Indonesia menerbitkan seri perangko rempah-rempah. Tanzania saja punya perangko seri rempah-rempah, kenapa kita, negeri penghasil rempah-rempah tidak punya?
Apalagi sekarang ada komunitas yang suka mengirim kartu pos melalui layanan Postcrossing, tentu perangko bisa menjadi media yang efektif untuk memperkenalkan kembali rempah-rempah ke mata dunia.
Selain melalui perangko, memperkenalkan rempah-rempah bisa melalui desain uang. Pada tahun 1992 hingga 1998, pernah beredar uang kertas bergambar cengkeh dengan pecahan nominal Rp 20.000.
Bank Indonesia sebagai pihak yang berwenang menerbitkan uang kertas, bisa saja menerbitkan desain uang baru untuk mengenalkan rempah-rempah, misal bergambar pala, kayu manis, dan sebagainya.
Gemah Rempah Mahakarya Indonesia
Rempah-rempah Indonesia tidak hanya bumbu dapur. Rempah-rempah Indonesia adalah warisan sejarah dan mahakarya Indonesia yang perlu diapresiasi dan dibanggakan.
Berwisata tidak selalu hanya bersenang-senang atau mengunjungi suatu tempat. Melalui wisata, kita bisa mengenalkan dan membangkitkan kembali gemah rempah dan kejayaan rempah-rempah.
Kampanye Gemah Rempah Mahakarya Indonesia bisa dibilang sebagai salah satu kampanye untuk mengenalkan kembali rempah-rempah kepada generasi muda.
Sebagai generasi muda, rasanya sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga dan mengenali kekayaan dan mahakarya bangsa. Menjaga dan mengapresiasi kekayaan bangsa bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan cara yang paling menyenangkan, berwisata.