Jerman masih memiliki masalah dengan rasisme, yang makin ke sini bukannya makin mereda, namun bisa dibilang mengkhawatirkan.
Padahal menurut data statistik Badan Statistik Jerman (Destatis) pada tahun 2022, warga migran di Jerman mencapai 10% dari total populasi sekitar 84,6 juta orang.
Sementara jika dilihat dari kebangsaannya, 14,6% persen merupakan orang asing, yang jika warga Uni Eropa dihitung, warga negara bukan Jerman yang tinggal di Jerman mencapai 37,3%.
Berlin sendiri memiliki presentasi warga asing terbesar di antara 16 negara bagian lainnya, yaitu mencapai 22,2% warga asing dari total populasi 3,8 juta orang.
Bisa dibilang, warga Berlin termasuk yang paling beragam dan terdiri atas berbagai ras dan kewarganegaraan.
Meski begitu, beberapa kasus kriminal terkait rasisme masih saja terjadi.
Saya sendiri pernah mengalami tindakan rasisme ini, meski tidak begitu fatal, namun cukup mengganggu.
Saat awal-awal pandemi Covid-19, banyak orang Asia diteriaki dengan umpatan bernada rasisme karena menganggap orang Asia adalah orang Cina dan harus bertanggungjawab atas wabah tersebut.
Tidak hanya itu, rasisme dan profiling sering diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, misal dalam mendapat pekerjaan hingga menyewa apartemen, di mana ras tertentu kesulitan mendapatkan kesempatan yang sama.
Pada tahun 2020, terjadi penembakan yang dilakukan pria kulit putih yang menembak 9 orang di 2 bar shisha, sebelum kemudian membunuh ibunya sendiri dan bunuh diri di Hanau.
Motif penembakan dan pembunuhan tersebut diduga kuat bermotif rasisme, karena pelaku sering menuliskan kalimat xenofobia di media sosial.
Sebelumnya di Halle pada tahun 2019, seorang pria yang berafiliasi dengan sayap kanan menyerang sebuah sinagog dan menewaskan 2 orang.
Selain Hanau dan Halle, peristiwa-peristiwa serupa juga terjadi di beberapa kota di Jerman, seperti di Dessau, Kassel, Dresden, dan masih banyak lagi.
Pada 2022, sebuah usaha kudeta yang dimotori oleh kelompok Reichsbürger berhasil digagalkan, di mana kelompok ini memiliki kaitan dengan petinggi partai sayap kanan AfD (Alternative für Deutschland).
Kejadian ini sempat menyulut gelombang demonstrasi besar-besaran di Jerman, menuntut pemerintah berbuat sesuatu terhadap kelompok-kelompok rasisme ini.
Warga khawatir bahwa sayap kanan ini lama-lama akan menjadi Neo-NAZI, yang memang secara hukum merupakan organisasi terlarang di Jerman.
Membubarkan partai sayap kanan juga dianggap tidak menyelesaikan masalah, apalagi Jerman sangat menjunjung demokrasi.
Apalagi jika tanpa alasan jelas seperti mengancam kedaulatan negara yang terbukti di pengadilan jelas-jelas melanggar hak demokrasi.
Meski nama partai AfD sering muncul dalam berita-berita yang berbau rasisme, tidak ada indikasi dan bukti nyata di pengadilan bahwa partai ini dianggap berbahaya.
Kejadian terakhir terakhir terkait rasisme terjadi baru-baru ini, yaitu terbongkarnya pertemuan rahasia petinggi partai sayap kanan AfD yang memiliki agenda untuk melancarkan aturan pengusiran warga bukan Jerman, bahkan warga imigrain yang berkewarganegaraan Jerman.
Tentu saja ini menyulut kemarahan warga dan puncaknya, demo besar-besaran terjadi di Berlin, pada Sabtu dingin dan hujan, 3 Februari 2024.
Saya sempat ikut serta dalam demo besar yang diorganisir oleh kelompok Hand in Hand yang berlangsung damai dengan tema Wir sind di Brandmauer (kita adalah tembok api).
Apalagi saya sebagai pendatang, isu-isu seperti ini sangat mempengaruhi saya, dan saya pun menentang sikap rasisme.
Demonstrasi dimulai dari area Alexanderplatz, yang kemudian massa melakukan marching menuju ke arah Brandenburger Tor, lalu berkumpul di lapangan di antara gedung Bundestag dan Kantor Kanselir.
Di lapangan ini, sebuah panggung kecil digunakan para orator untuk menentang aksi-aksi rasisme dan mengenang para korban penyerangan aksi-aksi rasisme.
Massa yang hadir diperkirakan sejumlah 300 ribu, namun kepolisian Berlin menyatakan massa hanya separonya, 150 ribu.
Aksi demo tersebut lebih berasa seperti menghadiri konser, di mana di sela-sela orasi, ada penampilan artis-artis dari berbagai etnis dan ras, menyanyikan lagu bertema menentang rasisme, demokrasi, dan perdamaian.
Terlihat anak-anak dan anjing di antara kerumunan masa, menandakan bahwa aksi demo ini sangat damai dan tertib.
Anak-anak di Jerman memang terbiasa dengan demonstrasi, bahkan di sekolah, mereka diajarkan untuk melakukan demonstrasi dengan tema yang dekat dengan mereka, sebagai upaya menanamkan demokrasi.
Poster-poster yang ditulis para demonstran bernada sama, meminta pembubaran AfD, menentang NAZI, menetang nepotisme, mencaci sayap kanan, hingga yang lucu, unik, dengan pesan substansif namun mampu membuat saya tersenyum bahkan tertawa.
Seorang demonstran membawa poster bertuliskan, “poster bertuliskan, “kentang pun dulunya asing””, yang merujuk bahwa kentang, makanan utama orang Jerman pun sebenarnya berasal dari Amerika Tengah dan baru masuk ke Jerman dan Eropa pada tahun 1630.
Sebuah analogi yang kreatif menurut saya.
Sayangnya saya tidak lama berada di kerumunan massa karena hujan turun dengan deras.
Meski begitu, massa tetap bertahan di lapangan mendengarkan orasi dan lagu-lagu.
Saya melihat panitia membuka sudut donasi bagi yang ingin membantu organisasi ini.
Sementara itu di sudut lain, saya melihat ada penjual brezel pintar mencari peluang dengan membuka lapaknya membuat saya lapar.
Memang ya, di mana-mana, pedagang selalu bisa melihat peluang dan mengubahnya menjadi cuan.
Andai saja ada tukang bakso, tentu dagangannya akan laris apalagi saat itu hujan dan temperatur sekitar 6°C.
Sayangnya saya tidak membawa uang tunai sehingga keinginan saya untuk mengganjal perut karena kedinginan akibat hujan saya batalkan dan saya memutuskan untuk pulang.
wah, padahal pasti banyak jajanan disana apalagi pas hujan ya