Bagi sebagian orang, tulisan nama toko atau tempat, kadang hanya dianggap sebagai penanda dan identitas.
Namun bagi sebagian yang lain, tulisan nama toko termasuk dalam kategori seni yang unik, terutama bagi mereka yang mendalami seni tipografi dan huruf.
Apalagi kini sepertinya sudah tidak banyak toko baru yang memasang papan nama dengan huruf-huruf unik yang menjadi identitasnya.
Saya masih melihat beberapa toko, pusat perbelanjaan, bahkan instansi yang masih menggunakan huruf-huruf untuk menunjukkan nama dan identitasnya, setidaknya di Berlin.
Namun apa yang terjadi jika suatu saat toko-toko tersebut tutup, apalagi di masa pandemi yang sulit ini, dan toko tersebut berganti pemilik.
Di dekat rumah, ada sebuah kios makanan asia yang berada di stasiun kereta, yang dulu sempat menjadi langganan kami karena nasi goreng bebeknya enak dan harganya murah.
Hingga suatu saat, toko asia yang bernama HOANG, dengan hurufnya yang unik, hingga saya sempat salah mengucapkan namanya menjadi KOANG itu, tutup dan pindah entah ke mana atau pemiliknya tak ingin meneruskan usahanya.
Saya sempat melihat huruf-huruf dari papan nama HOANG tersebut dipinggirkan, dan entah ke mana huruf-huruf yang ukurannya cukup besar tersebut.
Di Berlin, ada sebuah museum yang mendedikasikan koleksinya untuk menyimpan berbagai huruf dari logo dan papan nama toko-toko, sekaligus mencatat cerita dan sejarahnya.
Sabtu, 11 Juli 2020 lalu, saya dan istri mengunjungi museum yang kebetulan lokasinya tak jauh dari rumah kami.
Buchstabenmuseum, Museum Huruf
Buchstabenmuseum, yang secara literal berarti museum huruf, merupakan museum pribadi yang didirikan oleh Barbara Dechant dan Anja Schulze pada tahun 2005.
Mereka membangun museum ini karena kecintaan mereka pada tipografi dan keinginan menyelamatkan huruf-huruf dari papan nama usaha atau ruang publik.
Karena museum ini merupakan museum pribadi, maka museum ini tidak mendapatkan bantuan atau subsidi dari pemerintah.
Seluruh staf yang bekerja di museum ini merupakan relawan dan mereka tidak dibayar.
Dugaan saya, relawan yang bekerja di museum ini adalah mahasiswa seni atau komunikasi yang mempelajari tentang desain visual terutama huruf.
Seorang perempuan muda yang melayani kami saat membeli tiket, bahkan mengaku Bahasa Jermannya tidak begitu bagus, namun fasih berbahasa Inggris.
Untuk biaya perawatan dan sewa gedung, museum ini mengandalkan uang dari penjualan tiket masuk dan donasi dari para donatur yang membayar rutin bulanan.
Tiket masuknya seharga 12€ per orang dan 6,50€ untuk harga khusus yang diberikan kepada difabel, pelajar, dan sebagainya.
Museum dibuka untuk publik sejak tahun 2008, dan mulai Januari 2016, museum menempati gedung permanen di bekas gudang di area Hansaviertel yang berada di bawah rel kereta negara (Stadtbahnbögen).
Museum bisa dicapai dengan menggunakan kereta bawah tanah U-bahn U9 dan turun di Staisun Hansaplatz atau menggunakan kereta S-bahn S3, S5, S7, dan S9 dan turun di Stasiun Bellevue.
Secara lokasi memang agak tersembunyi, karena memang pintu masuk museum tidak langsung terlihat dari jalan raya.
Namun sebuah papan petunjuk dipasang dan terdapat sebuah tulisan besar dengan panah yang menunjukkan lokasi museum.
Saat ini, museum hanya buka di hari Kamis hingga Minggu jam 13:00 hingga jam 17:00.
Karena lokasinya menempati bekas gudang, tampilan depannya memang tidak seperti museum pada umumnya.
Ada instalasi huruf-huruf yang digantung di atas pohon bertuliskan WILLKOMMEN di depan museum, tepat di atas tempat parkir sepeda.
Berada di dalam gedung ini pun, akan terdengar jelas suara kereta S-bahn, kereta regional, kereta IC/ICE, dan kereta antarnegara lewat dan getarannya cukup terasa.
Museum juga sangat ramah bagi penyandang disabilitas, di mana terdapat bel dan informasi kontak untuk meminta bantuan bagi pengguna kursi roda.
Hampir seluruh tempat di Berlin ramah bagi pengguna kursi roda, dan tentu saja dukungan ini semacam menjadi standar layanan di Berlin.
Koleksi Buchstabenmuseum
Museum ini tidak luas, hanya menempati empat blok gudang yang memanjang mengikuti arah rel kereta.
Koleksi yang ditampilkan di sini juga masih belum semua tersusun rapi, karena museum masih dalam tahap pembangunan dan penyusunan berkala.
Di beberapa koleksi yang sudah jadi, terdapat keterangan dan informasi cerita dan sejarah di balik huruf-huruf tersebut, berada di bagian ruang kedua setelah ruang pertama pintu masuk dan resepsionis.
Ruang berikutnya sepertinya belum selesai disusun, namun tetap bisa dilihat dan dikunjungi.
Meski begitu, Buchstabenmuseum sering mendapat panggilan dari toko atau warga untuk menyelamatkan huruf-huruf dari toko yang tutup dan hendak dibuang.
Seringkali Buchstabenmuseum harus berpacu dengan waktu, karena biasanya pembongkaran berlangsung cepat dan huruf-huruf tersebut bisa saja rusak dan dibuang oleh kontraktor yang menangani pembongkaran.
Buchstabenmuseum tentu tidak sembarangan menerima limpahan tersebut, namun akan menganalisis dan mencari informasi tentang sejarah, cerita, atau keunikan apa di balik huruf-huruf tersebut.
Proses pengambilannya pun berbagai macam, di mana beberapa kali museum ini mendapat kiriman huruf-huruf dari toko yang sudah tutup.
Namun di suatu waktu, tim dari Buchstabenmuseum harus menyopot sendiri huruf-huruf tersebut dari gedung.
Setiap koleksi yang disimpan di Buchstabenmuseum akan memberi tanda dengan Ü (U umlaut) yang merupakan singkatan dari Übernahme yang berarti “ambil alih”.
Saat ini, koleksi Buchstabenmuseum bernomor Ü175, yang juga berarti ada 175 koleksi di museum ini.
Rata-rata, museum bisa mengangkut 12 huruf di mana hingga kini, ada sekitar 2.000 huruf yang disimpan.
Museum ini juga menjual suvenir berupa gantungan kunci, stempel, buku, kartu pos, dan pernak-pernik yang terkait dengan tipografi dan seni huruf, yang bagi pecinta tipografi akan sangat menggiurkan.
Möbelhaus Kern
Möbelhaus Kern merupakan toko furnitur yang berdiri pada tahun 70-an, yang kemudian pada tahun 2012, toko ini terpaksa harus tutup.
Toko furnitur ini dulu termasuk toko furnitur terbesar yang dulunya beralamat di Bartningallee 24-26 dan sempat menjadi rujukan furnitur warga Berlin.
Huruf-huruf berukuran setinggi 80 cm dengan ketebalan 13 cm ini harus dicopot sendiri oleh tim dari Buchstabenmuseum pada 16 Mei 2012.
Font yang digunakan adalah Sans Serif dan material yang digunakan terbuat dari logam berwarna coklat dengan lampu neon berwarna kuning yang bisa menyala.
Buchstabenmuseum berhasil menyelamatkan dan mampu merestorasi huruf ini bahkan membuat lampu neonnya menyala.
Koleksi dari Möbelhaus Kern ini merupakan koleksi bernomor Ü71.
Zierfische
Toko hewan peliharaan Zierfische yang lengkap dengan logo bergambar ikannya ini dulunya merupakan toko hewan peliharaan terbesar di Republik Demokratik Jerman (GDR) alias Jerman Timur.
Bahkan, toko yang berdiri pada tahun 1957 ini sempat menjadi landmark dari perempatan besar yang berlokasi di Frankfurter Tor.
Logo ikan ceria serta pilihan font yang menjadi bagian dari identitas toko paling modern pada masa setelah perang dunia itu sempat mengalami beberapa kali rekonstruksi dan penggambaran ulang.
Revisi terakir logo dilakukan pada awal tahun 2000-an, di mana pada awalnya logo ikan memiliki gambar gelembung udara dan rumput laut, kemudian gelembung dan rumput lautnya dihilangkan.
Logo dan tulisan Zierfische dibuat oleh desainer Manfred Gensicke berdasarkan tulisan tangannya sendiri.
Sayangnya, setelah jatuhnya era komunisme, putera pemilik Zierfische, Gabriele Bartelt tak mampu mempertahankan bisnis ayahnya dan akhirnya menutup toko ini pada 2009.
Buchstabenmuseum menerima koleksi ini pada 17 April 2009, di mana proses pengambilan dan penyimpanan tulisan ini sangat dramatis.
Sempat diwarnai dengan aksi pencurian, namun dengan partisipasi warga lokal, akhirnya artifak bersejarah ini berhasil dipindahkan dan diamankan di Buchstabenmuseum.
Hansaplatz
Stasiun kereta bawah tanah U-bahn Hansaplatz dibuka untuk publik pada 28 Agustus 1961, yang merupakan stasiun kereta bawah tanah pertama arah ke utara setelah Stasiun Pusat Zoologischer Garten.
Pada tahun 1995, stasiun bawah tanah, termasuk taman bangunan yang berada di atasnya masuk dalam daftar perlindungan pemerintah distrik Mitte, dan pada tahun 2006, stasiun ini mengalami restorasi.
Buchstabenmuseum ikut berperan dalam restorasi tersebut, dengan merawat dan memberi saran tentang sejarah huruf yang ditampilkan di Stasiun Hansaplatz.
Awalnya huruf yang menyusun nama HANSAPLATZ terbuat dari kayu, dan karena risiko mudah terbakar, Barbara Dechant melakukan riset tentang jenis huruf (font) dan material yang akan digunakan untuk penggantinya.
Aluminium alloy akhirnya dipilih menjadi material dan dibentuk dengan menuangkan aluminium cair ke dalam cetakan yang terbuat dari pasir padat.
Eternit
Saya sering mendengar istilah eternit yang merujuk pada langit-langit rumah, dan dari museum ini saya baru tahu dari mana istilah tersebut berasal.
Eternit merupakan nama sebuah produk dari perusahaan Eternit-Werke dan Eternit AG, Jerman.
Material yang digunakan terbuat dari serat semen yang digunakan untuk langit-langit dan facade bangunan.
Penggunaan material ini sempat menjadi tren arsitektur rumah-rumah di Jerman Barat, terutama pada tahun 1960-an.
Produk ini sempat menuai kontroversi, karena kandungan asbesnya yang berbahaya untuk kesehatan.
Eternit dan asbes memang menjadi kesatuan, di mana nama Eternit berasal dari Bahasa Latin aeternitas, alias eternity, keabadian, sementara kata asbes berasal dari Bahasa Yunani kuno, asbestos, yang berarti sama.
Tahun 1980-an, kandungan asbes berkurang drastis dari produk Eternit, dan pada tahu 1990, tidak ada lagi asbes yang digunakan di produk Eternit.
Tulisan logo Eternit sendiri menggunakan font script meliuk yang kala itu sangat populer digunakan di area Hansaviertel pada tahun 1950-1960.
Warna merah menyala dihasilkan dari lampu neon yang menggambarkan kekuatan.
Mural Berlin
Saat kami datang, tengah ada pameran mural yang diselenggarakan di salah satu sudut museum untuk memperingati ulang tahun museum yang ke-15.
Dua seniman, Chris Campe dan Merle Michaelis menampilkan karya mural tulisan BERLIN dari lantai, ke dinding, hingga atap.
Tulisan BERLIN berwarna hitam dengan latar berwarna putih tersebut sekilas tidak terlihat seperti tulisan.
Namun jika diperhatikan, kata BERLIN pun akhirnya menyembul.
Chris Campe seorang seniman dan penulis dari Hamburg, yang memiliki studio desain All Things Letters.
Sementara Merle Michaelis seorang seniman dan tipografer dari Kiel, yang memfokuskan pada seni kaligrafi dan tulisan tangan.
Koleksi Huruf-Huruf Lain
Di ruang lainnya, beberapa huruf nampak dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan ukuran, material, dan warna.
Ada kumpulan huruf berwarna atau memiliki lampu berwarna biru, kuning, merah, dan sebagainya.
Beberapa yang masih utuh dan bisa menyala, dipajang di dinding, sementara huruf-huruf lain yang belum sepenuhnya direstorasi atau tidak menyala, dikumpulkan menjadi satu.
Saya sempat melihat beberapa logo dan simbol yang saya kenal, menyembul di antara koleksi museum, misalnya logo M dari restoran McDonald’s atau Bank Sparkasse.
Di ruang ini juga terdapat koleksi huruf pertama yang dikumpulkan oleh Buchstabenmuseum.
Sebuah logo dari toko sepatu sepanjang 3 meter bertuliskan Schuhe, yang berarti sepatu, dipajang di ruangan ini.
Di bagian resepsionis juga terdapat sebuah layar monitor berisi video yang menampilkan sebuah batang logam yang ditekuk sedemikan rupa yang bila diputar ke beberapa sudut bisa menampilkan seluruh huruf dalam alfabet latin.
Selain papan informasi dan lembar berisi kisah di balik logo dan huruf, terdapat pula alat peraga seperti video dan gambar yang bisa dilihat dengan kacamata tiga dimensi.
Untuk anak-anak terdapat lembar khusus untuk anak-anak yang berisi kisah ini dalam bahasa yang lebih bisa dimengerti oleh anak-anak.
Menyumbang Tulisan
Buchstabenmuseum membuka sumbangan huruf dari pengunjungnya melalui buku tamu yang disediakan.
Tidak seperti buku tamu biasa yang berisi nama, informasi alamat, atau sebagainya, buku tamu Buchstabenmuseum hanya berisi kolom A, a, tulisan Buchstabenmuseum, kolom berisi lokasi di mana pertama kali belajar menulis, dan kolom nama atau tanda tangan.
Pengunjung menulis mengikuti kolom yang ada, di mana tulisan A, a, dan Buchstabenmuseum dari pengunjung berbeda-beda.
Ini menarik menurut saya, karena dari tulisan pengunjung ini, bisa terdapat font dan gaya huruf yang berbeda-beda.
Saya pun ikut serta menyumbangkan tulisan sana ke buku tamu ini, dan rupanya saya sedikit agak kaku saat menulis tangan, karena saya lebih sering mengetik menggunakan papan ketik dibanding menulis dengan pensil atau pulpen.
Kelak apabila ada rezeki bisa ke Jerman saya ingin ke sini.
Jerman itu rapi dalam penerapan tipografi, lihat saja signage dan tabel di stasiun yang bahkan penempatan dibikin sedikit menunduk ke mata pembaca.
Setelah baru baca ulang posting ini, tadi cuma sekilas, langsung lompat ke gambar. #ngaku