Cerita Cengkeh

12 minutes 3,899 0

“Aduh, gusiku bengkak”, keluhku sambil mengelus-elus pipi sebelah kiri. Ibu kemudian menyodorkan botol kecil berisi minyak berwarna kuning untuk dioleskan ke gusi.

Meski tak tahu minyak apa itu, tanpa banyak tanya (karena memang sakit jika berbicara) saya menuruti perintah ibu. Dengan kapas yang dibasahi minyak misterius itu, saya mengompres gusi saya yang bengkak.

Nyaass.. Rasa semriwing langsung terasa dan perlahan rasa sakit mereda. Bau wangi yang kuat langsung menyeruak. “Minyak apa ini, bu?”, tanyaku. “Itu minyak cengkeh”, jawab ibuku dengan tersenyum.

minyak cengkeh cap Burung Kakak Tua
minyak cengkeh

Cengkeh, Si Mungil Wangi Berkhasiat

Saya teringat pengalaman ini saat berbicara tentang cengkeh. Ya, setiap kali mendengar cengkeh, yang pertama kali terlintas dalam pikiran saya adalah “minyak cengkeh”.

Saya takjub saat tahu bahwa cengkeh yang biasanya digunakan sebagai bumbu dapur bisa digunakan untuk obat. Karena setau saya, yang bisa jadi obat atau jamu biasanya sebangsa rumpon-rumpon semacam jahe, kunyit, lengkuas, temulawak, dan sebagainya.

Rupanya cengkeh mengandung zat bernama eugenol yang berfungsi sebagai anestesic (pemati syaraf) dan antimikrobal. Sifat anestesic dari eugenol dari cengkeh ini digunakan di obat-obatan yang digunakan oleh dokter gigi untuk menenangkan syaraf gigi (bius lokal). Sedangkan sifat antimikrobal dari eugenol, membuat cengkeh kerap digunakan untuk pengawet, mulai dari pengawet makanan hingga pengawet mumi di Mesir pada zaman dahulu.

Aroma wangi khas cengkeh juga sering digunakan untuk pewangi alami. Pada abad keempat, saat masa pemerintahan Dinasti Han di Tiongkok, siapa pun yang hendak menghadap raja, diwajibkan mengunyah cengkeh terlebih dulu supaya mulutnya wangi.

Dalam mitologi Yunani, Aphrodite sang dewi kecantikan, digambarkan suka membalur tubuhnya dengan rempah-rempah, terutama cengkeh. Mungkin terinspirasi dari mitologi tersebut, beberapa produsen parfum kenamaan mengeluarkan seri wewangian beraroma cengkeh.

Di Indonesia, cengkeh selain digunakan sebagai bumbu di sajian kuliner, juga digunakan untuk campuran rokok untuk menambah aroma dan memperkuat rasa.

Cerita soal rokok ini berawal pada akhir abad ke-19, di Kota Kudus, Jawa Tengah. Seorang pria bernama Haji Djamari ingin mengobati sakit asmanya dengan meracik cengkeh dan tembakau. Karena setelah rajin menghisap ramuan cengkeh dan tembakau ini, sakit asmanya reda. Kisah sukses “rokok obat” ciptaan Haji Djamari ini menyebar cepat. Dari sini lah, lahir campuran rokok yang kita kenal sekarang.

Pengolahan Cengkeh

Syzygium aromaticum (cengkeh) - Köhler's Medizinal Pflanzen (Wikipedia)
tanaman cengkeh, sumber: Wikipedia

Cengkeh memiliki nama latin Syzygium aromaticum. Benda mungil ini sebenarnya adalah bagian tangkai bunga tanaman cengkeh. Sekilas, bunga cengkeh bentuknya seperti bunga jambu air yang memiliki benang sari yang banyak, karena kedua tanaman ini berasal dari keluarga yang sama, Myrtacea.

Tanaman cengkeh adalah tanaman asli Maluku, terutama di Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Tanaman cengkeh hidup pada ketinggian 10-20 meter di atas permukaan laut.

Pohon cengkeh tertua di dunia adalah pohon cengkeh afo, yang terdapat di Tongole, sekitar 6 Km dari pusat kota Ternate. Usia pohon ini mencapai 400 tahun lebih, dengan tinggi sekitar 35 meter. Setiap tahun, pohon cengkeh afo bisa menghasilkan 400 Kg cengkeh.

Cengkeh yang kita lihat sehari-hari berwarna coklat, karena telah mengalami beberapa proses.

Cengkeh dipanen dengan mengambil tangkai bunga bila sudah berwarna kemerahan dengan panjang 1-2 cm, sebelum mekar mengeluarkan benang sari. Bunga cengkeh berkelompok mulai tiga hingga sepuluh tangkai, di mana setiap tangkai berisi tiga kuntum bunga.

Cengkeh kemudian dijemur selama 4-5 hari sampai berwarna coklat tua. Kadar air dalam cengkeh setelah dikeringkan adalah 8-10%. Setelah kering dan dibersihkan, cengkeh-cengkeh ini siap dikemas dan dipasarkan.

Cerita Asal Usul Cengkeh

Rempah-rempah di Eropa begitu mahal karena selain secara fisik sulit diperoleh, ada bumbu cerita yang membuat rempah-rempah menjadi misterius.

Salah satu yang terkenal adalah cerita yang disebarkan oleh pedagang dari Arab tentang sulitnya rempah-rempah didapat, demi menjaga harga pasar tetap tinggi. Cerita yang tersebar adalah sulitnya rempah-rempah didapat, yaitu berada di suatu tempat yang dijaga oleh makhluk mengerikan.

Di Maluku sendiri, ada cerita rakyat yang beredar tentang asal-usul tanaman cengkeh, kenapa hanya tumbuh ada di Maluku.

Konon kabarnya tanaman cengkeh bermula dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa kejayaan Kesultanan Ternate di Maluku Utara dan Kerajaan Kapahaha di Morella, Pulau Ambon.

cengkeh
cengkeh kering

Pada suatu ketika Sultan Ternate mengadakan pertemuan dengan para pemimpin wilayah dari seluruh Maluku untuk mengajak bergabung dengan Kesultanan Ternate. Di antara para pemimpin tersebut di undang pula raja dari Kerajaan Kapahaha.

Maksud dari pertemuan tersebut adalah Sultan Ternate berkeinginan untuk menjadikan semua wilayah yang ada di Maluku masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate, dan setiap wilayah yang bergabung dengan Kesultanan Ternate harus membayar upeti. Semua pemimpin yang hadir pada saat itu menyetujui rencana tersebut kecuali Raja Kapahaha.

Selang beberapa waktu, sebagai wujud penolakan Raja Kapahaha untuk bergabung dengan Kesultanan Ternate, Raja Kapahaha mengirim upeti kepada Sultan Ternate berupa mayat bayi. Sultan Ternate memerintahkan anak buahnya untuk menanam (memakamkan) mayat bayi tersebut di depan keraton.

Beberapa tahun kemudian terjadi keanehan pada makam tersebut. Pada dua batu nisannya tumbuh dua tanaman, yang kemudian dirawat dengan baik oleh para abdi di keraton. Namun satu tanaman di nisan bagian kaki mati dan yang tinggal hanya satu tanaman di nisan kepala.

Seiring dengan berjalannya waktu, tanaman tersebut tumbuh besar kemudian berbunga dan berbuah dengan mengeluarkan harum yang semerbak. Pada saat yang bersamaan, Sultan Ternate mengadakan suatu acara dengan mengundang semua pemimpin di wilayah kekuasaannya termasuk Raja Kapahaha. Akan tetapi Raja Kapahaha menolak datang dan mengutus seorang punggawa Kerajaan Kapahaha yaitu Upu Hatunuku untuk mewakili Raja Kapahaha pada pertemuan tersebut.

Setibanya di Kesultanan Ternate semua tamu tertarik dengan tanaman tersebut. Para tamu meminta untuk bisa membawa pulang buah dari pohon tersebut sebagai bibit yang akan dibawa ke daerah masing-masing. Namun keinginan tersebut ditolak oleh Sultan Ternate dengan alasan tanaman tersebut menjadi sejarah hubungan Kesultanan Ternate dan Kerajaan Kapahaha.

Setelah selesai pertemuan, saat pulang ke Kerajaan Kapahaha, Upu Hatunuku tak menyadari bahwa pada ujung tongkatnya paling bawah yang berlubang telah masuk beberapa biji dari tanaman tersebut.

Setibanya di Wawane, tongkat tersebut di letakkan di sebelah rumah yang beberapa lama kemudian ujung bawah tongkat tersebut pecah. Upu Hatunuku memeriksa apa yang menyebabkan tongkatnya bisa pecah, rupanya biji dari tanaman dari Kesultanan Ternate.

Upu Hatunuku kemudian menanam biji yang sudah mulai tumbuh tersebut dan setelah besar dinamai dengan nama “pukulawang” yang bermakna “tidak bergabung” dan “ingin sendiri”, atau juga bermakna “merasa takjub bila melihatnya”.

Catatan lain tentang asal-usul tanaman cengkeh konon juga bisa ditemukan di kitab Weda, kitab suci bangsa Aria di India Utara. Bangsa Aria adalah bangsa yang membangun peradaban Hindu dan Budha dan menyebarkannya ke seluruh penjuru Asia. Kitab Weda ditulis dalam bahasa Sansekerta pada tahun 1700-800 SM (era Hindu) dan 800–350 SM (era Budha).

Bangsa Aria telah menggunakan rempah-rempah sejak awal peradabannya, namun perkenalan mereka dengan cengkeh tercatat pada era Budha. Cengkeh, dalam bahasa Sansekerta disebut dengan “lavanga“.

Cengkeh diperkirakan mencapai India melalui semenanjung Malaya (kini Malaysia) karena dalam bahasa Melayu, cengkeh disebut dengan bunga lavanga. Dalam bahasa lain, cengkeh juga disebut dengan nama “wunga lawang” di Bali dan “bungeu lawang” dalam bahasa Gayo.

Nah, jika mencocokkan dengan kisah Upu Hatunuku yang memberi nama “pukulawang” pada tanaman yang diperolehnya dari Ternate, maka sebutan “lavanga” dalam catatan kitab Weda tersebut merujuk ke tanaman yang sama, cengkeh.

Gemah Rempah Mahakarya Indonesia

kemasan cengkeh
cengkeh dalam kemasan modern

Membaca khasiat hingga cerita di balik cengkeh, rasanya tidak berlebihan jika cengkeh menjadi salah satu dari mahakarya Indonesia.

Meski hanya berukuran tak lebih dari 2 cm, keharuman cengkeh termahsyur hingga Eropa, yang kemudian memicu penjelajahan-penjelajahan yang mengubah dunia.

Di Indonesia sendiri, cengkeh digunakan dalam berbagai hal, mulai dari bumbu dapur, bahan baku rokok, hingga dunia medis dan kosmetik.

Namun sayang, meski di Eropa dulu harga 1 Kg cengkeh bisa sama dengan harga 7 gram emas, kini harga cengkeh hanya mencapai Rp 150-160.000 per Kg. Di supermarket, untuk kemasan 20 gram dijual dengan harga sekitar Rp 10.000.

Tanaman cengkeh pun kini tidak hanya ditemukan di Ternate saja, namun telah ditanam ke berbagai daerah. Kini daerah penghasil cengkeh antara lain Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, NTT, Papua, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan Yogyakarta. Selain di Indonesia, cengkeh juga dibudidayakan di Zanzibar, sebuah kepulauan di pesisir timur Afrika, di bawah wilayah Tanzania.

Semoga dengan adanya kampanye Gemah Rempah Mahakarya Indonesia yang diusung oleh Dji Sam Soe ini bisa menimbulkan kesadaran tentang betapa berharganya sumber daya alam Indonesia, sehingga kita patut untuk menjaga dan melestarikannya.

Jangan sampai kita harus membeli mahal, hasil bumi kita dari negara lain, kan?