Kamis, 13 Februari 2013, sore saya mendarat di Yogyakarta menggunakan pesawat AirAsia QZ-7550. Saya langsung menuju ke kantor bersama Thomas.
Sesampai di kantor, sudah ada tim kantor rekanan dari Jakarta. Mereka memang ada di Yogyakarta beberapa hari sebelumnya. Seperti biasa kami melakukan rutinitas kantoran, seperti memasak, bercanda, dan bercerita tentang perkembangan keadaan hingga malam. Saya, Thomas, dan beberapa rekan akan menginap di kantor. Kantor kami memang biasa diinapi.
Malam itu, kami sempat merasakan hawa yang tidak seperti biasa. Hawanya cukup panas dan membuat berkeringat (gerah), seperti saat cuaca mendung. Padahal malam itu langit Jogja cukup cerah. Bulan masih nampak walau terselimuti awan tipis.
Menjelang tengah malam, di Twitter beredar berita tentang meletusnya Gunung Kelud di Jawa Timur. Di Twitter pula beredar kabar bahwa kawan-kawan di Jogja dan Solo mendengar suara dentuman dan gemuruh. Saya dan beberapa rekan yang berada di kantor juga sempat mendengar suara dentuman ini. Saya sendiri mendengar 2 kali suara dentuman.
Namun saat itu tidak diketahui apakah memang itu suara letusan dari Gunung Kelud atau bukan, mengingat jarak antara Gunung Kelud dan Yogyakarta lebih dari 200 Km.
Sekitar pukul 2 dini hari saya tidur. Tidak ada yang istimewa saat itu. Keesokan paginya, Jumat, 14 Februari 2014, sekitar pukul 8, saya terbangung dan kaget saat melihat taman di dalam kantor tertutup abu.
Saya segera melihat keluar kantor, dan benar saja, pelataran kantor memutih tertutup abu vulkanik.
Saya kemudian membangunkan Thomas dan rekan-rekan lain. Hanya Thomas yang terbangun dan kami pun mulai berbagi informasi dengan rekan-rekan kerja yang masih di rumah.
Tamu dari Jakarta yang rencananya datang pagi itu batal datang karena ada 5 bandara yang ditutup akibat terguyur abu vulkanik Kelud. Bandara tersebut adalah Juanda Surabaya (SUB), Abdul Rahman Saleh Malang (MLG), Adisucipto Yogyakarta (JOG), Adisumarmo Solo (SOC), dan Ahmad Yani Semarang (SRG).
Untungnya di kantor masih ada stok masker sisa kejadian erupsi Merapi, November 2013. Dengan menggunakan masker, saya dan Thomas lalu mulai bersih-bersih. Sebelumnya tentu saja kami menyempatkan diri foto-foto dan membagikannya ke Twitter dan media sosial.
Abu vulkanik berbeda dengan abu atau debu biasa. Ukuran partikelnya halus namun tajam. Belum lagi abu vulkanik mengandung material kimia logam yang berbahaya.
Cara membersihkan abu vulkanik adalah dengan menyiramkan air. Ini berguna agar abu vulkanik tidak terbang ke mana-mana. Abu vulkanik mengandung silika, sehingga saat kena air, akan lengket dan mengeras mirip semen.
Abu vulkanik yang terkena air akan menjadi semacam lumpur yang liat dan licin. Pengendara mobil dan motor harus lebih berhati-hati karena abu vulkanik licin dan bisa mengurangi daya cengkeram ban.
Untuk info lebih lanjut tentang cara menangani abu vulkanik bisa mengunduh panduan berikut.
Bila dibanding dengan abu vulkanik Merapi, abu vulkanik Kelud lebih halus dan berwarna lebih kekuningan. Abu yang tertumpuk juga lebih tebal bila dibandingkan saat hujan abu Merapi.
Tak lama saat kami bersih-bersih, Bonang datang dengan heroiknya. Menggunakan jaket, kacamata, dan masker, dia menempuh jalanan yang minim jarak pandang karena abu vulkanik yang berterbangan.
Bonang juga sempat memotret Tugu Yogyakarta yang hampir tak terlihat karena terselimut abu vulkanik.
Pukul 12 tiba waktunya sholat Jumat. Saya, Bonang, dan Linggar keluar menuju ke masjid tempat biasa kami sholat, yaitu masjid di dalam kompleks CILACS UII. Namun ternyata kampus diliburkan, sehingga kami terpaksa berjalan kaki menuju masjid lain.
Suasana di seputar kampus Atmajaya dan Sanata Dharma begitu sepi. Abu vulkanik beterbangan menutup jarak pandang yang hanya 1-2 meter. Suasana mirip saat perang, atau sedang diserang zombie.
Kami akhirnya sholat Jumat di Masjid Sudirman, di dalam kompleks SMA Colombo, Demangan. Untungnya, meski sekolah diliburkan, tapi masjid tetap beroperasi.
Rekan-rekan dari Jakarta yang berencana kembali ke Jakarta sore itu kebingungan akibat ditutupnya Bandara Adisucipto. Akhirnya mereka membeli tiket kereta ekonomi Gajah Wong yang untuk mendapatkannya membutuhkan perjuangan. Bisa dimaklumi karena orang akan langsung mencari tiket kereta karena penerbangan ke Jakarta dibatalkan.
Kantor sempat kehabisan gas Elpiji untuk memasak. Mencari tabung gas berukuran 3 Kg saat itu rupanya bukan hal mudah. Setelah berkeliling, kami tidak bisa mendapatkan gas. Bisa jadi karena banyaknya warung yang tutup atau memang persediaan gas di warung dan toko kelontong kosong.
Beberapa layanan publik lumpuh. Taksi, Transjogja, banyak yang tidak beroperasi. Bahkan untuk mencari makan pun, restoran waralaba KFC tidak menyediakan layanan pesan antar untuk wilayah Jogja.
Namun yang patut diacungi jempol adalah, masyarakat Jogja sudah tanggap dengan keadaan seperti ini. Pengalaman menghadapi hujan abu Merapi sudah menjadi hal yang biasa saat mengalami hujan abu Kelud kali ini.
Meski Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang paling parah tertutup hujan abu vulkanik, masyarakat tetap bisa melakukan aktivitas meski terbatas. Beberapa warga bahkan sudah berinisiatif membersihkan abu vulkanik di jalanan protokol agar warga yang lain bisa lewat dan beraktivitas.
Jogja gugur gunung. #JogjaRapopo.