“Salam buat badak, ya!” ujar kawan saya ketika saya bercerita hendak ke Ujung Kulon. Badak seakan sudah menyatu dengan Ujung Kulon. Namun kenyataannya tidak semudah seperti apa yang dikatakan kawan saya, populasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dalam status hampir punah, sehingga sangat sulit untuk ditemui.
Fakta Badak
Meski binatang yang tingginya bisa mencapai 2 meter dan panjang 3 meter dengan berat hingga 2 ton, badak adalah binatang yang sangat pemalu. Jangankan berjumpa manusia, mencium bau asing atau mendengar suara tak dikenal, badak bisa langsung ngacir dan bersembunyi.
Menurut data tahun 2011 dari Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan WWF Indonesia, jumlah badak yang berada di kawasan konservasi diperkirakan berjumlah 35 ekor (13 betina, 22 jantan, dan 5 di antaranya badak muda). Jumlah ini diperoleh dari hasil tangkapan kamera trap yang berjumlah 44 buah yang tersebar di 65 titik kawasan seluas 38 ribu hektare.
Banyak faktor yang membuat badak makin berkurang jumlahnya, yang kebanyakan adalah faktor alami. Salah satu penyebabnya adalah adanya tumbuhan berjenis langkap yang bersifat invasif, menghalangi tumbuhnya tumbuhan lain, termasuk tumbuhan makanan badak.
Selain berkurangnya makanan, penyakit juga dicurigai menjadi penyebab kematian badak. Pada tahun 2010, ditemukan tiga ekor badak mati tinggal kerangka.
Badak merupakan hewan soliter, dan hanya berkumpul dengan badak lain jika sudah memasuki masa kawin. Jarak kelahiran anak badak pun lama, 4-9 tahun sekali, dengan masa hamil 16 bulan, menyusui dan mengasuh 2 tahun. Itu pun yang dilahirkan cuma seekor, sehingga lambatnya perkembangbiakan badak ini juga menjadi faktor penyebab langkanya badak.
Badak jawa (Rhinoceros sondanicus) sedikit berbeda dengan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) sehingga pola penanganannya pun berbeda. Badak jawa ukurannya lebih besar, dan kulitnya pun lebih tebal dari badak sumatera.
Badak menyukai tempat-tempat landai dan penuh belukar. Luas jelajahnya bisa mencapai 12,5-21 Km2 (jantan) dan 2,6-13,4 Km2 (betina). Berkubang merupakan aktivitas favorit badak. Tanpa mandi, badak bisa bertahan hidup hingga 4 hari, namun bila tanpa berkubang, badak hanya bisa bertahan hidup 24-36 jam saja.
Menyusuri Cigenter Mencari Jejak Badak
Memasuki Taman Nasional Ujung Kulon, sama seperti memasuki kawasan konservasi lainnya. Kita harus melapor ke petugas sebelum bisa beraktivitas di dalam kawasan. Untuk ekowisata, TNUK hanya membuka 3 wilayah, yaitu Pulau Handeuleum, Pulau Peucang, dan Pulau Panaitan. Sedangkan zona inti di semenanjung Ujung Kulon tidak digunakan untuk aktivitas wisata.
Aktivitas sebaiknya dimulai dari pagi, dengan mengunjungi padang rumput tempat di mana banteng, kancil, rusa, dan hewan lainnya berkumpul mencari makan. Kami berangkat menuju Pulau Handeuleum untuk melapor. Karena kami datang siang, kami tidak bisa melihat aktivitas hewan-hewan tersebut di padang rumput.
Dari Pulau Handeuleum kami menuju Cigenter, untuk menyusuri sungai muara Cigenter menuju hulu dengan menggunakan jukung (sampan kayu) yang muat untuk 6 orang. Begitu sampai muara dan mulai bersampan, kami mendengar suara burung merak yang sangat nyaring.
Arus sungai yang tenang berwarna hijau menimbulkan sensasi adrenalin tersendiri. Kanan kiri sungai ditumbuhi tumbuhan palm dan bakau. Beberapa kali saya melihat ikan-ikan muncul di sela-sela akar nafas bakau. Namun yang membuat saya sedikit tegang adalah, sungai sedalam 5 meter ini masih dihuni beberapa ekor buaya!
Sekitar setengah jam mengayuh sampan, kami berhenti dan meneruskan perjalanan mencari jejak badak ditemani oleh Pak Sumardi, petugas ROAM (Rhino Observation and Activity Management) BTNUK dan Pak Otong, petugas BTNUK yang sudah bekerja selama 32 tahun.
Tiba-tiba Pak Otong berteriak, “awas! hati-hati! ada jejak badak! jangan sampai terinjak!” Kami pun segera berkerumun untuk melihat ke arah telunjuk Pak Otong. Benar saja, jejak kaki berdiameter sekitar 24 cm itu masih nampak jelas.
“Baru dua hari, karena tidak ditemukan tahi cacing,” ujar Pak Otong. “Ini jejak si ‘cengkrong’, badak jantan dewasa yang biasa kami temui. Terlihat dari bentuk kukunya yang berbeda,” tambah Pak Otong. Dua hari sebelumnya, diperkirakan si Cengkrong melintasi jalur kami hendak menuju ke arah kubangan yang tak jauh dari tempat kami menemukan jejak badak.
Menurut Pak Sumardi, yang sudah 2 tahun menjadi tim ROAM BTNUK (sebelumya ia anggota ROAM WWF Indonesia), ada 3 wilayah yang biasanya dijelajah badak di kawasan ini, yaitu Citengah, Cigenter, dan Cihandeuleum. “Tiap seminggu mereka bergeser ke satu wilayah ke wilayah lain,” ujarnya.
Pak Sumardi begitu mencintai badak, bahkan ia berujar akan melidungi badak meski apa pun risikonya. “Namun, tolong lah perhatikan kesejahteraan kami,” harapnya. Meski ia sudah puluhan tahun keluar masuk hutan untuk mengamati aktivitas badak, penghasilan per bulannya cukup memprihatinkan, 600 ribu rupiah per bulan.
Sukses selalu, Pak Sumardi!
Informasi Perjalanan
Aksesibilitas
Rute menuju Taman Nasional Ujung Kulon
- Jakarta – Serang – Pandeglang – Labuan – Tamanjaya (130 Km), ditempuh dalam waktu sekitar 5-7 jam
- Jakarta – Cilegon – Anyer – Carita – Labuan – Tamanjaya (154 Km), ditempuh dalam waktu sekitar 7-10 jam
Menuju ke
- Pulau Handeuleum
Menggunakan kapal dari Labuan/Sumur/Carita ke Pulau Handeleum (3-4 jam) - Pulau Peucang
Menggunakan kapal dari Labuan/Sumur/Carita ke Pulau Peucang (5-6 jam) - Pulau Panaitan
Menggunakan kapal dari Labuan/Sumur/Carita ke Pulau Peucang ke Pulau Panaitan (6-7 jam)
Sarana Transportasi
- Darat
- Mobil pribadi
- Bus: Jakarta-Labuan
- Elf: Serang – Cibaliung – Sumur – Tamanjaya atau Labuan – Sumur – Tamanjaya
- Laut
- Kapal kayu yang bisa disewa dari Sumur/Labuan
- Kapal cepat yang bisa disewa dari Carita
Akomodasi
- Tamanjaya & Sumur: homestay dan hotel
- Pulau Peucang
- Penginapan Fauna: 7 kamar
- Penginapan Bivak: 4 kamar
- Penginapan Flora A: 6 kamar
- Penginapan Flora B: 10 kamar
eh ada foto si tante anya euy 😀